sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kasus lobster, KPK tak tutup kemungkinan jerat Ngabalin

Nanti akan tracing aliran dana, ada porsi-porsi tertentu yang masuk dan itu boleh dikatakan rutin, KPK wajib pertanyakan. 

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Selasa, 01 Des 2020 21:41 WIB
Kasus lobster, KPK tak tutup kemungkinan jerat Ngabalin

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak menutup kemungkinan menjerat Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ali Mochtar Ngabalin, dalam kasus dugaan suap izin ekspor bibit lobster atau benur. Demikian kata Deputi Penindakan KPK, Karyoto, saat konferensi pers, Selasa (1/12).

Menurut Karyoto, kalau dalam proses penyidikan ditengarai Ngabalin kecipratan dana dari kasus yang menjerat Menteri Kelautan dan Perikanan nonaktif Edhy Prabowo (EP) ini, maka itu wajib dipertanyakan.

"Misalnya, nanti ada tracing aliran dana, ada porsi-porsi tertentu yang masuk dan itu boleh dikatakan rutin, ya kita (KPK) wajib pertanyakan. Tapi selama ini, kami sedang mengumpulkan bukti-bukti apakah ada ke situ atau tidak," jelasnya.

Pada perkara tersebut, diketahui Ngabalin satu pesawat dengan Edhy saat lembaga antisuap melakukan operasi tangkap tangan di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Banten, Rabu (25/11) dinihari. Giat senyap yang berlangsung juga di beberapa lokasi itu menetapkan tujuh orang sebagai tersangka.

Meski Ngabalin satu pesawat, imbuh Karyoto, itu bukan berarti yang bersangkutan terlibat dalam perkara izin ekspor benur. Sebab, bisa saja Ngabalin di sana dalam rangka pekerjaan.

"Mungkin beliau (Ngabalin) juga di situ sebagai staf atau penasihat di situ memberikan, mau studi banding ke Amerika, ya mungkin ada kaitannya. Kaitannya dalam arti perkejaan untuk semacam studi banding," ujarnya.

Selain Edhy, enam tersangka lain adalah Staf Khusus Menteri KP, Safri (SAF); pengurus PT Aero Citra Kargo, Siswadi (SWD); staf istri Menteri KP, Ainul Faqih (AF); Direktur PT Dua Putra Perkasa, Suharjito (SJT), Staf Khusus Menteri KP, Andreau Pribadi Misanta (APM); dan swasta Amiril Mukminin (AM).

Perkara ini berawal saat Edhy Prabowo menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP Men-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster pada 14 Mei 2020, dan Andreau selaku ketua pelaksananya.

Sponsored

Kemudian, pada Oktober 2020, Suharjito datang ke Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk bertemu Safri. Dalam pertemuan tersebut, diketahui ekspor benih lobster hanya melalui PT ACK.

"Dengan biaya angkut Rp1.800 per ekor yang merupakan kesepakatan AM dengan APM dan SWD," jelas Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango.

Atas kegiatan ekspor benur tersebut, PT Dua Putra Perkasa diduga mentransfer uang ke rekening PT ACK senilai Rp731.573.564. Selanjutnya atas perintah Edhy melalui Tim Uji Tuntas, imbuh Nawawi, PT Dua Putra Perkasa memperoleh penetapan kegiatan ekspor.

"Dan telah melakukan sebanyak 10 kali pengiriman menggunakan perusahaan PT ACK," ucapnya

Berdasarkan data kepemilikan, PT ACK terdiri dari Amri (AMR) dan Ahmad Bahtiar (ABT) yang diduga merupakan nominee dari pihak Menteri Edhy, serta Yudi Surya Atmaja (YSA).

"Atas uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster tersebut, selanjutnya ditarik dan masuk ke rekening AMR dan ABT masing-masing Rp9,8 miliar," ungkap Nawawi.

Berikutnya, 5 November, diterka terdapat transfer dari rekening Bahtiar ke rekening salah satu bank atas nama Ainul sebesar Rp3,4 miliar. Duit itu diduga untuk Edhy, Iis Rosyati Dewi (IRW) selaku istri Edhy, Safri dan Andreau.

"Antara lain dipergunakan untuk belanja barang mewah oleh EP dan IRW di Honolulu Amerika Serikat di tanggal 21 sampai dengan 23 November 2020 sejumlah sekitar Rp750 juta. Di antaranya berupa jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, baju Old Navy," ujar Nawawi.

Di samping itu, Edhy juga diduga menerima sejumlah uang sebesar USD$100.000 dari Suharjito melalui Safri dan Amiril sekitar Mei 2020. Di sisi lain, Safri dan Andreau juga disebut menerima uang total Rp436 juta dari Ainul pada Agustus 2020.

Para penerima, Edhy, Safri, Siswadi, Ainul, Amiril dan Andreau disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Sedangkan pemberi, Suharjito disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Berita Lainnya
×
tekid