sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kasus Amien Rais, Jurnalis diminta bijak menulis berita

Jurnalis diminta untuk menulis berita secara bijak agar tidak terulang adanya kontroversi seperti yang terjadi pada pernyataan Amien Rais.

Robi Ardianto
Robi Ardianto Minggu, 15 Apr 2018 15:51 WIB
Kasus Amien Rais, Jurnalis diminta bijak menulis berita

Jurnalis diminta untuk menulis berita secara bijak agar tidak terulang adanya kontroversi seperti yang terjadi pada pernyataan Amien Rais

Politisi senior, Amien Rais beberapa waktu lalu, Jumat (13/4) pagi, memberikan tausiah setelah mengikuti Gerakan Indonesia Salat Subuh Berjemaah di Masjid Baiturahman, Mampang  Jakarta. 

Hanya saja, tausiah yang diberikan tokoh reformasi tersebut menimbulkan polemik. Karena Amien mendikotomikan partai-partai politik di Indonesia jadi dua kutub yakni partai setan dan partai Allah.

Hingga kemudian, berita tersebut tersiar dan menjadi pemberitaan di media masa, yang semakin membuat gaduh politik menjelang perhelatan pesta demokrasi Indonesia.

Anggota Dewan Pers Jimmy Silalahi mengatakan khutbah keagamaan merupakan ranah yang sifatnya privasi, sehingga sudah selayaknya media massa dan pers tidak mengutip khotbah keagamaan dari pemuka agama.

Sudah menjadi kewajiban pers untuk menghormati subtansi dari sebuah khutbah atau ceramah keagamaan, walaupun pada praktiknya khutbah keagamaan dilakukan kepada publik tetapi itu sifatnya adalah ranah privat. 

“Apapun yg terjadi, kita harus menghormati substansi sebuah khutbah, sebuah ceramah keagamaan. Kecuali kalau memang itu ceramah non keagamaan dan disampaikan di depan publik,” katanya dalam diskusi media gathering dan penyamaan persepsi ; Peran Media Dalam Melawan Hoaxs, Ujaran Kebencian dan Sara, di Hotel Lorin, Sentul, Bogor, Jawa Barat, Minggu (15/4).

Dia menjelaskan, khutbah keagamaan termasuk dalam ranah privat, meskipun hal tersebut dilakukan di tempat terbuka. Meskipun ada media dan alat pengeras suara yang membuat suara penceramah terdengan kemana-mana.

Sponsored

“Sekali lagi, pers itu tetap pers. Apa yang didapat diolah terlebih dahulu. Harus benar-benar dipastikan, substansinya harus sudah diverifikasi, harus berimbang,” tegasnya.

Prinsip jurnalistik 5W + 1H (what, when,  where, why, who, how) harus tetap dipegang teguh. Karena, yang namanya isi khutbah tetap tidak sesuai dengan unsur 5W 1H tersebut. Karena apa yang disampaikan berasal dari sepihak saja, dari pengkotbah, penceramah atau rohaniawan. Sehingga, Dewan Pers tidak pernah menganjurkan isi dari sebuah kutbah dikutip secara mentah untuk dijadikan menjadi suatu berita.

Selain itu, pentingnya melakukan kroscek oleh para jurnalis, karena isi kutbah adalah pesan rohani menganai hubungan manusia dan Tuhan. Meski, isinya menyangkut persoalan sosial, kemasyarakatan, politik. Pasti dibungkus dalam keagamaan. Selain itu, yang menyampaikannya adalah satu orang.

Sementara, berita tidak hanya menyangkut kepada satu orang semata. tetapi juga menyangkut orang lain, sehingga jurnalis memiliki kewajiban mengecek, mengkonfirmasi dan verifiasi dari pihak lain tersebut.

Kutbah pula merupakan penyampaian secara khusus dalam frame hubungan antara manusia dan Tuhan. Hal tersebut sensitif.

“Ini yang dinamakan butuh kebijaksanaan teman-teman wartawan. Kalau namanya kotbah, sebaiknya bijaksanalah teman-teman pers, jangan langsung dijadikan berita. Tidak masalah kalau isi kotbah hanya dijadikan background semata, kemudian anda kip itu, nanti kalau anda menilai ada yang menarik, silakan door stop di luar,” jelasnya

Kemudian, para jurnalis bisa menghadirkan narasumber lain sebagai pembanding atau pelengkap, hal tesebut baru bisa disebut dengan yang namanya berita. Jika isi kutbah hanya ditulis mentah-mentah, maka pewarta lah yang salah.

Info dan Berita

Dia juga menilai, para pewarta merupakan insan yang cerdas, hanya saja kecerdasan itu perlu kembali dibingkai dengan sebuah kebijaksanaan. Dalam membuat pemberitaan.

Sebagai contoh media sosial, itu bukanlah sebuah berita. “Isinya facebook bukan berita, itu kan murni hasil sharing. Namanya juga tempat sosialisasi. Kalau info dari medsos, maka harus dimatangkan, harus dimasak dulu, kemudian baru jadi berita,” kata Jimmy.

Proses verifikasi dari sebuah info sangat perlu dilakukan, Itu sudah wajib hukumnya. Semua itu juga terkait dengan etika jurnalistik, UU Pers dan UU Penyiaran, itu semua jelas termaktub.

Jika ada Info yang berasal dari media sosial, cukup hanya dijadikan background semata. Seandainya jurnalis ingin melakukan pendalaman,  silakan dilakukan kroscek terlebih dahulu. Sehingga, prinsip 5W1H tetap dijalankan, meskipun itu berasal dari akun official.

“Hati-hati lho, viral itu bukan berita. Tidak ada dalam teori jurnalistik apapun viral itu equal news atau berita. News itu suatu hasil produk jurnalistik yang sudah melewati semua proses kejurnalistikan. Itulah yang dimaksud etika kejurnalistikan,” tegasnya.

Akan tetapi, jika viral dan sudah memenuhi unsur jurnalistik itu dipersilahkan saja untuk dijadikan berita terutama jika memang sudah layak untuk dijadaikan sebuah berita, dan bisa menghadirkan info-info pendukung atau cover both side.

Berita Lainnya
×
tekid