sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Perlukah RI punya kedubes di Israel?

Indonesia bakal lebih untung jika punya hubungan diplomatik dengan Israel, termasuk di antaranya dalam memperjuangkan nasib Palestina.

Akbar Ridwan
Akbar Ridwan Selasa, 09 Mei 2023 06:25 WIB
Perlukah RI punya kedubes di Israel?

Pemerintah Israel kembali mewacanakan normalisasi hubungan antara Israel dan Indonesia. Dalam sebuah wawancara dengan media, akhir April lalu, Duta Besar Israel untuk Singapura, Sagi Karni mengatakan negaranya berharap Indonesia dan Israel punya hubungan diplomatik resmi. 

"Usulan kami sangat sederhana. Kita (Israel-Indonesia) menjalin hubungan normal dan memperkuat hubungan kita di seluruh aspek, tidak hanya sepak bola," kata Karni seperti dikutip dari CNN

Timnas Israel jadi salah satu peserta Piala Dunia U-20 yang sebelumnya direncanakan digelar di Indonesia. Sejak tahun lalu, publik Indonesia gaduh menolak kontingen Israel. Maret lalu, FIFA memutuskan untuk mencabut status Indonesia sebagai tuan rumah. 

Indonesia hingga kini tak punya hubungan bilateral dengan Israel sebagai bentuk solidaritas terhadap nasib bangsa Palestina. Di forum-forum internasional, pemerintah juga getol mengecam dan mengutuk berbagai kebijakan Israel terhadap bangsa Palestina. 

Karni berpendapat hubungan diplomatik bakal menguntungkan kedua negara. Ia bahkan menyebut Indonesia tak bisa berbuat banyak bagi perjuangan bangsa Palestina karena menolak berkomunikasi langsung dengan Israel. 

"Indonesia memiliki kapabilitas dan kapasitas yang terbatas karena tidak memiliki hubungan formal dengan Israel dan ini secara praktik tidak menolong mereka (Palestina)," kata dia. 

Itu bukan kali pertama wacana normalisasi hubungan RI mengemuka. Pada September 2015, di tengah tengah KTT PBB di New York City, Amerika Serikat, Menteri Luar Negeri Israel Silvan Shalom menggelar rapat rahasia dengan Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirayuda. Shalom melobi agar Indonesia membuka kedubes di Israel. 

Namun, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden RI ketika itu, menolak tawaran tersebut. "Komunikasi apa pun antara pejabat Indonesia dan Israel harus membahas upaya membantu kemerdekaan bangsa Palestina," kata SBY. 

Sponsored

Wacana membuka hubungan diplomatik juga sempat mengemuka pada era Presiden Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur. Tak lama setelah menjabat, Gus Dur sempat menyatakan ingin membina hubungan dengan Israel. Namun, wacana tersebut menguap setelah Gus Dur dilengserkan pada 2001. 

Alinea.id sudah berupaya menghubungi Juru Bicara Kementeruian Luar Negeri (Kemlu) Teuku Faizasyah untuk meminta pandangan soal wacana normalisasi hubungan antara Israel dan Indonesia. Namun, Teuku tak merespons permintaan wawancara Alinea.id

September lalu, Teuku sempat merespons wacana normalisasi hubungan kedua negara. Kala itu, Jerusalem Post memberitakan delegasi diplomatik Pakistan dan Indonesia berada di Israel untuk sebuah kunjungan rahasia.

“Dari sisi Kementerian Luar Negeri, sebagai pengampu kebijakan luar negeri Indonesia, tidak ada langkah-langkah yang mengarah ke normalisasi hubungan,” terang Teuku. 

Meski tak punya hubungan diplomatis, Indonesia sebenarnya berdagang dengan Israel. Pada 2022, menurut catatan Kementerian Perdagangan, nilai ekspor Indonesia ke Israel mencapai USD185,6 juta. Angka itu naik sekitar 14% dari tahun sebelumnya. Nilai impor dari Israel tercatat sebesar USD47,8 juta.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menghadiri Konferensi Tingkat Menteri ​Luar Biasa (KTM-LB) Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang berlangsung secara daring, Rabu (10/6/2020). /Foto Antara

Untung atau rugi? 

