Wacana Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam mempertimbangkan untuk menggolongkan vape atau rokok elektrik sebagai narkotika menuai banyak tanggapan. Publik bingung apakah benar vape bisa disamakan dengan narkotika seperti di Singapura.
Sebelumnya, Kepala BNN Inspektur Jenderal Polisi Suyudi Ario Seto mengatakan para pemangku kepentingan terkait perlu duduk bersama untuk membahas perlu atau tidaknya melarang peredaran vape.
"Nanti kami lihat ya, kami harus mengecek data dulu," ucap Suyudi kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, akhir Agustus lalu.
Wacana larangan peredaran vape menyeruak setelah BNN mengungkapkan adanya narkoba jenis baru berkedok rokok elektrik berupa vape pods. Itu terungkap saat petugas menggagalkan pengiriman barang ilegal dari Malaysia dan Prancis, belum lama ini.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi menegaskan bahwa vape sejatinya bukan narkotika.
"Kandungan vape murni hanya nikotin. Yang pasti rokok elektronik bukan mengandung psikotropika. Kalau psikotropika, kan jelas tidak dijual bebas,” kata Nadia kepada Alinea.id di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Menurut Nadia, Singapura melarang vape karena ada zat berbahaya bernama etomidate yang dimasukkan sebagai narkotika. Dalam aturan resmi, vape seharusnya tidak boleh dicampur dengan zat selain nikotin.
“Ada perisa rasa, tapi itupun bukan bahan yang dilarang dan dalam batas yang aman. Etomidate adalah zat yang penggunaannya harus di bawah pengawasan medis, jadi tidak bisa digunakan untuk masyarakat luas,” jelas Nadia.
Jika ada kandungan lain, makavape yang dijual bisa dikategorikan menyalahi aturan. “Iya dan pasti itu ilegal mencampurkan zat dan tidak mendaftarkan kandungan zat tersebut,” imbuh Nadia.
Namun suara lebih keras datang dari pakar kesehatan masyarakat, Hasbullah Thabrany. Ia mengingatkan, meski bukan psikotropika, nikotin cair tetaplah zat adiktif.
“Sampai saat ini nikotin cair sudah lama sekali diketahui mempunyai sifat adiktif atau membuat ketagihan. Begitu juga psikotropika atau narkotik, sama-sama adiktif, hanya sifat dan reaksinya berbeda,” ujarnya kepada Alinea.id, Senin (1/9).
Menurut Hasbullah, alasan Singapura memasukkan vape ke kategori narkotika justru karena lebih mudah disusupi narkoba berbahaya ketimbang rokok konvensional. “Reaksinya bisa lebih cepat dan lebih berbahaya,” katanya.
Karena itu, ia berharap Indonesia berani mengambil sikap tegas. “Saya sangat senang kalau Indonesia berani tegas mengendalikan konsumsi zat adiktif rokok dan vape. Itu akan memastikan generasi muda tidak lagi kecanduan,” lanjutnya.
Bahkan, ia tidak segan menegaskan bahwa merokok dalam bentuk apapun seharusnya dilarang. “Saya pribadi sangat yakin bahwa merokok baik konvensional maupun vape hukumnya haram. Sayang, di Indonesia masih banyak ulama yang belum berani mengharamkan,” tegasnya.
Di akhir perbincangan, Hasbullah menyinggung lemahnya regulasi iklan rokok di tanah air. “Pemerintah sangat lemah melindungi rakyat dari iklan rokok. Pandangan yang sempit dari pejabat membuat rakyat jadi korban. Semoga saja ada keberanian Presiden Prabowo melindungi seluruh rakyat dari bahaya zat adiktif,” ujarnya.