sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ojol malang, ojol disayang 

Bantuan pemerintah mengalir kepada ojol selama pandemi Covid-19.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Rabu, 22 Apr 2020 12:03 WIB
Ojol malang, ojol disayang 

Bersama rekan-rekannya sesama pengemudi ojek pangkalan, Lalan meriung di bawah pohon rindang tepat di depan gerbang Jalan Warung Pojok, Semanan, Kalideres, Jakarta Barat, Senin (20/4) petang itu. Sambil berleha-berleha, Lalan sabar menanti penumpang yang tak kunjung datang. 

Sejak pembatasan sosial berskala besar (PSBB) berlaku di DKI Jakarta, menurut Lalan, pangkalan ojek tempatnya biasa mangkal itu sepi. Sepanjang hari, motor Lalan dan rekan-rekannya kebanyakan hanya terparkir di pangkalan. 

"Sekarang udah susah cari penumpang. Bawa pulang tiga puluh (ribu) udah syukur alhamdulillah," ujar pria berusia 36 tahun itu saat berbincang dengan Alinea.id. 

Lalan hanya satu dari segelintir pengemudi ojek yang tak bergabung menjadi mitra perusahaan ojek online (ojol). Karena itu, ia dan rekannya tak turut mendapatkan bantuan sosial khusus dari pemerintah meskipun penghasilan mereka merosot drastis. 

"Ojol mah masih enak. Masih dapet orderan barang sama makanan. Lha, kita boro-boro. Kelihatan memang (lebih diperhatikan pemerintah juga). Mungkin karena ojol banyak. Terus punya manajemen juga. Jadi, bisa lebih nuntut," tutur dia. 

Belakangan, kesan pengemudi ojol disayang pemerintah kian kuat. Selama masa pandemi, pemerintah berulang kali mengeluarkan kebijakan yang terkesan mengistimewakan ojol, mulai dari kelonggaran cicilan kredit motor selama setahun hingga cash back 50% untuk pembelian bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi. 

Namun demikian, Ketua Presidium Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Igun Wicaksono membantah opini yang berkembang di masyarakat itu. Menurut dia, ojol--setidaknya para pengemudinya--bukan "anak emas" pemerintahan Jokowi. 

"Realitas sebenarnya adalah jaring pengaman itu dikuasai aplikator tidak secara langsung ke mitra. Kesan di masyarakat kami ini, (pengemudi) ojol, yang selalu diistimewakan. Padahal, yang mendapat keuntungan adalah si platform ini," ujarnya kepada Alinea.id, Sabtu (18/4).

Sponsored

Igun mengakui bantuan terhadap pengemudi ojol mengalir dari pemerintah, baik itu dari BUMN, kementerian, maupun perusahaan swasta. Namun demikian, proyek-proyek pemberian bantuan itu selalu melalui pemilik platform atau aplikator. 

"Donasi dan bantuan yang bentuknya voucher dan uang tunai atau pun barang sembako dan lain-lain. Semua diturunkan ke (pemilik) aplikasi, bukan ke kami. Padahal, kami yang menginisiasi itu," ungkap Igun. 

Ia mencontohkan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) kepada para pengemudi ojol. Menurut dia, ada beragam program BLT yang diberikan sejumlah pihak untuk pengemudi. Namun, penyalurannya diatur oleh aplikator. 

"Si platform aplikasi akhirnya sekarang memiliki kemitraan dengan pihak ketiga untuk menyalurkan bantuan langsung tunai kepada para driver. Tapi, tidak semua driver dapet. Yang dapet hanya driver pilihan yang dekat dengan aplikator," kata dia. 

Meskipun kecewa, Igun dan rekan-rekannya tak bisa protes besar-besaran dengan turun ke jalan sebagaimana biasanya. Pasalnya, pemerintah kini tengah melarang aksi unjuk rasa dalam berbagai bentuk guna mencegah penyebaran Covid-19. 

"Pemerintah pun tidak berinisiatif melakukan komunikasi aktif dengan kami utuk membicarakan mengenai dampak (pandemi Covid-19) terhadap para driver ojol. Sejauh ini, kami hanya bisa protes lewat saluran komunikasi," terang dia. 

Pengemudi ojek daring tertidur diatas sepeda motornya tak jauh dari salah satu rumah makan akibat sepinya orderan di Kendari, Sulawesi Tenggara, Rabu (8/4). /Foto Antara

Mitra kerap dipermainkan? 