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Teuku Rezasyah berpendapat hubungan diplomatik antara Indonesia dan Palestina hanya bisa terjalin jika Israel berinisiatif mengubah kebijakan-kebijakan terkait Palestina. 

“Jadi, ini yang membikin Indonesia berpikir. Ya, selama tidak ada perubahan sikap dari Israel, enggak akan pernah ada hubungan diplomatik,” ucap Teuku kepada Alinea.id, Rabu (3/5).

Soal Indonesia yang dianggap tak bisa berbuat banyak lantaran tak punya hubungan diplomatik dengan Israel, Teuku tak sependapat. Menurut dia, negara-negara yang punya hubungan diplomatik dengan Israel pun kesulitan untuk menekan Israel dan memperjuangkan nasib Palestina. 

Ia mencontohkan Turki yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel sejak 1949. Israel, kata dia, sempat berjanji pada Turki untuk duduk bareng membahas nasib Palestina setelah hubungan diplomatik terjalin. Namun, janji itu tak ditepati. “Dan, ternyata Israel-nya mangkir terus,” kata dia.

Indonesia sejatinya mendorong two state solution untuk meredakan konflik antara Israel dan Palestina. Pada 1988, Indonesia telah mengakui Palestina sebagai sebuah negara merdeka. Namun, Israel masih ogah mengakui kedaulatan Palestina. Sejak 2014, pembicaraan damai antara Palestina dan Israel terhenti. 

Teuku berpandangan membuka Kedubes di Israel bukan satu-satunya jalan untuk menekan Israel ke meja perundingan. Di luar jalur diplomatik resmi, Indonesia masih tetap bisa memperjuangkan nasib Palestina melalui jalur lain.

“Antara lain OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) sama GNB (Gerakan Non-Blok) saja. Setiap bulan bikin komitmen gabungan. Komitmen gabungan itu, mengkritik Israel terus-terusan. Jadi, itu tema bulanan,” usul Teuku.

Argumen sedikit berbeda disampaikan dosen HI Unpad Irman G. Lanti. Ia berpendapat hubungan diplomatik bisa dipertimbangkan asalkan Israel bisa memenuhi syarat yang diajukan Indonesia, semisal kemajuan pesat dalam negosiasi pembentukan negara Palestina dan menghentikan pembukaan permukiman ilegal. 

“Sumber konflik di sana itu sekarang adalah pembukaan jewish settlements (permukiman Yahudi). Jadi, (pembukaan permukiman) di wilayah-wilayah pendudukan itu sesuatu yang sebenarnya oleh hukum internasional juga dipandang sebagai tindakan ilegal,” ucap Irman kepada Alinea.id, Rabu (3/5).

Irman mengamini sudah banyak negara muslim yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Ia meyakini Indonesia juga bisa memainkan peran lebih aktif dalam mendukung Palestina jika punya hubungan resmi dengan Israel.

“Jadi, secara diplomasi instrumen kita jadi lebih banyak. Misal, Turki itu kalau ada tindakan kekerasan oleh Israel (terhadap Palestina), yang Turki lakukan, misal, panggil dubesnya pulang. Di dalam kerangka diplomasi, memanggil seorang dubes pulang itu adalah tamparan buat negara yang ditempatkan,” jelas dia. 

Kehadiran perwakilan resmi Israel di Indonesia, kata Irman, juga menguntungkan bagi publik. Organisasi masyarakat Islam, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), misalnya, bisa turut menekan Israael secara resmi via kedubes. 

“Misal, Muhammadiyah atau NU menyampaikan protes atas peristiwa di Al Aqsa, itu kan bisa diserahkan kepada Kedutaan Besar Israel. Kalau sekarang pernyataan itu diserahkan kepada siapa? Media kan? Enggak ada efeknya buat Israel. Israel tidak akan merasakan tekanan kalau tidak disampaikan di dalam kerangka diplomatik," jelas dia. 

