sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

PJJ dan kian kelamnya masa depan siswa miskin 

Masa depan siswa miskin terancam karena harus belajar jarak jauh dengan fasilitas dan bimbingan yang minim.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Selasa, 10 Nov 2020 09:17 WIB
PJJ dan kian kelamnya masa depan siswa miskin 

Wajah Kurniasih terlihat gusar. Hari masih pagi, tapi emosinya sudah hampir sampai di ubun-ubun. Kurniasih kesal melihat buku-buku sekolah yang ditinggalkan begitu saja oleh putranya yang masih duduk di kelas 2 sekolah dasar. 

"Saya kewalahan ngurus dia, belajarnya sambil lari-lari. Ini saja dia sudah main," kata Kurniasih saat berbincang dengan Alinea.id di kediamannya di Jalan Percetakan Negara IV, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Jumat (6/11) pagi.

Sejak metode pembelajaran jarak jauh (PJJ) diberlakukan, putra Kurniasih bertemu guru secara daring sebanyak dua kali dalam seminggu dan mendapat penugasan melalui WhatsApp. Kurniasih membimbing sendiri anaknya yang berusia 7 tahun itu.

Hanya tamatan sekolah menengah pertama (SMP), Kurniasih mengaku kewalahan mengajari anaknya. Apalagi, perempuan berusia 36 tahun itu juga harus mengurus toko kelontong miliknya di samping rumah.

"Saya ajarin, tapi materi seperti Bahasa Inggris itu enggak tahu saya. Saya harus buka Google sana-sini. Mana dianya lari-lari, terus saya juga urus pekerjaan rumah lainnya. Repot sekali. Saya harap semoga tahun depan mereka sudah bisa di sekolah," ujar Kurniasih.

Hal serupa dialami Esther, 38 tahun, warga Perumahan Citra I, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat. Ia mengaku putranya, Reinaldo, semakin sulit berkosentrasi saat belajar selama PJJ. 

"Karena udah remaja, jadi susah diatur. Banyak tugas yang enggak dikerjakan. Enggak fokus. Lebih efektif belajar di sekolah," ujar Esther kepada Alinea.id saat berbincang via WhatsApp, Kamis (5/10).

Reinaldo saat ini berusia 13 tahun dan duduk di bangku kelas 2 SMP. Meski lokasi sekolahnya tak jauh dari rumah, Reinaldo hanya bertemu guru dan rekan sekolah lewat aplikasi Google Meet atau Zoom selama dua kali dalam seminggu. Tugas diberikan empat kali dalam seminggu.

Sponsored

Berinteraksi secara daring, menurut Esther, bikin Reinaldo tak betah bersekolah. Gawai pun kebanyakan digunakan putranya untuk bermain game. Karena harus sambil bekerja, Esther pun mulai kewalahan membimbing Reinaldo. 

Alhasil, nilai-nilai Reinaldo anjlok selama PJJ. Pekan lalu, pihak sekolah pun menyurati Esther. Sekolah memutuskan Reinaldo harus kembali belajar di ruang kelas. "Mulai Senin depan, dia (Reinaldo) ke sekolah. Enggak apa-apa. Kita lihat perkembangannya aja," ujar Esther. 

Jika siswa sekolah di Ibu Kota berkutat dengan masalah kosentrasi belajar, PJJ di daerah hadir dengan beragam tantangan. Salah satunya dituturkan Agatha Kristiani, guru di Sekolah Dasar Katolik (SDK) Pagal II, Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT).

SDK itu berada daerah zona hijau penyebaran Covid-19. Tiga bulan lalu, komite sekolah memutuskan kegiatan belajar mengajar tetap dilakukan secara tatap muka. Meski sadar bahaya Covid-19 mengancam, komite memutuskan demikian karena tak semua murid dan orang tua memiliki gawai untuk mendukung PJJ. 

"Keadaan orang tua mereka susah. Kami maunya secara daring, tapi hampir kebanyakan orang tua tidak memiliki handphone," kata Agatha saat dihubungi Alinea.id, Kamis (5/11).

Selama tiga bulan, Agatha dan para guru lainnya bergantian mendampingi siswa di sekolah. Alih-alih bersemangat bersekolah, murid-murid Agatha justru malah banyak yang absen. "Mereka anggap libur selama Covid-19 ini," ujar Agatha. 

Karena kerap tak masuk sekolah, nilai murid-murid pun "memerah". Agatha bahkan terpaksa mengatrol nilai sejumlah murid supaya bisa naik kelas. 

"Pokoknya tidak baik karena Covid-19 ini. Kami sebenarnya kepikiran untuk siswa kelas satu sampai tiga SD. Masih banyak yang belum bisa baca, tulis, dan menghitung," kata perempuan berusia 30 tahun itu.

Siswa mengerjakan tugas sekolah di rumahnya di Pekanbaru, Riau, Kamis (16/4). /Foto Antara

PJJ renggut masa depan si miskin

Cerita Agatha dan para orangtua yang kesulitan membimbing anak mereka selama PJJ bukanlah kisah langka. Itu setidaknya sejalan dengan penelitian SMERU Research Institute bertajuk "Belajar dari Rumah: Potret Ketimpangan Pembelajaran pada Masa Pandemi Covid-19" yang dirilis, Juli lalu. 

Penelitian itu digarap Ulfah Alifia bersama lima rekannya di SMERU. Dalam penelitian itu, Ulfah cs melakukan survei via telepon kepada 290 guru di berbagai wilayah di Tanah Air pada periode Apri-Juni dan menggelar wawancara mendalam terhadap 30 responden yang terdiri dari guru, kepala sekolah, dan murid. 

Dari gabungan data kuantitatif dan kualitatif itu, SMERU menemukan bahwa model dan frekuensi kegiatan belajar mengajar sangat beragam selama PJJ. Guru di Pulau Jawa umumnya melek digital, sedangkan di kawasan pedesaan di luar Jawa, masih ada guru yang harus mengunjungi murid karena sulitnya akses internet dan rendahnya tingkat kepemilikan gawai. 

Ulfa dan rekan-rekannya juga menemukan hambatan kegiatan belajar-mengajar terjadi lantaran masih banyak guru yang tidak bisa memfasilitasi PJJ dengan baik karena gagap teknologi. "Beberapa kepala sekolah juga menyatakan bahwa guru senior memiliki keterbatasan dalam hal teknologi informasi," tulis mereka. 

Temuan menarik lainnya ialah bagaimana latar belakang orang tua dan keluarga memengaruhi keseharian anak. Anak yang tinggal di kota dan punya orang tua berpendidikan tinggi cenderung membagi waktu seimbang, antara bermain dan belajar.  Anak yang tinggal di pedesaan dan punya orang tua berpendidikan rendah menghabiskan PJJ dengan bermain. 

Orang tua yang berpendidikan tinggi juga lebih aktif membimbing dan berkonsultasi dengan guru, sedangkan orang tua berpendidikan rendah hanya menerima penugasan dari guru serta enggan berdiskusi karena tidak memahami materi pembelajaran anak-anak mereka. 

Dari data yang terkumpul, Ulfa dan rekan-rekannya menyimpulkan kegiatan belajar dari rumah (BDR) karena pandemi Covid-19 memperdalam ketimpangan mengakses pendidikan berkualitas di Indonesia. Yang paling dirugikan ialah kelompok siswa miskin atau tak mampu. 

"Beberapa studi menunjukkan bahwa penurunan kemampuan belajar seorang murid saat ini akan mempengaruhi perkembangan pengetahuannya kelak yang berpotensi menciptakan ketimpangan pendapatan ketika mereka sudah bekerja," tulis Ulfa cs. 

Juli lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga merilis hasil survei yang menunjukkan beragam persoalan yang muncul karena PJJ. Dari hasil survei itu, sebanyak 76,7% siswa menyatakan tidak senang belajar dari rumah. 

KPAI menilai PJJ fase pertama tidak efektif dan tidak efisien, bias kelas sosial-ekonomi, bias perkotaan dan perdesaan, serta bias Jawa dan luar Jawa. PJJ juga sarat masalah teknis, seperti leletnya jaringan internet hingga ketidakmampuan keluarga peserta didik membeli kuota internet.

Belakangan, PJJ juga memakan korban. Akhir Oktober lalu, seorang pelajar SMP ditemukan tewas gantung diri di kamar mandi rumahnya di Kelurahan Sebengkok, Kabupaten Tarakan, Kalimantan Utara. Korban dikenal pendiam, tetapi pernah mengeluhkan banyaknya tugas dari sekolah.

