sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Keberadaan LGBT dalam khazanah Indonesia

Sejak masa silam, di Indonesia sudah terdapat kelompok LGBT. Bahkan, persetubuhan sesama jenis menjadi sebuah ritual di Papua.

Cantika Adinda
Cantika Adinda Rabu, 24 Jan 2018 17:46 WIB
Keberadaan LGBT dalam khazanah Indonesia

Isu terkait lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) kembali mencuat setelah DPR berencana merevisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Terlebih legislatif ingin tindakan cabul yang dilakukan kelompok LGBT bisa dipidana.

Aktivis perempuan dari Arus Pelangi, Lini Zurlia menolak campur tangan negara dalam persoalan seksual warganya. Dia mengungkapkan, harapan kelompok LGBT hanya sederhana, yakni bisa menghirup nafas dengan damai, bisa sekolah sampai lulus dan bisa kerja dengan baik tanpa dikucilkan karena orientasi seksual dan identitas gendernya.

"Cuma se-simple itu," ujar Lini kepada Alinea, Rabu (24/1).

Sedangkan pendiri Gaya Nusantara Dede Oetomo memaparkan bahwa perilaku seksual sesama jenis sudah ada di Indonesia sejak masa lampau. Dalam bukunya berjudul ‘Memberi Suara pada yang Bisu’, dia menyebut adanya laporan dari C Snouck Hurgronje terkait laki-laki Aceh yang sangat menggemari budak dari Nias. Budak-budak lelaki yang remaja, dalam posisinya sebagai penari (sadati) atau lainnya, disuruh melayani nafsu orang-orang Aceh.

Bahkan, Hurgronje memaparkan bahwa laki-laki Aceh lebih menghargai persetubuhan dengan sesama jenis dibandingkan dengan lawan jenis.

Sedangkan dalam masyarakat Minangkabau tradisional, Dede menulis adanya hubungan antar lelaki dewasa dengan lelaki remaja. Lelaki dewasa disebut dengan 'Induk Jawi' dan lelaki remaja disebut dengan 'Anak Jawi'. Sedangkan di pondok pesantren di Jawa, dikenal dengan 'mairilan' yaitu hubungan antar santri. Istilah 'mairil' dipakai untuk julukan kekasih yang lebih muda.

Hubungan ini lebih menonjol ditemui sebagai sesuatu yang dilembagakan secara menyeluruh di pondok-pondok ortodoks, khususnya di daerah pedalaman dan dipandang sebagai perbuatan yang dosanya jauh lebih kecil ketimbang zina.

Kisah hubungan sesama jenis di Indonesia juga diungkapkan oleh peneliti asing, Jan Bremman dan Tom Boellstorff. Bremman dalam bukunya 'From Sappho to De Sade (Routledge Survival): Moments in the History of Sexuality', yang diterbitkan di London pada tahun 1991 memaparkan bahwa di Papua terdapat upacara inisiasi tradisional yang mirip dengan pederasty pada zaman Yunani Kuno, yaitu sikap perjantanan yang artinya laki-laki dewasa terlibat dalam aktivitas seksual dengan anak laki-laki yang lebih muda. Praktik homoseksual ini dianggap sebagai bagian dari kehidupan normal.

Sponsored

Mereka menawarkan peluang besar kepada laki-laki yang minat seksualnya sebagian besar terikat kepada laki-laki lain. Ritual inisiasi yang dilakukan masyarakat Papua ini dianggap dapat membantu pencapaian maskulinitas dengan dibantu oleh laki-laki yang lebih dewasa. Ritual tersebut juga dianggap penting karena dipercaya sangat baik untuk pertumbuhan tubuh si anak lelaki tersebut.

Berbeda halnya dengan masyarakat Bugis, praktik homoseksual tidak ada kaitannya dengan proses insiasi seperti yang terjadi dalam masyarakat Papua. Dalam bukunya yang berjudul 'The Gay Archipelago: Seksualitas dan Bangsa di Indonesia' yang diterbitkan di New Jersey pada tahun 2005, Boellstorff menulis masyarakat Bugis mengenal sosok Bissu atau pendeta yang tak memiliki golongan gender.

Sejak abad ke-16 kebanyakan Bissu adalah waria yang berhubungan seks dengan laki-laki. Para Bissu bertugas menjaga pusaka kerajaan dan menyelenggarakan ritual-ritual kehidupan seperti kelahiran dan perkawinan, demikian juga ritual untuk kesuburan sawah.

Berita Lainnya
×
tekid