Indonesia, lanjut Irman, bisa saja berkukuh menolak membuka hubungan resmi dengan Israel karena publik tak mengizinkan langkah itu. Namun, ia berpendapat pemerintah bakal kesulitan memperjuangkan nasib bangsa Palestina.  

“Akan jalan di tempat. Kita tidak akan bisa memainkan peran yang lebih daripada hanya sekadar mengutuk dan mengutuk. Kalau kita punya hubungan diplomatik, kita opsinya lebih banyak. Bisa mengundang Israel ajak bicara. Kalau sekarang mengajak bicara lewat apa? Enggak ada jalurnya,” ujarnya.

Ilustrasi bendera Indonesia dan Palestina. /Foto Antara

Tak sekadar memperjuangkan Palestina

Dosen HI Universitas Pertamina Ian Montratama sependapat hubungan diplomatik dengan Israel bakal menguntungkan. Indonesia, misalnya, bisa mengirim tim langsung untuk mengawasi tindak-tanduk Israel di Palestina. Saat ini, pemerintah menggunakan data intelijen dari KBRI terdekat dan informasinya kerap tidak akura.

“Tapi, kalau kita punya kedutaan di sana (Israel), kita juga bisa, katakanlah melihat langsung dan juga nanti kebijakan yang diambil pemerintah kita lebih tepat sasaran,” ucap Ian kepada Alinea.id, Rabu (3/5).

Tak hanya soal nasib bangsa Palestina, menurut Ian, pemerintah juga perlu mempertimbangkan kepentingan publik saat membuka opsi normalisasi hubungan RI-Israel. Normalisasi, kata dia, bakal memudahkan para pemeluk agama mayoritas di Indonesia untuk berkunjung ke Jerusalem.  

Selama ini, masyarakat Indonesia yang beragama Nasrani sulit melakukan ziarah ke Jerusalem. Karena tak bisa mendarat langsung di Jerusalem, kunjungan ke Israel harus dilakukan via Yordania dan diteruskan melalui jalur darat. Kepentingan ziarah ke Jerusalem juga melekat bagi penduduk muslim Indonesia.

“Kalau kita berpikir kebangsaan, bahwa kita harus juga mengakomodasi seluruh kepentingan, bukan hanya masyarakat muslim Indonesia, tapi juga Nasrani dan Katolik, ya, menurut saya kita harus berpikir lebih luas lagi,” kata Ian.

Infografik Alinea.id/Aisya Kurnia

Kerja sama bidang lainnya juga bakal terbuka jika Indonesia punya hubungan diplomatik dengan Israel. Tak hanya berdagang, menurut Ian, Indonesia bisa memperluas kerja sama di bidang teknologi dan pertahanan dengan Israel. 

“Dan apakah itu berarti membuat Israel lebih kuat kedudukannya, sehingga bisa menzalimi masyarakat Palestina? Ya, tidak juga. Kita bisa tetap melakukan upaya memperjuangkan hak rakyat Palestina. Itu dua-duanya bisa jalan,” ujar dia.

Membangun hubungan diplomatik dengan Israel, menurut Ian, tak berarti melanggar konstitusi. “Kalau kita ingin mendamaikan dunia, salah satunya konflik Israel dan Palestina. Tetapi, kita tidak bisa gunakan jalur diplomasi? Berarti tidak selaras dengan pembukaan UUD 1945," imbuhnya. 

Meski begitu, Ian menyadari wacana hubungan diplomatik dengan Israel merupakan isu sensitif yang potensial mendapat penolakan keras dari publik. Ia mengusulkan agar digelar satu forum untuk membahas hal tersebut, termasuk dari perspektif agama.

“Kita dahulukan kepentingan nasional, tapi bukan berarti kita meninggalkan perjuangan rakyat Palestina. Karena banyak hal yang kita rugi. Contohnya, hilangnya kesempatan untuk melakukan kerja sama perdagangan, teknologi. Kedua, kita sulit melakukan diplomasi formal untuk menekan Israel," ujar dia. 

 

Berita Lainnya
×
tekid