sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Persekusi jemaah Ahmadiyah dan tak tegasnya aparat

Persekusi terhadap jemaah Ahmadiyah tak pernah diproses dengan tuntas.

Annisa Saumi
Annisa Saumi Senin, 21 Mei 2018 18:49 WIB
Persekusi jemaah Ahmadiyah dan tak tegasnya aparat

Dua puluh empat orang jemaah Ahmadiyah yang terdiri dari 7 keluarga di Dusun Lau' Eat, Desa Gereneng, Kecamatan Sakra Timur, Lombok Timur, menjadi bulan-bulanan tetangga mereka pada Sabtu (19/5) dan Minggu (20/5). Tujuh unit rumah hancur dengan pintu dan jendela rusak, barang-barang rumah tangga, bahkan kasur dan sepeda motor berserakan berantakan hingga ke halaman.

Warga yang didominasi perempuan dan anak-anak, dilaporkan kocar-kacir hingga lari ke hutan mendapat serangan tak terduga tersebut. Pejabat sementara (Pjs) Bupati Lombok Timur H Ahsanul Khalik mengatakan, tak ada korban jiwa atau pun luka-luka dalam insiden tersebut. Hanya saja untuk mengantisipasi kemungkinan buruk, pemerintah daerah mengungsikan mereka ke kantor Polres Lombok Timur.

Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut tindakan tersebut sebagai pelecehan terhadap hak asasi manusia untuk kebebasan berpikir, berhati nurani dan beragama. Menurutnya, hal ini terjadi akibat tidak tegasnya aparat menindak serangan serupa terhadap komunitas Ahmadiyah di masa lalu.

“Keengganan polisi dalam menghentikan dan menginvestigasi para pelaku serangan terhadap komunitas Ahmadiyah di masa lalu menyebabkan serangan terjadi berulang-ulang selama satu dekade terakhir,” kata Usman, Minggu (20/5).

Karenanya kali ini polisi harus mengusut tuntas peristiwa tersebut. Pihak berwenang, kata dia, juga harus memastikan adanya perbaikan dan kompensasi terhadap rumah warga Ahmadiyah yang diserang dalam peristiwa tersebut.

Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, menyatakan hal serupa. Menurut dia, Pemerintah daerah Lombok Timur dan Nusa Tenggara Barat tidak tegas dalam menindak kasus persekusi Ahmadiyah yang berulang kali terjadi di NTB.

Dia meyakini jik ada tindak tegas dari pemerintah, hal seperti ini tidak akan terjadi. “Di Wonosobo misalnya, sekitar 6000 jemaat Ahmadiyah aman selama bertahun-tahun karena masyarakatnya toleran dan pemerintah daerahnya tegas,” ujarnya mencontohkan.

Dipersekusi sejak 90-an

Sponsored

Di NTB, ajaran Ahmadiyah dibawa oleh Jafar Ahmad, seorang asli Sasak yang kembali dari Surabaya pada tahun 1957. Ajaran Ahmadiyah kemudian disebarkan di Kota Mataram dan berkembang ke Lombok Timur, Lombok Barat, dan Lombok Tengah.

Ajaran Ahmadiyah sendiri hadir di Indonesia sejak tahun 1925. Kemudian pada 1980, keluar fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan jika ajaran Ahmadiyah merupakan ajaran sesat. Fatwa tersebut ditegaskan kembali pada 2005.

Hingga akhirnya, di tahun 2008 keluar Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri yang memberi peringatan dan pembatasan kepada jemaah Ahmadiyah Indonesia dan pengikutnya. SKB yang awalnya ditujukan untuk meredam konflik yang berlarut-larut tersebut, justru menjadi dasar bagi kelompok penentang Ahmadiyah untuk melakukan persekusi pada warga Ahmadiyah.

“Pasca keluarnya SKB, muncul puluhan Perda yang melarang seluruh kegiatan Ahmadiyah,” jelas Khariroh. Kondisi ini diperparah dengan adanya kebijakan diskriminatif di level nasional dengan undang-undang PNPS no. 1 tahun 1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, serta peraturan-peraturan daerah yang diskriminatif pasca keluarnya SKB.

Kekerasan pada anggota jemaat Ahmadiyah di Pulau Lombok telah terjadi berkali-kali sejak dekade 90-an. Menurut penelitian dari Aniqotul Ummah dalam jurnalnya yang berjudul “Ahmadiyah dan Hak atas Kebebasan Beragama di Indonesia”, kasus persekusi pertama terjadi di Kecamatan Keruak, Lombok Timur pada tahun 1998. Kala itu, terjadi perusakan dan pembakaran masjid disertai dengan penjarahan harta benda milik jemaat Ahmadiyah.

Menurut Khariroh, dua tempat pengungsian jemaat Ahmadiyah di Lombok, yaitu asrama Transito dan Praya menjadi tempat pengungsian paling panjang di sejarah Indonesia. “Mereka telah mengungsi di sana selama 12 tahun tanpa ada jaminan keamanan,” ucapnya.

Diminta Bertaubat

Sebelum penyerangan terhadap 7 rumah warga Ahmadiyan itu benar-benar dilakukan, benih-benihnya sudah mencuat sejak tanggal 6-13 Mei 2018. Seorang korban penyerangan yang diadvokasi Komnas Perempuan mengatakan, pada tanggal tersebut jemaah Ahmadiyah telah berulang kali mendapatkan panggilan dari aparat desa untuk diberikan arahan agar bertaubat. Mereka bahkan menerima ancaman akan dirusak rumahnya, hingga ancaman pembunuhan, jika saran tersebut tidak dilakukan.

Mirisnya saat melapor ke polisi, mereka disarankan untuk tidak pulang ke rumah. Saran agar mereka bertaubat, juga disampaikan aparat kepolisian.

Menanggapi situasi yang tidak kondusif, sejumlah warga Ahmadiyah tidak pulang ke rumah masing-masing sejak tanggal 8 Mei. Mereka mengungsi di musola dan baru kembali ke rumah masing-masing pada 13 Mei. Saat itulah menurut kesaksian korban, warga melempar batu dan mengambil senjata untuk membunuh Jemaat Ahmadiyah.

Ketua Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional Komnas Perempuan, Khariroh Ali, menyayangkan sikap polisi yang membiarkan persekusi tersebut terjadi. “Meski indikasi adanya kekerasan sudah dilaporkan sejak bulan Maret 2018, sayangnya tidak ada tindakan dari aparat keamanan,” ujar Khariroh dalam konferensi pers yang digelar Komnas Perempuan hari ini (21/1).

Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto yang dihubungi Alinea untuk mengkonfirmasi hal tersebut belum memberi respon hingga berita ini diturunkan.

Berita Lainnya
×
tekid