sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Keren, tapi KW: Kenapa produk imitasi jadi buruan saat Lebaran?

Produk-produk fesyen imitasi diburu pembeli jelang Hari Raya Idul Fitri.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Jumat, 06 Mei 2022 18:01 WIB
Keren, tapi KW: Kenapa produk imitasi jadi buruan saat Lebaran?

Purwanto terlihat antusias memilah deretan sepatu gunung yang dipajang di sebuah toko di sentra sepatu di kawasan Cikupa, Tangerang, Banten, Sabtu (30/4). Sore itu, Purwanto berniat membawa pulang dua pasang sepatu. 

"Kadang-kadang cari sepatu di sini (Cikupa). Kalau ada satu-dua (barang) yang bagus, ya, saya beli," kata Purwanto saat berbincang dengan Alinea.id, Sabtu (30/4). 

Sepatu-sepatu itu niatnya akan dipamerkan Purwanto ke sanak-saudara dan sobat-sobatnya saat berlebaran di kampung halamannya di Purwodadi, Jawa Tengah. Meski punya gaji pas-pasan, ia tak mau dianggap hidup susah di ibu kota. 

"Kalau enggak (pamer barang baru) gitu, nanti dianggap susah di perantauan. Jadi, ya agak rapihan dikit. Jadi, pada main siapa yang paling keren," kata Purwanto. 

Supaya bisa tampil necis saat pulang kampung nanti, Purwanto memilih barang imitasi atau yang biasa disebut produk KW (kependekan dari kwalitas). Kondisi dompet jadi alasan utama Purwanto memilih produk tiruan. 

"Kalau barang asli, saya juga ada perasaan takut rusak dan takut hilang. Jadi, beli sepatu KW aja," kata pria yang sehari-hari bekerja sebagai buruh di sebuah perusahaan tekstil di Tangerang itu. 

Produk KW juga jadi pilihan Dendi untuk mempercantik diri jelang Lebaran. Berbeda dengan Purwanto, warga Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, itu memilih berburu sepatu imitasi di sejumlah toko online di Instagram.

Dendi kepincut sepatu bermerek Vans Slip On bermotif kotak-kotak. Setelah dua jam menjelajahi Instagram, ia memutuskan membeli sepatu tiruan model itu seharga Rp190 ribu.

Sponsored

"Karena sepatu saya kemarin udah lusuh. Murahlah harga segini. Sekalian buat gonta-ganti juga nanti," kata Dendi kepada Alinea.id, Sabtu (29/4).

Dendi mengaku tak selalu membeli barang KW menjelang Idul Fitri. Pada  Lebaran dua tahun lalu, Dendi pernah membeli sepatu yang harganya hampir 2 juta. Namun, sepatu orisinal itu hilang dalam sebuah acara silaturahmi. 

"Kalau sepatu KW rusak atau hilang, saya enggak nyesek-nyesek amat. Terus harganya juga lebih sesuai kantong saya. Jadi, pakai yang biasa aja biar enggak takut hilang," kata Dendi. 

Alasan serupa diungkap Nurma. Jelang Lebaran kali ini, Nurma memboyong sebuah tas KW dari toko oline. Itu dilakukan karena duit yang ia kumpulkan untuk membeli tas bermerek yang telah ia incar sejak lama habis untuk beragam keperluan Lebaran.

"Sebenarnya udah ada duitnya kemarin dan harga tas lokal juga sebenarnya enggak mahal-mahal amat. Tapi, karena ini dadakan dan enggak punya tas juga, ya sudah akhirnya beli yang KW aja dulu," kata Nurma kepada Alinea.id

Tas KW yang dibeli Nurma hanya dibanderol Rp120 ribu. Kualitasnya tidak terlalu bagus. Orang yang "ngerti" barang, kata Nurma, bakalan langsung mengenali tas tersebut palsu. 

Karena itu, Nurma hanya berniat memakai tas tersebut saat berkumpul bersama keluarga dan saudara dekat saja. "Ya, nanti jadi omongan, Malah enggak enak. Jadi, nanti kalau kumpul (dengan teman-teman) pakai yang asli," imbuh dia. 

Ilustrasi toko tas bajakan. /Foto Unsplash/Adli Wahid

Membeli identitas

Co-founder Markamarie, Franka Soeria menilai wajar jika produk-produk KW membanjiri pasaran menjelang Lebaran. Produk-produk fesyen KW terutama rutin dibajak lantaran jumlah permintaan akan produk-produk tersebut umumnya naik saat hari raya. 

"Mereka itu ingin membeli identitas. Mereka  merasa lebih percaya diri kalau di badannya ada barang yang dikenal orang-orang. Entah itu brended atau apa. Cuma karena budget enggak cukup akhirnya memutuskan beli barang bajakan," kata Franka kepada Alinea.id, Selasa (3/4).

Menurut Franka, kebiasaan membeli barang bajakan terbentuk lantaran masyarakat mudah terpukau dengan produk-produk asing yang mahal. Padahal, tidak semua orang punya duit untuk mengongkosi hasrat mereka berbusana bak selebritas. Jalan pintas membeli barang bajakan pun dipilih. 

"Sebenarnya, agak celaka ambil jalan pintas itu. Meskipun terlihat keren, banyak banget barang yang emang ketahuan palsu. Jadi, boro-boro keren. Malah jadi kelihatan enggak oke. Lebih baik beli produk lokal yang kualitasnya baik, tapi dengan harga yang terjangkau. Itu lebih bagus ketimbang nanti ketahuan pakai produk bajakan," tutur Franka.

