sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Komnas HAM: Perppu Cipta Kerja bertentangan dengan keputusan MK

Karakteristik perppu justru meniadakan partisipasi publik yang bermakna, karena penerbitannya menjadi kewenangan subjektif presiden.

Immanuel Christian
Immanuel Christian Jumat, 13 Jan 2023 21:12 WIB
Komnas HAM: Perppu Cipta Kerja bertentangan dengan keputusan MK

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menegaskan, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 telah bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUUXVIII/2020. Perppu diterbitkan Presiden Joko Widodo yang dinilai tertutup dan tiba-tiba. 

Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengatakan, masyarakat tidak mendapatkan informasi terkait perppu itu secara terbuka. Sehingga dapat memberikan akses bagi masyarakat untuk memberikan masukan.

"Dalam perspektif HAM, asas keterbukaan publik termasuk di dalamnya hak untuk berpartisipasi dan hak atas informasi publik wajib dihormati dan dipenuhi oleh negara," kata Atnike dalam keterangan, Jumat (13/1).

Hak-hak dimaksud dijamin dalam Pasal 28C Ayat (2) dan Pasal 28E Ayat (3) UUD RI 1945 jo. Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22 Ayat (1) dan Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Pasal 14 ayat (1) dan (2), Pasal 23 Ayat 2, dan Bab Partisipasi Masyarakat UU HAM yang dimuat dari Pasal 100 hingga Pasal 103.

Dalam perspektif formil, perppu harus ditetapkan berdasarkan kegentingan yang memaksa. Makna kegentingan yang memaksa, memiliki tiga parameter berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010. 

Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau sudah ada tetapi tidak memadai. 

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak bisa diatasi dengan cara membuat undang-undang sesuai prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.

Dalam terminologi HAM, kegentingan yang memaksa dimaknai sebagai keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2005, Pasal 4 yang merupakan pengesahan ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP). 

Sponsored

"Dalam keadaan darurat dimaksud, negara diperkenankan untuk mengurangi kewajibannya atas pelaksanaan hak-hak sipil dan politik," ujarnya.

Perppu Cipta Kerja terbit atas alasan adanya kegentingan yang memaksa yaitu tantangan dan krisis ekonomi global yang mengancam perekonomian nasional berupa kenaikan harga energi dan pangan, perubahan iklim, dan terganggungnya rantai pasokan. Namun demikian, dalam perspektif HAM, indikator kegentingan memaksa yang dicantumkan dalam Bagian Menimbang huruf g Perppu Cipta Kerja, tidak cukup sebagai alasan menetapkan kedaruratan yang memberikan legitimasi bagi negara dalam mengurangi kewajibannya dalam pelaksanaan HAM, dalam hal ini secara spesifik adalah hak publik untuk berpartisipasi secara bermakna dan hak atas informasi publik.

Dia mengakui kalau presiden berwenang menetapkan perppu dalam kegentingan yang memaksa. Namun, dalam hal penetapan Perppu Cipta Kerja, telah menimbulkan persoalan baru karena menegasikan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang meminta supaya pemerintah melakukan perbaikan dalam proses penyusunan UU Cipta Kerja dengan memenuhi hak publik untuk berpartisipasi secara bermakna. 

"Karakteristik perppu justru meniadakan partisipasi publik yang bermakna, karena penerbitannya menjadi kewenangan subjektif presiden selaku kepala negara," ucapnya.

Pembentukan Perppu Cipta Kerja bertentangan dengan perintah di dalam pertimbangan putusan MK tersebut, yang seharusnya ada partisipasi bermakna dalam pembahasan kembali UU Cipta Kerja yang dilakukan dalam waktu dua tahun sejak Putusan MK tersebut dibacakan. Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukkan bagi kelompok yang terdampak langsung atau memiliki perhatian terhadap UU Cipta Kerja. 

Partisipasi tersebuut meliputi hak untuk menyatakan pendapat dan sikapnya secara bebas dan tanpa paksaan (free prior and informed consent). 

Selain itu partisipasi bermakna memiliki maksud yaitu: (i) hak untuk didengar pendapatnya (right to be heard), (ii) hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), (iii) hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Dipenuhinya hak berpartisipasi yang bermakna dan hak atas informasi akan menentukan pemenuhan hak-hak substansial yang lainnya.

Merujuk rekomendasi Komnas HAM pada 2020, aspek formil pada saat pembentukan UU Cipta Kerja adalah terbatasnya hak atas partisipasi yang bermakna dari masyarakat, serta kurang terpenuhinya hak atas informasi publik. Partisipasi yang bermakna dimaksudkan sebagai penyediaan ruang seluas-luasnya bagi masyarakat melalui berbagai kanal untuk penyampaian pendapat dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan, yang secara nyata juga dapat dipertimbangkan serta mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang disampaikan.

Atas dasar hal tersebut diatas, Komnas HAM merekomendasikan kepada presiden untuk memperhatikan syarat objektif dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja khususnya dari sisi penghormatan, pemenuhan, dan pelindungan hak asasi manusia yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

DPR juga diminta untuk melakukan pembahasan dan pengkajian secara mendalam atas Perppu Cipta Kerja dengan memenuhi hak atas partisipasi publik yang bermakna, termasuk memenuhi hak berpendapat serta hak berekspresi dan hak atas informasi publik berbagai kelompok pemangku hak.

"Kami berharap dalam mengkaji Perppu Cipta Kerja, DPR membuka dialog dengan kelompok-kelompok kepentingan atas Perppu Cipta Kerja berdasarkan asas hak partisipasi bermakna," tutur dia.

Berita Lainnya
×
tekid