Pengamat transportasi Joko Setijowarno mengatakan seharusnya pihak perusahaan berada di garda terdepan dalam membantu para mitra. Sebagai perusahaan dengan valuasi hingga triliunan rupiah, tak sepantasnya pemilik aplikasi "mengemis" bantuan dari pemerintah supaya bisnis mereka tidak terpukul. 

"Ya, ini buah dari pemerintah tidak tegas terhadap aplikator itu. Aplikator bilang selalu hubungannya dengan mitra. Konsep siapa yang bilang tak ada tanggung jawab terhadap mitra? Itu enggak ada. Ini karena pemerintah tidak tegas saja," ucapnya kepada Alinea.id, Minggu (19/4).

Menurut Joko, Grab dan Gojek kini kerap berperan bak para makelar. Di saat sulit, mereka kerap bersembunyi dari tanggung jawab terhadap mitra. Padahal, mitra merekalah yang membesarkan bisnis kedua perusahaan itu.

"Ya, gitu. Mau untungnya saja. Saya saranin usaha kayak gitu mending hengkang. Enggak perlu kok. Jadi beban negara doang karena selalu lepas tanggung jawab. Bohong kalau mereka bilang menyejahterakan. Kalau menyejahterakan, ojol enggak mungkin minta-minta," tuturnya. 

Lebih jauh, Joko mendesak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan direvisi supaya pemilik platform ojol bisa dikategorikan sebagai perusahaan transportasi. "Harus diperjelas kedudukannya di situ. Biar enggak hanya jadi makelar," imbuhnya. 

Dihubungi terpisah, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menduga ada peran elite-elite di lingkaran Istana sehingga ojol diistimewakan selama masa pandemi Covid-19. 

"Ojol itu perusahaan aplikasi yang dimiliki para pengusaha, yang sebagian mereka-mereka ada di Istana. Mereka punya saham di situ. Jadi, mereka-mereka ini, biarpun swasta, tapi bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah," ucap Trubus. 

Trubus mengatakan, pekerja informal yang terdampak Covid-19 bukan hanya pengemudi ojol. Namun, kemaslahatan para pekerja informal lainnya dikesampingkan lantaran tidak ada elite-elite Istana yang memperjuangkan kepentingan mereka. 

Di sisi lain, pemerintah juga kerap bersikap lunak lantaran komunitas pengemudi ojol kini kian diperhitungkan sebagai kelompok penekan. "Dia pun punya aliansi dan kelompok yang memang memiliki jaringan sampai ke dalam. Itu juga berpengaruh. Tapi, ini ujungnya hanya memunculkan diskriminasi terhadap pekerja informal lain," ucapnya.

Pengemudi ojek daring menunggu pesanan di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (4/4). /Foto Antara

Senada, Wakil Ketua Komisi V DPR RI Nurhayati Monoarfa meminta agar pemerintah tidak terus-menerus melindungi kepentingan pemilik aplikasi ojol. Menurut dia, tidak sepatutnya insentif kepada para mitra yang harusnya jadi tanggung jawab perusahaan dibebankan kepada negara. 

"Seharusnya perusahaanlah yang memberikan insentif kepada mitranya seperti pengurangan beban yang ditanggung pengemudi ojol selama ini, semisal bagi hasil dan pajak 6%," ujar politikus Partai Persatuan Pembangunan itu. 

Hingga kini, pemilik aplikasi mengutip 20% pendapatan para pengemudi ojol untuk keuntungan perusahaan. Selain itu, Grab menetapkan potongan pajak 6% bagi pengemudi yang dapat bonus Rp4,5 juta per bulan. Padahal, seharusnya potongan itu tidak berlaku jika status perusahaan dan pengemudi adalah mitra. 

Karena itu, Nurhayati meminta pemerintah mewajibkan Gojek dan Grab beralih status menjadi perusahaan transportasi. "Dengan begitu, mereka mempunyai tanggung jawab terhadap mitra-mitranya dan harus membayar pajak sesuai ketentuan perundang-perundangan perpajakan di Indonesia," kata dia.

Pendapat berbeda diutarakan pengamat kebijakan publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Satria Aji Imawan. Menurut Satria, ada kalkulasi rasional yang diperhitungkan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan proojol. 

"Pemerintah menganggap ojol sebagai penyambung ekonomi mikro, ekonomi yang masih bisa bergerak di tengah pandemi. Ojol bisa menghubungkan produsen dengan konsumen saat PSBB berlalu. Sehingga dipelihara," ujar dia. 