Markamarie yang merupakan salah perusahaan lokal yang bergerak di bisnis modest fashion. Perusahaan fesyen ini utamanya menjual busana perempuan yang santun dan tertutup, baik untuk perempuan berhijab atau yang tak berhijab. Produk-produk karya desainer Markamarie sudah diimpor ke berbagai negara. 

Diakui Franka, produk-produk Markamarie juga rentan dibajak. Ironisnya, Markamarine KW bahkan kerap lebih laris ketimbang produk orisinil. Menurut Franka mengaku harus merancang beragam strategi supaya produk fesyen yang dirilis Markamarine tidak kalah bersaing dengan produk-produk KW. 

"Sebagai kreator atau pemilik brand, pasti kita sadar orang-orang akan selalu mengikuti apa yang kita bikin. Jadi, bagaimana caranya kita selalu terdepan. Artinya, selalu menciptakan desain-desain baru. Selalu berusaha update untuk hal yang baru. Jadi, jangan hanya punya identitas penampilan," ujar Franka.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memaparkan beragam alasan masyarakat membeli produk fesyen dan aksesoris tiruan saat Lebaran. Selain karena harga yang murah dan mudah didapat, produk-produk KW memang cenderung hanya dipakai untuk pamer saja. 

"Selain itu, waktu pemakaian yang terlalu sering sehingga khawatir barang original cepat rusak. Alasan keterjangkauan, misalnya, toko barang bajakan lebih dekat pemukiman sehingga tidak perlu ke mal. Tapi, faktor harga tentu jadi pertimbangan utama," kata Bhima kepada Alinea.id, Senin (2/5).

Di lain sisi, menurut Bhima, sejumlah pemilik merek juga cenderung membiarkan barang KW beredar di pasaran. Harapannya, produk mereka kian populer di masyarakat. "Ketika konsumen makin naik daya belinya suatu saat akan membeli barang original juga," jelas Bhima. 

Terlepas dari segala sengkarut peredaran produk bajakan, Bhima menyarankan masyarakat lebih baik membeli produk asli lokal yang lebih terjangkau ketimbang harus tampil keren dengan produk bajakan. Sebab, lebih elegan sebagai konsumen.

Bhima tentu saja tidak menyarankan agar masyarakat membeli barang bajakan. Dalam jangka panjang, menurut dia, membeli barang orisinal jauh lebih menguntungkan ketimbang membeli produk-produk KW. 

"Jika barang mau tahan lama dan tidak boros justru beli barang yang ori (orisinal). Kalau belum ada uang, biasakan untuk menabung sampai mencukupi membeli barang ori. Jangan sampai ambil jalan pintas," kata Bhima.

Ilustrasi toko sepatu KW. /Foto Antara

Perketat pengawasan 

Dosen manajemen dari Universitas Paramadina Adrian Wijanarko mengatakan penjualan barang bajakan memang lazim meningkat saat menjelang Lebaran. Salah satu penyebab utamanya ialah tradisi "pamer" saat pulang kampung. 

"Karena selama Lebaran ada kecenderungan masyarakat indonesia untuk menetapkan status sosialnya. Pulang ke kampung ingin dilihat sukses di ranah perantauan. Tentu ini mendorong orang untuk membeli barang palsu," kata Adrian kepada Alinea.id, Minggu (1/5).

Adrian baru saja merampungkan penelitian mengenai tren barang bajakan di Indonesia. Menurut dia, ada sejumlah faktor yang menjadi pendorong masyarakat untuk membeli barang bajakan. Salah satunya ialah pengaruh orang terdekat yang kerap pamer barang bermerek. 

"Seperti pertemanan, keluarga, dan situasi pertemanan di lingkungan kantor yang mempengaruh kita untuk membeli barang mewah. Namun, karena memang barang mewah ini harganya cukup mahal, banyak orang yang akhirnya memilih jalan pintas untuk membeli barang palsu," kata Adrian. 

Faktor lainnya, kata Adrian, ialah kemudahan akses terhadap produk-produk tiruan. Selain di media sosial semisal Facebook dan Instagram, produk-produk KW juga marak dijual di marketplace dan aplikasi jual-beli online

"Menurut data Facebook, marketplace di Indonesia itu dipenuhi oleh barang palsu. Kita tahu seberapa besar jumlah pengguna Facebook di Indonesia. Ini tentu akan mendorong jumlah pembelian barang palsu. Hal ini juga didukung oleh masyarakat kita yang rendah terhadap hak cipta," tutur dia.

Dalam laporan yang dirilis pada 2021, The Office of the United States Trade Representative (USTR) mengategorikan Bukalapak, Shopee, dan Tokopedia sebagai platform jual-beli online yang "berbahaya". Ketiga start-up Indonesia tersebut masuk dalam daftar pengawasan USTR lantaran dianggap menyediakan lapak untuk penjualan barang imitasi dan bajakan. 

Adrian mengatakan sebenarnya ada berbagai upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi peredaran produk bajakan. Pertama, melakukan strategi diversifikasi harga. Dengan diversifikasi, diharapkan harga barang orisinal lebih terjangkau masyarakat menengah ke bawah. 

Kedua, memperketat pengawasan penjualan barang palsu. "Ini harus diawasi karena memang barang palsu ini merugikan negara. Pertama, karena tidak bisa kena pajak. Kedua, juga akan mematikan pasar yang barang asli," kata Adrian.
 

Berita Lainnya
×
tekid