sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Mendata akun medsos ala Kemenristekdikti dan ancaman kebebasan berpendapat

Tujuan pendataan nomor telepon dan akun medsos warga kampus, sebut Kemenristekdikti, untuk menangkal paham radikalisme.

Kudus Purnomo Wahidin Manda Firmansyah
Kudus Purnomo Wahidin | Manda Firmansyah Senin, 05 Agst 2019 21:52 WIB
Mendata akun medsos ala Kemenristekdikti dan ancaman kebebasan berpendapat

Pada 26 Juli 2019, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir melontarkan wacana akan mendata nomor telepon dan akun media sosial warga kampus—mahasiswa, dosen, dan pegawai—kalender akademik 2019/2020.

Tujuannya, pemerintah ingin menangkal paparan radikalisme dan intoleransi di kampus. Untuk menjalankan hal ini, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) akan bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Badan Intelijen Negara (BIN).

Mohamad Nasir mengatakan, pihaknya tak akan mengintai media sosial satu per satu setiap hari. Pendataan dilakukan supaya Kemenristekdikti mudah melakukan pelacakan dari media sosial, jika terjadi permasalahan terkait radikalisme.

Irfansyah, mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) berpendapat, wacana itu wajar. Menurutnya, Kemenristekdikti berhak memantau akun media sosial. Bibit radikalisme di kampus-kampus, kata Irfansyah, memang nyata ada.

“Itu kan tugas intelijen negara melalui Kemenristekdikti,” kata Irfansyah saat dihubungi Alinea.id, Senin (5/8).

Sementara itu, mahasiswa Universitas Airlangga Ibnu Haritsah tak sepakat dengan kebijakan ini. Alasannya, menerobos ruang privasi. Ia menyarankan, pemerintah menuntaskan terlebih dahulu definisi radikal, fundamentalisme, dan terorisme, sebelum beranjak memantau sesuatu yang bisa menimbulkan polemik.

"Daripada sibuk monitoring sosial media, kenapa enggak evaluasi substansi pendidikan saja? Yang menciptakan iklim fundamentalismenya sistem pendidikan itu sendiri," ujar Ibnu saat dihubungi, Senin (5/8).

Dihubungi terpisah, mahasiswa Universitas Malang Adil Yusro menilai, kebijakan mengintai media sosial ala Kemenristekdikti menyalahi etika akademik, terutama dalam hal kebebasan berpikir dan berpendapat.

Sponsored

Adil mengatakan, pemantauan akun media sosial kurang tepat karena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih menuai kontroversi. Menurutnya, radikalisme sudah hadir jauh sebelum ada media sosial. Sehingga, katanya, pemantauan itu justru upaya melanggar privasi.

"Kebijakan tersebut mungkin akan membantu menggugurkan daunnya, tapi tidak untuk menumbangkan pohon radikalisme yang mengganggu dan merusak pondasi persatuan NKRI," ujar Adil saat dihubungi, Senin (5/8).

Dikonfirmasi mengenai rencana ini, Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti Ismunandar menjelaskan, wacana itu berangkat dari kekhawatiran pihaknya dalam melihat dinamika di perguruan tinggi, yang disusupi paham radikal.

"Intinya lebih ke mendeteksi dini potensi radikalisme, juga untuk memproteksi mahasiswa dan kampus," katanya saat dihubungi, Senin (5/8).

Selain bekerja sama dengan BNPT dan BIN, pihaknya pun akan berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk mengawasi narasi di telepon seluler dan media sosial.

"Kami berkolaborasi dengan Kemenkominfo, agar tak tumpang tindih," ujarnya.

BNPT sendiri, ungkap Ismunandar, akan menentukan apakah pemilik nomor telepon seluler atau akun media sosial perlu ditindak.

Ismunandar menepis anggapan jika rencana ini sebagai upaya mengebiri semangat kritis pihak kampus secara halus. Dia mengatakan, pihaknya bakal tetap menjunjung tinggi kebebasan mimbar akademik.

Akan tetapi, kata dia, pemerintah tak bisa mentolerir jika kebebasan berekspresi itu dimanfaatkan sebagai media provokasi ke arah radikalisme.

"Mengganti Pancasila misalnya, tidak boleh," ujarnya.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso (kedua kiri) bersama Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir (kedua kanan), Anggota Dewan Komisioner OJK bidang Edukasi Perlindungan Konsumen Tirta Segara (kanan) dan Country Director Asian Development Bank Winfried F Wicklein (kiri) mengacungkan jempol saat peluncuran buku seri literasi keuangan pada acara Aksi Mahasiswa dan Pemuda Indonesia Menabung (AKSiMuda) 2019 di Jakarta, Selasa (30/7). /Antara Foto.

Sudah ada pengawasan di kampus

Lisman Manurung, dosen Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI) mengatakan, sebaiknya Kemenristekdikti, BNPT, dan BIN memantau media sosial jika pihak perguruan tinggi yang terpapar radikalisme sudah kewalahan mengatasinya.

“Ini dilematis, padahal perguruan tinggi harusnya independen. Kalau (perguruan tinggi) masih berupaya menjamin, lebih baik berkolaborasi dalam membersihkan radikalisme,” tutur Lisman saat dihubungi, Senin (5/8).

Lisman mengungkapkan, radikalisme di perguruan tinggi terjadi karena pembiaran dari petingginya. Dia menyarankan, sebaiknya pemeriksaan, pengawasan, dan pemantauan dilakukan ketika pengangkatan petinggi perguruan tinggi dan pengangkatan dosen.

“Bukan memantau media sosialnya ketika mereka telah bertugas,” ucapnya.

Di sisi lain, mantan rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat menuturkan, memang di beberapa negara demokratis, pemerintah bertindak tegas terdahap unggahan rasisme dan fitnah.

Menristekdikti, kata Komaruddin, barangkali punya alasan tersendiri mengapa mengambil kebijakan mendata nomor telepon dan akun media sosial. Begitu pula dosen dan mahasiswa, yang juga punya alasan lain mengapa keberatan dengan wacana ini.

“Diperlukan pedoman dan peraturan yang jelas dan tegas, sehingga tidak hanya ramai berwacana. Duduk bersama antara wakil universitas dengan menteri untuk merumuskan peraturan, lalu laksanakan bersama,” tutur Komaruddin saat dihubungi, Senin (5/8).

Wacana mendata dan memantau nomor telepon serta akun media sosial, disebut tak proporsional dan cenderung berlebihan oleh pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah.

Alasannya, masing-masing perguruan tinggi pasti punya wakil rektor bidang kemahasiswaan yang bertugas menyaring, mengawasi, dan mengontrol segala aktivitas di dalam kampus, seperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), maupun organisasi lain setingkat fakultas.

Oleh karena itu, menurut dia, jika perguruan tinggi terpapar radikalisme, maka wakil rektor bidang kemahasiswaan yang perlu dipertanyakan kinerjanya.

Dia menyarankan, sebaiknya kampus memperkuat pengawasan dan kontrol dari rektor dan jajarannya, terutama rektor bidang kemahasiswaan dan wakil dekan bidang kemahasiswaan.

“Daripada menerapkan kebijakan memantau media sosial yang menerobos privasi, serta melanggar kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan yang telah dijamin UUD 1945,” katanya saat dihubungi, Senin (5/8).

Lebih lanjut, ia menegaskan, sebaiknya perguruan tinggi negeri yang terpapar radikalisme, rektor dan jajaran yang bertanggung jawab diberikan sanksi tegas.

“Bila perlu diberhentikan,” ujarnya.

Wacana mendata nomor telepon dan akun medsos warga kampus dikhawatirkan mengancam sikap kritis. /Pixabay.com.

Tak efektif

Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia (UI) Ridlwan Habib memandang, upaya Kemenristekdikti merupakan langkah yang sangat normatif karena semua orang bisa saja menyerahkan telepon seluler dan akun media sosialnya, yang mungkin bukan sehari-hari digunakannya.