Namun demikian, Satria sepakat seharusnya pemerintah tidak pilih kasih. Ia menilai dana Rp405 triliun yang diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid19 cukup untuk menjamin semua pekerja informal yang terdampak wabah. 

Pengemudi ojek daring menunggu orderan di kawasan Tanah Kusir, Jakarta, Selasa (7/4). /Foto Antara

Suara dari Grab dan GoJek

Kepala Urusan Korporat Gojek Nila Marita membantah pihak perusahaan pasif dalam menyikapi nasib mitra mereka di tengah pandemi. Menurut Nila, Gojek telah mengambil sejumlah langkah strategis untuk meringangkan beban para driver

Salah satunya dengan mendonasikan 25% gaji setahun kalangan manajer senior Gojek dan realokasi anggaran kenaikan gaji seluruh karyawan. Dari kebijakan itu, total sudah ada Rp100 miliar dana yang terkumpul dan didonasikan ke Yayasan Anak Bangsa Bisa (YABB) untuk disalurkan ke mitra Gojek. 

"Program bantuan mitra driver Gojek berfokus pada tiga area utama, yakni penyediaan layanan kesehatan, meringankan beban biaya harian, dan bantuan pendapatan bagi mitra. Sebagian besar program sudah berjalan," kata Nila. 

Sebagai bentuk antisipasi menurunnya pendapatan mitra, Gojek juga telah menyediakan 1 juta voucher makan. Langkah lainnya ialah dengan memperluas layanan. "Layanan GoFood diperluas untuk dapat melayani pembelian bahan pokok dan pangan," imbuh Nila. 

Meski begitu, Nila tak membantah jika pihak perusahaan mendapatkan banyak bantuan dan kelonggaran kebijakan dari pemerintah. "Kami sangat mengapresiasi dukungan pemerintah kepada seluruh mitra di dalam ekosistem kami yang terdampak mata pencahariannya akibat pandemi ini," kata dia. 

Infografik Alinea.id/Oky Diaz

Bantahan serupa juga datang dari Direktur Pelaksana Grab Indonesia Neneng Goenadi. Menurut dia, Grab Indonesia telah menggelontorkan dana sebesar Rp160 miliar bagi mitra mereka yang terdampak pandemi Covid-19. 

Dana sebesar itu dialokasikan untuk menyediakan alat pelindung diri, masker, dan penyanitasi tangan bagi para mitra Grab serta membangun stasiun disinfektan di berbagai kota di Tanah Air. Lewat GrabCare, perusahaan juga menyediakan bantuan finansial dan medis. 

"Selain itu, mitra pengemudi GrabBike dan GrabCar juga akan menerima bantuan keuangan sebesar Rp1,5 juta (untuk GrabBike) dan Rp3 Juta (untuk GrabCar) bila dinyatakan positif Covid-19. Grab juga bakal menjamin kebutuhan pokok sebulan penuh bagi mitra Grab yang menjalani karantina mandiri," kata dia. 

Untuk mendukung program relaksasi cicilan yang dikeluarkan pemerintah, Grab menggandeng angkutan sewa khusus untuk menunda biaya rental hingga dua bulan ke depan. Grab juga tengah mengumpulkan data kredit kendaraan para mitra untuk pengajuan restrukturisasi pinjaman secara kolektif. 

Neneng tak menampik bila Grab mendapat banyak kemudahan dari pemerintah. Namun demikian, ia tak sepakat jika Grab hanya dianggap pasif dalam menyikapi penurunan pendapatan mitra mereka pada masa pandemi. "Program-program akan terus kami kembangkan," imbuh dia. 

Kepada Alinea.id, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Budi Setiyadi mengatakan, tidak ada perlakuan spesial bagi aplikator dan pengemudi ojol yang terpukul akibat pandemi. 

"Kami tidak pernah menganakemaskan dan sebagainya. Jelas itu. Enggak ada. Semua sama di depan kami. Kami harus memberi perlindungan kepada semuanya," kata dia. 

Terkait desakan agar ada revisi regulasi supaya ojol dikategorikan perusahaan transportasi, Budi mengatakan, pembahasan itu kurang tepat dilakukan pada masa pandemi. 

"Regulasi? Ya regulasi sudah kita buat memang. Jangan dikaitkan hal regulasi dengan hal yang lain (bantuan). Kalau dikaitkan ke hal lain, ya, mungkin orang menebak-nebak sendiri," ujar dia. 


 

Berita Lainnya
×
tekid