Peristiwa serupa menimpa siswa SMA di Desa Bilalang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel). Korban ditemukan bunuh diri dengan cara meminum racun, Sabtu (17/10). Sebelumnya, seorang siswa SD di Desa Cipalabuh, Kabupaten Lebak, Banten, meninggal setelah dianiaya orang tuanya karena sulit diajari saat PJJ.

Komisioner KPAI Retno Listyarti menduga kasus-kasus tersebut merupakan puncak gunung es dari segudang persoalan yang muncul karena pelaksanaan PJJ yang tidak mempertimbangkan kondisi psikologis anak-anak. 

"Tidak ada kasus bunuh diri siswa bukan berarti sekolah atau daerah lain PJJ-nya baik-baik saja," kata Retno dalam keterangan tertulis yang diterima Alinea.id, belum lama ini. 

Berkaca pada beratnya beban psikologis siswa, Retno pun meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag) mengevaluasi PJJ. Sebagai solusi sementara, ia menyarankan sekolah memilah siswa berdasar kemampuannya mengikuti PJJ dan aktif memberdayakan guru bimbingan konseling (BK). 

Petugas mengukur suhu tubuh para siswa saat hendak memasuki sekolah di tengah pandemi Covid-19. Foto Antara/Fauzan

Sekolah dan guru mesti kreatif 

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji metode pembelajaran secara daring tak bisa sepenuhnya menjawab kebutuhan siswa selama pandemi. Apalagi, PJJ kerap terkendala persoalan teknis. 

Ia mencontohkan bantuan kuota yang sia-sia bagi murid-murid yang tinggal di pelosok karena sinyal internet yang lemah atau bahkan sama sekali tidak ada. Padahal, Kemendikbud telah menggelontorkan dana sebesar Rp7,2 triliun untuk subsidi kuota internet selama empat bulan sejak September. 

"Siswa menjadi semakin berat karena tugas yang banyak, kemudian pembelajaran menjadi menurun karena tidak tatap muka dengan guru. Kemudian, sumber belajar yang tidak tergali dengan baik dan terakhir adalah tidak ada lingungan belajar yang mendukung," kata Ubaid kepada Alinea.id melalui sambungan telepon, Kamis (6/11).

Ubaid menyarankan agar sekolah kreatif dalam menggelar kegiatan belajar-mengajar. Jika memungkinkan, menurut Ubaid, tidak ada salahnya metode pembelajaran tatap muka kembali diberlakukan seperti pada masa normal. 

"Luar jaringan kan bisa menggunakan pemanfaatan teknologi televisi, radio atau menggunakan cetak misalnya via pos. Kemudian menggunakan pertemuan dengan protokol yang ketat," jelas Ubaid.

Infografik Alinea.id/Dwi Setiawan

Lebih jauh, Ubaid meminta agar para guru tak lagi mengejar target harian seperti kondisi normal. Para siswa juga harus diberi kesempatan untuk melakukan dialog atau tatap muka melalui forum mingguan dan bulanan. 

"Karena kalau menggunakan kurikulum normal, diterapkan daily target dalam situasi normal, maka anak akan menjadi bunuh diri seperti fenomena yang ada itu. Kemudian anak harus lari dari rumah karena dikejar orang tua. Mereka enggak bisa ngerjain tugas dan seterusnya," ujar Ubaid. 

Anggota Komisi X DPR RI Andreas Hugo Pareira meminta para orang tua murid bersabar. Ia mengatakan PJJ adalah konsekuensi yang tidak terhindarkan karena metode pembelajaran tatap muka tidak dimungkinkan selama pandemi.

"Tidak ada pilihan lain. Ini situasi yang tidak bisa kita hindari. Kalau paksakan tatap muka, ada risiko (murid) tertular," ujar politikus PDI-Perjuangan itu kepada Alinea.id, Kamis (5/11).

Menurut Andreas, Komisi X dan Kemendikbud sudah berupaya mencari solusi untuk mengatasi beragam persoalan PJJ. Selain bantuan kuota, Kemendikbud juga telah membolehkan pembelajaran tatap muka di sekolah-sekolah yang berada di zona hijau dan zona kuning. 

Jika ada rekomendasi dari kepala daerah dan gugus tugas penanganan Covid-19, izin belajar dengan metode tatap muka bisa dikeluarkan. "Keputusan akhir pendidikan tatap muka di zona kuning atau hijau itu ada di unit sekolah bersama orang tua," kata Andreas. 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid