close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Seorang warga berjalan di pinggir rel kereta api, di antara permukiman semi permanen dekat rel di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Minggu (30/10). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin
icon caption
Seorang warga berjalan di pinggir rel kereta api, di antara permukiman semi permanen dekat rel di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Minggu (30/10). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin
Nasional
Selasa, 08 November 2022 06:10

Rumitnya sengketa lahan PT KAI yang diserobot

PT KAI seolah tak kuasa mengambil aset lahan yang sudah dikuasai pihak ketiga.
swipe

Sore itu, kawasan permukiman padat di dekat rel kereta api menuju stasiun dan pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara serasa baru mulai berdenyut. Beberapa warga berkumpul di sekitaran rel, tak jauh dari Jalan Sulawesi, sewaktu kereta sudah tak melintas. Ada yang mengobrol dengan tetangga, menyiapkan keperluan berdagang di malam hari, ada pula yang asyik main burung dara.

Rumah-rumah semi permanen yang ditinggali warga terbilang berbahaya. Sebab, bangunannya hanya selisih sekitar satu setengah meter dari rel kereta. Beberapa bangunan dijadikan tempat berdagang.

“Di sini banyak yang usaha, kayak dagang nasi, sate, atau usaha las,” ujar Tuti, salah seorang warga yang tinggal di permukiman pinggir rel itu kepada Alinea.id, Selasa (1/11).

Perempuan berusia 38 tahun itu berprofesi sebagai tukang masak di sebuah rumah makan di Tanjung Priok. Ia sudah menetap di sana sejak 25 tahun silam, usai sempat berpindah-pindah rumah karena digusur.

“Sempat ngungsi (dari sini karena digusur), tapi bangun (rumah) lagi di sini,” kata Tuti. “(Permukiman di sini digusur) tahun 1997, terus awal 2000-an.”

Beberapa warga tengah beraktivitas di pinggir rel kereta api di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Minggu (30/10). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Warga yang bandel dan usaha PT KAI

Tuti mengatakan, warga di sana sudah tak lagi khawatir tersambar kereta, meski jarak rumah mereka terlalu dekat dengan rel kereta barang ke terminal peti kemas. Warga lainnya, Badarudin, bahkan sudah menetap selama 35 tahun di pinggiran rel kereta itu. Pria berusia 51 tahun tersebut, mengaku sering digusur.

“Bahkan pernah kampung kita ini dilabel sarang maling. Padahal yang maling daerah lain, tapi yang dituduh kawasan kita,” ujar pria asal Madura itu, Selasa (1/11).

Perantau asal Madura, menurut Badarudin, merupakan yang paling banyak tinggal di kawasan tersebut. Ia menuturkan, tak jarang bertikai dengan aparat “suruhan” PT Kereta Api Indonesia (KAI) atau pemerintah karena dipaksa angkat kaki dari rumahnya.

“Saya dagang nasi di sini. Kalau disuruh pindah, gimana?” katanya.

“Dulu saya pernah jualan di daerah lain, waktu digusur. Tapi keuntungannya enggak seperti di sini.”

Sejatinya, rumah yang ditinggali Tuti, Badarudin, dan warga lain di dekat rel kereta api menuju stasiun dan pelabuhan Tanjung Priok berdiri di atas lahan PT KAI. Ketika mendengar desas-desus PT KAI bakal kembali menggusur permukiman di pinggiran rel kereta itu, Badarudin menegaskan, warga siap menolaknya.

“Warga di sini pasti ngelawan,” tuturnya.

Penguasaan aset PT KAI, termasuk lahan yang diserobot warga untuk dibangun tempat tinggal semi permanen adalah soal pelik dan kisah lama. Masalah makin ruwet lantaran tak sedikit lahan milik PT KAI yang beralih kepemilikan.

Tercatat hingga Agustus 2022, PT KAI telah melakukan penertiban aset tanah seluas 527.952 meter persegi dan bangunan seluas 37.147 meter persegi di Jakarta, Sumatera Barat, dan Jawa Tengah. Sedangkan tanah PT KAI yang telah bersertifikat seluas 144 juta meter persegi atau 53% dari total luas 270 juta meter persegi.

Pada 2022, upaya sertifikasi aset ditargetkan mencapai seluas 3,9 juta meter persegi. Tahun berikutnya, target seluas 3,6 juta meter persegi. Hasil tersebut terbilang belum maksimal, sebab ada sengketa aset yang kalah di pengadilan. Misalnya yang terjadi di Bandung, Jawa Barat berupa tanah dan bangunan beberapa waktu lalu.

Lahan yang disengketakan seluas 76.093 meter persegi. Di atas tanah itu telah berdiri rumah perusahaan yang ditinggali pekerja dan pensiunan PT KAI, mes pekerja PT KAI, sekolah TK hingga SMA, dan fasilitas umum lainnya.

Permukiman semi permanen warga berdiri di pinggir rel kereta yang mengangkut barang ke terminal peti kemas di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Minggu (30/10). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Dalam perkara yang mulai bergulir pada 2020, PT KAI menganggap asetnya diklaim kepemilikannya oleh Nani Sumarni dkk, yang mengaku sebagai ahli waris Djoemena BP Lamsi. Namun, Pengadilan Negeri Bandung memutuskan, tanah yang menjadi objek sengketa adalah milik Nani Sumarni dkk. Pengadilan juga menghukum PT KAI untuk mengosongkan serta menyerahkan lahan kepada Nani.

Di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sengketa aset PT KAI pun rumit karena ada yang diduga dikuasai pihak ketiga. Aset tersebut berupa bekas jalur kereta dari Yogyakarta sampai Magelang, yang masuk wilayah daerah operasi (daop) 6.

“Beberapa wilayah yang belum clear and clean (juga) ada di beberapa lokasi, di antaranya di Provinsi DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat,” ucap Kepala Humas PT KAI Daop I Jakarta, Eva Chairunisa saat dihubungi, Rabu (2/11).

Eva mengatakan, sejauh ini ada 221.477 meter persegi dari 30.199.818 meter persegi lahan yang masih terdapat bangunan liar. Lahan itu masuk program untuk dilakukan sterilisasi.

Ia menjelaskan, sebenarnya PT KAI punya payung hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Seturut UU itu, kata Eva, jalur kereta api hanya untuk operasional kereta.

“PT KAI Daop 1 Jakarta berkolaborasi dengan berbagai pihak melakukan sosialisasi dan penertiban bangunan yang melanggar di jalur kereta api,” ujar Eva.

Eva mengakui, dalam menjaga aset, PT KAI tidak bisa sendirian. Pihaknya butuh dukungan pemda setempat. "Khususnya untuk lahan yang terdapat bangunan liar agar pendataan dan relokasi warga dapat dilakukan secara kondusif oleh pemda terkait," kata Eva.

Dalam upaya penertiban bangunan liar, Eva menekankan, PT KAI sebisa mungkin menghindari benturan dengan warga. Namun, ia mengakui, hal itu terkadang sulit karena mendapat perlawanan dari warga. Maka, PT KAI pun berkoordinasi dengan TNI, Polri, dan Kejaksaan.

"Untuk pengamanan kewilayahan dan menjalankan program pembersihan area untuk keselamatan bersama," ucap Eva.

Apa dan mengapa aset dikuasai?

Sementara itu, Direktur Pengaturan Tanah Pemerintah (PTP) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) I Made Daging mengatakan, sangat sulit membenahi aset sengketa PT KAI. Soalnya, aset itu tak hanya dikuasai warga, tetapi juga ada yang bersengketa dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Daging mengaku, Kementerian ATR/BPN tidak bisa berbuat banyak menyelesaikan persoalan sengketa aset PT KAI.

"Selain memfasilitasi penyelesaian permasalahan antara PT KAI dengan pihak ketiga karena sejatinya yang bisa menyelesaikan adalah para pihak yang berselisih itu sendiri," kata Daging, Minggu (6/11).

Daging menjelaskan, Kementerian ATR/BPN hanya bisa mendukung PT KAI untuk tanah yang sudah bersertifikat sebagai data kepemilikan aset. Sementara aset PT KAI yang belum bersertifikat dan bersengketa, pihaknya sukar membereskan.

"Karena banyak aset PT KAI juga tidak didukung dengan data perolehan yang kuat atau lengkap," ujar Daging.

Kandang burung dara dan permukiman semi permanen warga yang mepet rel kereta api di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Minggu (30/10). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai, tergerusnya aset PT KAI lantaran sejak dahulu pemerintah mengabaikan aset kereta peninggalan pemerintah kolonial, sehingga dikuasai pihak ketiga.

"Terutama mafia tanah di daerah yang dibiarkan," kata Djoko, Senin (31/10).

Menurut Djoko, sebenarnya PT KAI sudah punya data soal kepemilikan aset perkeretaapian, yang diperoleh dari lembaga arsip di Belanda. Data itu, kata Djoko, sebenarnya sudah sangat lengkap untuk dijadikan bukti. Meski begitu, PT KAI kerap kalah di pengadilan.

"Kalau sudah oknum itu bermain ya susah. Apalagi yang bermain aparat penegak hukum," kata Djoko.

Djoko melanjutkan, banyak aset PT KAI tak hanya di rute rel kereta, dikuasai mafia tanah di daerah. Kondisi ini semakin diperburuk dengan sikap pemda yang seolah tak peduli terhadap penguasaan aset PT KAI.

"Di Medan, mereka (PT KAI) punya aset di Brastagi. Di Semarang mereka punya aset di Bandungan, begitu juga di Malang itu ada di Batu," ujar Djoko.

Kepala daerah, ujar Djoko, membiarkan aset PT KAI tersandera pihak ketiga dan ogah menjaganya karena takut citranya rusak di mata masyarakat. Maka, kepala daerah memilih diam ketika warga menduduki aset lahan PT KAI.

“Jadi dia (kepala daerah) lebih melihat pemilihnya ketimbang aset negara," tutur Djoko.

Djoko mengatakan, PT KAI tetap butuh bantuan Kementerian ATR/BPN untuk membereskan lahan yang dikuasai pihak ketiga. “Karena sekarang Menteri ATR/BPN (mantan Panglima TNI Hadi Tjahjanto) itu berasal dari militer. Ini dilihat peluang oleh KAI untuk melakukan pengambilalihan (aset),” katanya.

“Sebab, sejak dulu sulit (karena) berhadapan dengan aparat, yang juga kadang kala terlibat dalam penguasaan lahan.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan