close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Sejumlah pekerja migran Indonesia dari Malaysia yang dideportasi menerapkan jaga jarak dengan duduk berbaris untuk menjalani pendataan di PLBN Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Kamis (23/4/2020)./Foto Antara/Agus Alfian
icon caption
Sejumlah pekerja migran Indonesia dari Malaysia yang dideportasi menerapkan jaga jarak dengan duduk berbaris untuk menjalani pendataan di PLBN Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, Kamis (23/4/2020)./Foto Antara/Agus Alfian
Nasional
Minggu, 09 Juni 2024 06:23

Musabab pekerja migran tercekik biaya penempatan

“Saya sudah jual sawah dan pinjam uang ke bank. Karena ternyata, saya baru tahu, biaya penempatan itu sangat besar."
swipe

Sejak kehilangan pekerjaan, Willy Nofriyansyah, 27 tahun, hanya bisa meringkuk di selter tempat penampungan pekerja migran Indonesia di Taiwan. Ia dipecat majikan tempatnya bekerja, dengan alasan tak bisa bahasa Mandarin Taiwan. Akibatnya, sering kali terjadi salah paham. Padahal, tak sedikit uang yang ia keluarkan untuk membayar biaya penempatan kerja.

“Saya sudah bayar Rp118 juta sama perusahaan penyalur. Tapi, baru kerja tiga bulan, saya di-PHK,” ucap Willy kepada Alinea.id, Selasa (4/6).

Sebelumnya, Willy bekerja di pabrik kasur pegas. Pria asal Tanggumus, Lampung ini tiba di Taiwan pada 20 Februari 2024, dengan harapan bisa mengubah keadaan hidupnya. Sebelum berangkat ke Taiwan, ia mencari informasi penempatan kerja dari rekan dan saudara, hingga akhirnya diberi tahu ada perusahaan penyalur bernama PT. Blue Diamond Indonesia.

“Saya sudah jual sawah dan pinjam uang ke bank. Karena ternyata, saya baru tahu, biaya penempatan itu sangat besar,” kata dia.

“Perusahaan penyalur itu mematok Rp78 juta dan masih ditangguhkan potongan selama 7 bulan sebesar 1.145 NTD (New Taiwan Dollar), jadi total Rp118 juta.”

Padahal, secara aturan, Willy baru tahu bila biaya penempatan kerja di Taiwan sekitar Rp27 juta. Ia pun berencana menagih kembali uang yang sudah dibayar lebih.

“Jadi, Rp91 juta uang (saya) harus kembali. Menurut aturan pemerintah, tidak boleh lebih dari Rp27 juta (ini termasuk dalam tagihan Bank Chinatrust),” tutur Willy.

Nasib apes terlilit biaya penempatan kerja juga dialami Nuri, 29 tahun. Warga Lampung tersebut mesti mengeluarkan biaya sebesar Rp136 juta dari PT. Blue Diamond Indonesia. Ia pun di-PHK sepihak dari tempatnya bekerja, sebuah perusahaan makanan beku di Taiwan. Alasannya, performa kinerjanya menurun.

"Saya dianggap terlalu ngurusin istri saya yang sebelumnya juga dipermasalahkan. Kami berdua hanya bekerja tiga bulan. Mulai dari Februari dan d PHK awal Mei," ucap Nuri.

Saat ini, Nuri dan istrinya masih “mengungsi” di selter penampungan pekerja migran Indonesia untuk mencari pekerjaan baru. Ia juga memproses protesnya terhadap PT. Blue Diamond Indonesia, yang sudah mengenakan biaya penempatan terlampau besar. Nuri sudah menjual sawah dan berutang untuk bisa membayar biaya penempatan tersebut.

Merujuk daftar Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) yang dikeluarkan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), per 30 April 2023 PT. Blue Diamond Indonesia tercatat berkantor di Majalengka, Jawa Barat. Perusahaan ini memiliki nomor induk berusaha 1410220015819 dan nomor izin P3MI 14102200158190005, yang terdaftar izin pada 8 Desember 2022.

Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto Suwarno menilai, biaya penempatan pekerja migran yang masih mencekik disebabkan perlindungan yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia belum diimplementasikan. Di dalam pasal 30 ayat (1) beleid itu disebutkan, pekerja migran Indonesia tidak dapat dibebani biaya penempatan.

“Lalu, mandat UU itu untuk mengatur pembiayaan diserahkan kepada BP2MI (Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia) melalui peraturan badan, sehingga lahir Perban (BP2MI) Nomor 09 Tahun 2020 dan beberapa KepKa (keputusan kepala),” ujar Hariyanto, Selasa (28/5).

“Struktur pembiayaan yang dimaksud adalah dibiayai oleh negara dan pemberi kerja.”

Masalahnya, pada level daerah masih kebingungan menyelenggarakan vokasi karena problem klasik pembiayaan dan ketersediaan anggaran. “Pembiayaan yang dibebankan kepada pemberi kerja BP2MI mengalami kesulitan dan banyak mendapatkan penolakan dari beberapa negara tujuan, khususnya Taiwan,” tutur Hariyanto.

Selain itu, masih ada ketimpangan pemahaman atas kewenangan yang diberikan UU 18/2017 antara pemerintah pusat dan daerah, terutama di level kabupaten serta desa. “Masih tinggi ego sektoral di pemerintah desa yang kami duga sebagai penghambat implementasi dan menjadi kebingungan di pemerintah daerah,” kata dia.

Sedangkan layanan terpadu satu pintu untuk memangkas birokrasi proses penempatan berbiaya murah juga belum efektir. Bahkan, cenderung belum menjadi rencana strategis pemerintah kabupaten.

"Walaupun kabupaten yang sudah ada LTSA (layanan terpadu satu atap) masih perlu pembenahan dari segi SDM dan infrastrukturnya," kata Hariyanto.

Sementara itu, peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bram Nainggolan menilai, pekerja migran yang terjerat biaya penempatan terlampau besar bisa disebabkan terkena jebakan perusahaan penyalur ilegal ayng terus memberikan iming-iming kemudahan bekerja di luar negeri.

Bram mengaku pernah punya pengalaman menyelidiki perusahaan penyalur ilegal. Polanya, perusahaan yang berhasrat memberi biaya penempatan terlalu besar selalu mengklaim dari memiliki izin Kemenaker.

“Persamaan lainnya adalah mereka semua ngotot (bilang), ‘ayo Mbak, sini saya proses cepat. Kirim segera paspornya. Kalau belum punya paspor, sini saya bantu bikin paspornya’,” ujar Bram, Kamis (5/6).

“Bahkan, banyak juga yang nanya di mana lokasinya sekarang dan minta langsung share location. Beberapa bahkan menawarkan uang sebesar Rp8 juta untuk keluarga yang kita tinggalkan, supaya memberi izin.”

Namun, bisa jadi pula perusahaan yang terdaftar juga memang berniat ingin memeras pekerja migran. Di samping itu, banyak pekerja migran yang tidak tahu mengenai rekam jejak perusahaan penyalur.

“Promosi yang dilakukan, baik oleh BP2MI maupun Kementerian Ketenagakerjaan itu masih minim banget untuk edukasi,” tutur dia.

“Jadi, kalau ke depannya masih akan banyak korban yang direkrut dan diberangkatkan, serta pulang dalam peti mati, saya tidak terlalu kaget.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan