sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Kontroversi wacana kembalinya TNI ke institusi sipil

Wacana ini mengingatkan publik terhadap memori kolektif kedudukan angkatan bersenjata di masa Orde Baru, sebagai penopang kekuasaan.

Nanda Aria Putra
Nanda Aria Putra Selasa, 26 Feb 2019 20:30 WIB
Kontroversi wacana kembalinya TNI ke institusi sipil

Wacana kembalinya dwifungsi militer mengemuka setelah beberapa waktu lalu Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Marsekal Hadi Tjahjanto berencana membuat kebijakan memberi posisi kepada perwira tinggi dan perwira menengah untuk berkarier di kementerian dan lembaga.

Pos jabatan baru ini memiliki tujuan menampung perwira tinggi yang menumpuk di tubuh TNI. Salah satu usulannya, restrukturisasi dan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Usulan ini didukung Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.

Sebuah langkah mundur

Sontak, wacana ini mendapatkan tentangan dari sejumlah pihak. Sebab, penghapusan dwifungsi TNI/Polri merupakan salah satu amanat reformasi 1998.

Mantan aktivis 1998 Iwan Nurdin menolak usulan kembalinya militer ke ranah sipil. Ia menilai, apa yang diwacanakan Panglima TNI sama juga membalikan agenda reformasi TNI menuju TNI yang profesional, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang TNI.

“Saya menolak keras TNI masuk ke jajaran birokrasi sipil. Bahkan, bukan hanya TNI, tapi juga polisi. Apalagi alasan pembenarnya karena persoalan sistem kaderisasi dan penempatan karier di TNI yang mandek,” kata mantan Wakil Ketua Dewan Kota Solidaritas Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat (SMKR) Yogyakarta tahun 1998 ini, ketika dihubungi reporter Alinea.id, Senin (25/2).

Di dalam Pasal 2 (d) UU No. 37 Tahun 2004 tentang TNI disebutkan, tentara profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

Sponsored

Mengacu bunyi pasal tersebut, menurut Iwan, wacana untuk mengeluarkan militer dari barak tentu tak bisa dibenarkan.

Seharusnya untuk mengatasi banyaknya perwira yang tak lagi punya jabatan di tubuh TNI, kata Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) ini, ada perubahan radikal sistem promosi dan demosi tentara, serta aturan jenjang karier yang jelas.

Sementara itu, sejarawan Andi Achdian berpandangan, usulan Panglima TNI tersebut sebagai langkah mundur. Menurut doktor sejarah dari Universitas Indonesia ini, reformasi TNI merupakan sebuah langkah yang harus dikedepankan dalam proses demokrasi di Indonesia.

Wacana ini, kata Andi, mengingatkan publik terhadap memori kolektif kedudukan angkatan bersenjata di masa Orde Baru, sebagai penopang kekuasaan. Ia mengatakan, wacana tersebut tak bisa dilepaskan dari situasi politik kontemporer.

Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (kanan) memeriksa pasukan peserta upacara gelar Operasi Penegakan Ketertiban (Gaktib) dan Yustisi POM TNI Tahun 2019 di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (8/2). (Antara Foto)..

“Saya melihat ini upaya pemerintah yang sekarang untuk mendulang dukungan politik dari keluarga tentara. Kan keluarga tentara sekarang kan banyak ya,” tuturnya, ketika dihubungi, Selasa (26/2).

Andi melanjutkan, seharusnya tentara dikembalikan kedudukannya sesuai fungsinya sebagai alat pertahanan negara. Menempatkan tentara di posisi yang semestinya, kata Andi merupakan upaya untuk menjaga profesionalitas yang dimiliki setiap personel.

“Ini adalah problem lama yang masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, mencampuradukkan jabatan militer dan politik,” kata dia.

Usai reformasi, posisi menteri pertahanan kata Andi sempat dipegang sipil, yakni Mahfud MD saat pemerintahan Abdurrahman Wahid. Sayangnya, setelah itu jabatan menhan kembali jadi langganan purnawirawan.

“Munculnya ide ini (menempatkan kembali militer di ranah sipil) menandai bahwa reformasi sudah usai,” kata Andi.

Khawatir timbul gesekan

Andi mengatakan, praktik mengembalikan keduduran militer ke dalam institusi sipil sebagai penanda berakhirnya era reformasi. Menurutnya, saat ini Indonesai memasuki era baru.

“Sebuah era yang kita tidak tahu akan lebih baik atau buruk ke depannya,” ucap Andi.

Sementara itu, Iwan Nurdin menilai, peningkatan peran kepolisian dalam tugas nonkeamanan, ikut menciptakan kecemburuan di kalangan militer. Ia mensinyalir, hal itu mendorong para petinggi militer untuk berupaya mengembalikan lagi “kemewahan” yang pernah mereka miliki, seperti di masa Orde Baru.

“Misalnya, peran Brimob (Brigade Mobil) yang menjaga perkebunan-perkebunan di daerah,” tutur Iwan.

Iwan melihat, setelah reformasi, polisi perannya malah meluas. Sedangkan TNI seperti dianaktirikan.

Di sisi lain Andi Achdian menilai, jabatan yang diemban perwira TNI di institusi sipil dikhawatirkan dapat memunculkan gesekan di dalam institusi pemerintahan itu sendiri. Garis komando yang mengiringi gerak para prajurit menjadi alasannya.

“Kita kan enggak tahu apakah loyalitas prajurit ini nanti pada atasannya di birokrasi, atau pada panglimanya. Kalau satu ke sini satu ke situ, kan pemerintahan jadi enggak jalan,” katanya.

Namun, ia mencatat, selama perwira TNI bisa melepaskan jabatannya sebagai alat pertahanan negara, baru berhak memperoleh jabatan di instansi pemerintah. Sebab, menurut Andi, pasti banyak di antara perwira itu yang punya keahlian dalam bidang tertentu.

“Kalau mereka masih pegang senjata, kan posisinya beda antara mereka yang pegang pelor dengan kita yang pegang pena,” tuturnya.

Berita Lainnya
×
tekid