sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Nestapa nelayan di tengah pencemaran laut Teluk Jakarta

Pencemaran laut di Teluk Jakarta sudah berlangsung lama tanpa solusi berarti. Mengancam mata pencaharian nelayan.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Sabtu, 30 Okt 2021 14:29 WIB
Nestapa nelayan di tengah pencemaran laut Teluk Jakarta

Sore itu, perbincangan santai antara Riyadi dan Adi di sebuah pos ronda Kampung Nelayan, Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara terhenti sejenak. Mereka melihat beberapa rekan seprofesinya, sesama nelayan merapatkan perahu di tanggul rob, usai menangkap ikan.

Mereka meledek nelayan-nelayan itu, yang mendapat hasil tangkapan kurang memuaskan. Riyadi mengatakan, lelucon mengenai hasil melaut sudah menjadi makanan sehari-hari di antara nelayan Kamal Muara. Pangkalnya, belakangan nelayan mendapat hasil tangkapan tak sebanding dengan modal yang dikeluarkan.

“Akhirnya, jatuh rugi. Misalkan, modal Rp50.000, tapi dapat ikannya cuma Rp30.000,” kata Riyadi kepada Alinea.id, Sabtu (23/10).

Banyak nelayan yang kini frustasi, kata Riyadi, terlebih saat kondisi sulit ikan pada musim angin barat. Kegelisahan bertambah karena Teluk Jakarta tercemar limbah industri dan rumah tangga, yang merusak ekosistem. Kerusakan lingkungan Teluk Jakarta diperparah pula dengan reklamasi yang menggerus daerah tangkapan ikan.

Pencemaran air laut yang semakin memburuk, ungkap Riyadi, sangat berdampak bagi nelayan bermodal kecil seperti dirinya. Sebab, ia tak mampu berlayar jauh hingga ke tengah laut untuk mencari ikan lantaran perlu perahu dan modal besar.

Pemuda berusia 25 tahun itu menyebut, tak sedikit nelayan seusianya yang banting setir menjadi buruh pabrik atau kuli bangunan karena tak dapat lagi bergantung hidup dari menangkap ikan di Teluk Jakarta.

"Karena udah ngeluarin modal, tapi dapatnya enggak seberapa," ucap pria yang sudah melaut sejak usia 12 tahun itu.

Bukan untung, malah buntung

Sponsored

Daklani, salah seorang nelayan di Cilincing, Jakarta Utara, tengah beristirahat, Kamis (28/10). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin.

Nasib serupa dialami Daklani, seorang nelayan di Cilincing, Jakarta Utara. Pria asal Brebes, Jawa Tengah yang sejak 1984 menggantungkan hidup dari menangkap ikan di perairan Jakarta ini mengaku sangat merasakan perubahan ekologi di Teluk Jakarta.

“Dulu, sekitar tahun 1980 akhir dan awal 1990 masih enak, enggak usah jauh-jauh (nangkap ikan). Walaupun dulu (juga) sudah ada limbah, tapi enggak parah kayak sekarang,” ucap Daklani saat berbincang, Kamis (27/10).

Untuk memperoleh tangkapan ikan yang banyak, Daklani harus melaut hingga ke Kepulauan Seribu. “Kadang, hasilnya enggak bagus juga,” kata pria berusia 62 tahun itu.

“Modal saya itu Rp500.000, tapi ikannya yang didapat cuma kejual Rp300.000.”

Daklani dan beberapa rekannya masih beruntung. Mereka punya kapal bertonase 5 GT yang bisa mengarungi laut lebih jauh hingga ke tengah. “Kadang, kita ke Mauk, Tangerang. Tapi, itu kalau modalnya cukup,” katanya.

Menurutnya, pencemaran di Teluk Jakarta berdampak pada sulitnya semua jenis biota laut dijadikan komoditas unggulan. “Paling parah itu budi daya kerang. Gara-gara pencemaran, kerang enggak bisa besar. Jadi, akhirnya masih kecil aja dipanen, ketimbang mati kena limbah,” ujarnya.

Tak hanya nelayan di Teluk Jakarta, Mustaghfirin, seorang nelayan di Pulau Pari, Kepulauan Seribu ternyata punya kisah yang sama. Ia mengatakan, perairan di Kepulauan Seribu juga terdampak kiriman limbah dan sampah dari Jakarta.

"Masalah ini sudah menahun," kata Mustaghfirin, Jumat (29/10).

"Yang seharusnya kita bisa mendapat hasil tangkapan normal, tapi akhirnya menurun. Untuk budi daya juga sama, karena kualitas air laut tercemar sangat menggangu perkembangan budi daya ikan dan rumput laut.”

Selain limbah industri dan sampah, menurutnya, tumpahan minyak menjadi biang kerok kerusakan lingkungan di perairan Kepulauan Seribu. Kerusakan lingkungan ini, ujarnya, memburuk sejak 10 tahun terakhir.

“Kalau hujan lebat di Jakarta dan terjadi banjir, air itu tumpahnya ke laut. Membuat air laut keruh, bercampur banyaknya sampah karena terbawa arus laut dari tenggara sampai ke pulau-pulau yang ada di Kepulauan Seribu,” ucapnya.

Mustaghfirin khawatir kerusakan lingkungan di sekitar Pulau Pari semakin memburuk bila tidak ada perbaikan tata lingkungan di hulu Jakarta. “Tangkapan ikan hari ini cuma dapat satu. Padahal, modal paling dikit Rp40.000 untuk solar saja,” kata dia.

Akibat pencemaran di Teluk Jakarta, salah seorang nelayan di Kamal Muara, Hardiansyah memutuskan berhenti melaut sejak enam bulan lalu. Ia beralih profesi menjadi kuli bangunan.

“Tekor. Modal udah keluar, dapatnya sedikit,” ucapnya di Kamal Muara, Jakarta Utara, Sabtu (23/10).

Pria kelahiran 1963 yang sudah mengarungi laut Jakarta sejak 1979 itu merasa, pencemaran di Teluk Jakarta mengancam kelangsungan hidup nelayan Kamal Muara sejak lima tahun terakhir.

“Sejak itu saya mulai merasakan terus merugi kalau ke laut,” ujarnya.

Herdiansyah menuturkan, dekade 1980-an hingga 1999 adalah masa kejayaan nelayan Kamal Muara. Saat itu, nelayan bisa memperoleh hasil tangkapan maksimal hanya menyisir perairan Teluk Jakarta.

“Dulu modal sedikit, untungnya lumayan. Walaupun cuma sebentar (melaut),” tuturnya.

Kata warga asli Kamal Muara ini, kerusakan lingkungan di Teluk Jakarta mulai muncul memasuki dekade 2000-an. Ketika itu, banyak industri di Jakarta membuang limbah sembarangan ke Teluk Jakarta.

“Sekitar 1991 limbah sudah banyak di Teluk Jakarta, tapi makin gila pas 2000-an ke sini,” katanya.

Nelayan dengan teknik sero ini menyebut, sejak 2016 terus merugi. Ia mengaku, pernah hanya mendapat ikan seharga Rp40.000 di pasar. Padahal, sudah mengeluarkan ongkos berlayar sekitar Rp50.000.

“Kami bukan untung, tapi buntung,” ujar dia.

Tak bisa dianggap remeh

Perahu-perahu nelayan di Cilincing, Jakarta Utara, Kamis (28/10). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin.

Terkait masalah pencemaran air laut ini, Kepala bidang Pengendalian Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Yusiono A. Supalal mengatakan, sudah melakukan pemantauan rutin di 42 titik yang tersebar, mulai dari semua muara sungai di Jakarta sampai Kepulauan Seribu.

“Hasilnya, dari pemantauan itu menunjukkan dominasinya adalah tercemar ringan dan sedang,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (26/10).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kategori tercemar ringan, tak berbahaya. Sementara tercemar sedang, relatif masih bisa diterima ekosistem dan biota laut.

Yusiono mengatakan, di dalam aturan itu ada 38 parameter yang terbagi ke dalam parameter fisik, kimia, dan biologi. "Dari parameter yang ditetapkan itu, kemudian ketemu indeks pencemaran, yaitu ringan dan sedang," ucap Yusiono.

Kendati demikian, Yusiono mengaku pihaknya tak selalu mengawasi setiap titik secara langsung. “Enggak mungkin juga setiap hari memantau sekian banyak titik di laut. Kami lebih mengupayakan mengawasi sumber pencemarannya,” ujarnya.

Menurut dia, ada banyak faktor yang membuat perairan Teluk Jakarta memburuk, di antaranya limbah industri dan rumah tangga. Sumber-sumber pencemaran inilah, yang kata Yusiono, diperketat pengawasannya.

Sejauh ini, ia mengklaim pihaknya sudah mengawasi secara pasif dan aktif pengolahan limbah industri agar tak sembarangan membuang ke saluran kota, sebelum diolah memenuhi baku mutu.

Akan tetapi, ia mengaku masih kelimpungan mengawasi pencemaran karena terlalu banyak kegiatan usaha yang belum mengantongi izin lingkungan. Saat ini, katanya, ada sekitar 5.000 kegiatan usaha di Jakarta yang mengantongi izin lingkungan.

"Belum semua kegiatan usaha di Jakarta memiliki izin. Ini jadi evaluasi kami," kata Yusiono.

Meski begitu, Yusiono mengatakan, pihaknya selalu tegas memberikan sanksi administrasi kepada industri dan kegiatan usaha yang melanggar, berupa teguran tertulis hingga paksaan pemerintah.

“Paksaan pemerintah ini bentuknya melakukan penutupan saluran dari outlet pengolahan air limbah tersebut sampai dia bisa mengelola dengan benar. Baru sanksi itu kita cabut,” ucapnya.

Perihal efek negatif reklamasi terhadap lingkungan perairan Teluk Jakarta, Yusiono mengaku kurang paham. "Kami baru lakukan pemantauan kondisi air di titik-titik itu semua. Keterkaitan dengan reklamasi, kami tidak melakukan penelitian khusus," ucap Yusiono.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi—akrab disapa Bagus—memandang, kerusakan lingkungan di Teluk Jakarta tak bisa dianggap remeh. Perkaranya sudah sangat mengancam mata pencaharian nelayan.

“Kerusakan lingkungan Teluk Jakarta tercatat sejak 1980-an, sudah menjadi konsentrasi Walhi,” ujar Bagus, Selasa (26/10).

Bagus mengatakan, keputusan pemerintah yang menjadikan kawasan pesisir utara sebagai wilayah bernilai ekonomi tinggi, turut memperburuk kondisi lingkungan di Teluk Jakarta. Keputusan tersebut membuat beban pencemaran di Teluk Jakarta semakin berat.

“(Tahun) 1994 pemerintah sudah merencanakan dan memperparah kawasan utara Jakarta, menjadi kawasan yang memiliki nilai ekonomi tinggi,” katanya.

“Bahkan, (tahun) 1995 diputuskan jadi reklamasi. Tekanan dan beban pencemaran semakin bertambah.”

Infografik Alinea.id/Muji Prayitno.

Sejak dahulu, sebut Bagus, pemerintah tak pernah serius merehabilitasi Teluk Jakarta. Malah diperparah dengan reklamasi. “Rencana reklamasi yang diinisiasi melalui Keppres (Nomor 52 Tahun) 1995 itu terjadi di tengah Teluk Jakarta yang sudah tercemar,” kata dia.

Pencemaran di Teluk Jakarta, dijelaskan Bagus, berasal pula dari 13 sungai besar di Jakarta yang menyumbang limbah industri dan rumah tangga ke laut. Saat ini, Bagus menuturkan, pemerintah sebenarnya sudah punya seperangkat aturan untuk memulihkan kondisi lingkungan di Teluk Jakarta.

"Tapi sampai sekarang kita belum tahu apa rencananya," kata Bagus.

Lebih lanjut, ia menyebut, pemerintah baru sekadar berperan sebagai “tukang cuci piring”, ketika lingkungan Teluk Jakarta heboh pencemaran. Namun, tak pernah serius membenahi sumber utamanya.

Bagus menilai, cara paling realistis untuk merehabilitasi Teluk Jakarta adalah dengan memulihkan 13 aliran sungai di Jakarta dari limbah terlebih dahulu. Kemudian, kondisi lingkungan di Teluk Jakarta perlahan bisa diperbaiki.

"Sumber-sumber pencemaran itu harus dicegah mulai dari sekarang,” tuturnya.

Ia berpendapat, bakal celaka bila Teluk Jakarta tak segera direhabilitasi. Hal itu sama saja menjerumuskan nelayan pesisir Jakarta ke jurang kemiskinan.

“Sumber penghidupan masyarakat itu semakin terbatas, sementara mereka untuk menjangkau wilayah tangkapnya harus bermil-mil,” katanya.

“Mereka tidak memiliki modal yang cukup dan alat tangkapnya tidak memadai.”

Berita Lainnya
×
tekid