Amarah rakyat Pati tidak terbendung mendesak Bupati Pati Sadewo turun dari jabatannya. Awal Agustus lalu, sekitar 50 ribu massa dari berbagai elemen masyarakat berunjuk rasa di Jalan Tombronegoro Nomor 1, Kaborongan, Pati Lor, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, tepat di depan Kantor Bupati Pati.
Mereka memprotes kebijakan Sadewo yang tiba-tiba mendongkrak nilai Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250%. PBB-P2 merupakan pajak atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan/atau bangunan di wilayah desa maupun kota yang dikecualikan untuk lahan perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Mulanya, protes warga itu ditanggapi arogan oleh Sadewo. “Jangan hanya 5 ribu orang, 50 ribu orang suruh ngerahkan. Saya tidak akan gentar,” ujar Sudewo dalam sebuah video yang beredar. Sadewo akhirnya meminta maaf pada 7 Agustus 2025 di Pendopo Kabupaten Pati.
Namun demikian, protes warga keburu direspons Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pati. Hasil rapat paripurna DPRD Pati memutuskan pembentukan Panitia Khusus Hak Angket tentang Pemakzulan Bupati Sadewo pada 13 Agustus 2025.
Tak hanya di Pati, kebijakan meningkatkan tarif pajak Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga dilakoni sejumlah kabupaten dan kota lainnya. Pemkab Jombang bahkan mendongkrak PBB-P2 hingga 1.202%. Bupati Jombang Warsubi berdalih kebijakan itu sudah direstui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Di Kabupaten Semarang, sejumlah warga melaporkan kenaikan drastis tagihan PBB mereka. Salah satu kasus yang "viral" ialah yang menimpa warga bernama Tukimah, 69 tahun. Tukimah mengaku nilai PBB yang harus ia bayar melonjak dari Rp 161.000 menjadi Rp 872.000.
Pemkab Semarang berdalih kenaikan PBB disebabkan oleh penyesuaian nilai objek pajak berdasarkan lokasi strategis dan adanya perubahan jumlah bangunan di area permukiman warga. Namun, banyak warga memprotes kebijakan yang terkesan sepihak itu.
Belum lama ini, aksi protes juga digelar Paguyuban Pelangi Kota Cirebon. Sebagaimana warga Pati, mereka menolak kebijakan kenaikan PBB yang bahkan mencapai 1.000% di beberapa wilayah. Menurut mereka, tak adil jika warga Cirebon dibebani kenaikan pajak sebesar itu sementara Bupati Pati sudah membatalkan kenaikan PBB-P2.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisaksi, Trubus Rahadiansyah menilai langkah sejumlah pemda mendongkrak kenaikan tarif pajak merupakan imbas dari efisiensi anggaran yang diberlakukan pemerintah pusat. Pemda menganggap cara paling cepat menarik dana untuk tambahan anggaran melalui pajak dan retribusi daerah.
"Bayangkan APBD di daerah itu habis untuk birokrasi saja, sementara untuk pembangunan mereka sudah banyak kelimpungan. Mencari investasi juga tidak mudah. Akhirnya, ya, mencari cara paling cepat. Ya, itu dengan menaikan pajak," kata Trubus kepada Alinea.id, Rabu (13/8).
Trubus mengatakan bila gelombang protes rakyat yang terjadi di Pati bis meluas ke berbagai daerah lainnya. Apalagi, persoalan yang dihadapi warga cenderung serupa, yakni dimintai tambahan pajak kondisi perekonomian sedang sulit.
"Ini sinyal bahaya buat pemerintah pusat sebenarnya. Apalagi, Bupati Pati itu berasal dari Gerindra, partai yang sama dengan Presiden Prabowo Subianto," kata Trubus.
Analis politik dari Universitas Jember, Muhammad Iqbal mengatakan kasus unjuk rasa besar di Pati yang menuntut Bupati Sadewo turun merupakan contoh buruk kebijakan publik yang tak berpihak kepada rakyat kecil. Apalagi, Sadewo melukai hati warga dengan respons arogannya.
"Kebijakan Bupati Pati menaikkan tarif PBB jelas nir-empati. Amuk dan muak warga Pati adalah akumulasi dari sekian banyak kebijakan yang sarat arogansi dan kecongkakan Bupati dan birokrasi," kata Iqbal kepada Alinea.id, Kamis (14/8).
Iqbal mencermati kenaikan tarif PBB-P2 yang dilakukan sejumlah pemda ada kaitannya dengan retret kepala daerah di Limbah Tidar, Magelang, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Dia menduga ada arahan atau tips dan trik dari pemerintah pusat kepada para kepala daerah tentang bagaimana menyiasati kebijakan efisiensi anggaran.
"Termasuk politik kebijakan angaran untuk 2026 yang makin menciutkan ruang fiskal keuangan daerah. Sejatinya, ini memicu kepanikan sporadis daerah. Bahkan, jika bila tidak terkelola dengan memadai, kasus Pati bisa memicu gejolak sosial serupa di daerah lainnya," kata Iqbal.
Iqbal menduga pemerintah pusat sudah memprediksi protes publik yang kemungkinan bakal membesar. Yang ia khawatirkan aksi protes masyarakat direspons secara represif oleh pemerintah dengan pengerahan aparat keamanan atau bahkan militer.
"Tapi, inilah saatnya jadi momentum kesadaran bersama terutama bagi kelompok akademia dan masyarakat sipil untuk duduk bersama pemerintah pusat dan daerah mencegah jangan sampai terjadi revolusi sosial," tuturnya.