"Mahasiswa atau dosen yang merasa tidak nyaman dengan pendataan itu bisa membuat akun baru, yang isinya ya normal saja. Sekadar untuk memenuhi kewajiban saja," ujarnya saat dihubungi, Senin (5/8).

Ridlwan mengatakan, rencana ini sudah tak efektif untuk menangkal paham radikal di kampus. Masalahnya, sudah terlebih dahulu diumumkan sebelum dieksekusi. Bisa saja, kata dia, beberapa pihak menyalin identitas telepon seluler dan akun media sosialnya.

"Mestinya tidak perlu diumumkan," katanya.

Pendiri Media Kernels sekaligus pengamat media sosial Ismail Fahmi pun punya pandangan serupa dengan Ridlwan. Dia beranggapan, wacana yang dilontarkan Menristekdikti berlawanan dengan semangat berpikir di kalangan kampus.

"Kampus itu tempatnya dialog bukan tempat untuk dimonitor dan diawasi," kata Ismail ketika dihubungi, Senin (5/8).

Menurutnya, jika rencana itu dipaksakan, Ismail khawatir bakal membungkam suara kritis warga kampus. Pemantauan nomor telepon dan media sosial, sebut Ismail, bisa membuat orang enggan menyampaikan pendapat kritisnya karena takut dianggap radikal.

"Sebuah pendapat itu kritis, radikal, atau tidak itu yang menentukan siapa?" katanya.

Di sisi lain, anggota Komisi X DPR dari Fraksi Golkar Marlinda Irwanti Poernomo pun tak setuju dengan rencana pendataan dan pemantauan ini. Senada dengan Ismail, dia melihat, hal ini bisa mematikan semangat kritis kaum intelektual kampus.

"Mestinya dia (Mohamad Nasir) bisa cari cara lain, tidak dengan cara yang bisa membungkam seperti ini. Ini eranya digital, sudah bukan eranya diawasi," ujarnya saat dihubungi, Senin (5/8).

Rencana Menristekdikti Mohamad Nasir, kata Ismail, adalah kerja mubazir. Alasannya, masalah radikalisme bisa langsung ditangani pihak kepolisian, tanpa melibatkan kementerian yang dipimpinnya.

"Kalau ditemukan paham radikal, apa susahnya polisi menangkap orang di dalam kampus? Enggak perlu pakai data-data begini," ujarnya.

Keluar rel

Ismail Fahmi mengatakan, seharusnya Kemenristekdikti tak perlu nimbrung menangani radikalisme. Ia memberikan saran, Menristekdikti lebih baik fokus meningkatkan mutu perguruan tinggi dan mengembangkan riset untuk memecahkan masalah yang ada di masyarakat.

“Karena itu lebih berfaedah ketimbang mengurusi tindak tanduk seseorang," tuturnya.

Marlinda Irwanti Poernomo sendiri merasa terusik dengan rencana Kemenristekdikti ini. Dia merasa, Kemenristekdikti keluar dari tugas pokok dan fungsinya.

“Sebab yang seharusnya memantau media sosial publik adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika," katanya.

Kemenristekdikti melontarkan wacana akan mendata dan memantau nomor telepon dan akun medsos warga kampus.

Bila ingin menangkal gejala radikalisme di kampus, kata Melinda, sebaiknya Kemenristekdikti dapat menghadirkan diskusi kebangsaan yang memikat, dan memicu daya kritis mahasiswa.

"Dari situ bisa tahu seperti apa kondisi kampus. Kita ada program sosialisasi Empat Pilar dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Sungguh sayang jika tidak optimalkan," ujarnya.

Dalam waktu dekat, kata dia, Komisi X DPR bakal memanggil Menristekdikti. Sebab, mantan rektor Universitas Diponegoro (Undip) itu bukan kali ini saja membuat keputusan, tanpa sepengetahuan mitranya, yakni Komisi X DPR. Rencana pemanggilan itu akan dijadwalkan setelah reses parlemen, usai perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus mendatang.

"Soal mendatangkan rektor asing pun dia (Mohamad Nasir) enggak pernah membicarakannya dengan Komisi X,” katanya.

Berita Lainnya
×
tekid