sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

“Semenjak ada pertambangan, perlahan pertanian kami mati…”

Ketahanan pangan di beberapa daerah terancam keberadaan pertambangan. Warga pun kehilangan penghidupan.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Sabtu, 05 Mar 2022 15:46 WIB
“Semenjak ada pertambangan, perlahan pertanian kami mati…”

Setelah lahan pertanian di desanya disulap menjadi kawasan pertambangan nikel, Herenemus Takuling merasa harga bahan pangan kian mencekik. Dahulu, ia tinggal memetik tomat dan kelapa di ladang. Kini, ia harus membeli.

“Dulu, saya pikir operasi tambang di tempat kami enggak akan sampai benar-benar melenyapkan lahan pertanian,” ujar warga Desa Lelilef Sawai, Halmahera Tengah, Maluku Utara itu kepada Alinea.id. Selasa (1/3).

Pria yang akrab disapa Nemu itu mengatakan, persoalan pangan di kampung halamannya mulai menjadi masalah serius. Usai lahan beralih fungsi menjadi pertambangan nikel, warga pun tak punya penghasilan memadai untuk membeli kebutuhan pangan.

“Banyak petani di sini kehilangan mata pencaharian,” ucap Nemu.

Lingkungan rusak, mata pencaharian hilang

Malapetaka krisis lahan pertanian bermula ketika perusahaan tambang nikel berlomba-lomba membuka area di Halmahera Tengah sejak 2008. Ketika itu, banyak lahan milik warga yang dibeli dengan harga murah. Tanah warga dihargai Rp8.000 per meter, dengan rayuan mendukung program pemerintah.

“Di lingkungan kami ada tiga perusahaan, yakni PT Indonesia Weda Bay Industrial Park[D1] , PT Trakindo, dan PT Bakti Pertiwi Nusantara,” ujar Nemu.

Padahal, kata Nemu, warga punya bukti historis kalau tanah mereka itu tanah ulayat. Perusahaan tambang itu mengubah lahan produktif. Akibatnya, warga tak bisa lagi menanam. Ia menyebut, lahan yang dikelola turun-temurun itu, dahulu ditanami cengkeh, pala, kelapa, pisang, ubi jalar, jagung, singkong, dan sayuran.

Sponsored

"Sekarang semua itu harus kita beli. Sementara kami tidak bekerja," ujar Nemu.

Ilustrasi aktivitas di sebuah pertambangan. Foto Pixabay.com

Proses alih fungsi lahan tanpa mempertimbangkan aspek kesejahteraan, dianggap Nemu telah menjerumuskan warga ke jurang kemiskinan. Belum lagi masalah kerusakan lingkungan.

"Kalau musim panas dapat debu. Kalau musim hujan, lumpur,” katanya.

Para petani di desanya, mayoritas lansia. Mereka, menurut Nemu, hanya mengandalkan penghasilan dari anak-anaknya yang bekerja sebagai buruh kasar di perusahaan tambang nikel.

Ia mengaku, sudah berulang kali menuntut perusahaan tambang untuk memulihkan lahan warga yang kadung rusak, agar bisa ditanami kembali. Akan tetapi, upaya itu sia-sia. Prediksinya, dalam jangka waktu lima tahun ke depan, desanya bakal mengalami kesulitan pasokan pangan.

“Karena kita 10 tahun ini sudah sangat bergantung pasokan pangan dari luar," kata Nemu.

Dewi Sartika—warga asal Kelurahan Mugirejo, Kecamatan Sungai Pinang, Samarinda Utara, Kalimantan Timur—juga merasakan hal serupa. Tambang batu bara yang dikelola PT Cahaya Energi Mandiri, kata Dewi, sudah meluluhlantakkan lahan pertanian warga.

“Semenjak ada tambang batu bara pada 2009, perlahan pertanian kami mati,” ujar Dewi, Selasa (1/3).

Dahulu, warga banyak yang menanam sayuran, seperti kangkung dan sawi. Ibu rumah tangga di Mugirejo, sebelum ada pertambangan batu bara, bisa memperoleh pendapatan Rp100.000-Rp150.000 sehari dari bertani sayuran.

"Sekarang itu tinggal cerita," kata Dewi.

Sebenarnya sejak 2009, sebagian besar warga Mugirejo menolak aktivitas tambang batu bara. Namun, pemerintah setempat dan ormas mengintimidasi warga. Akhirnya, banyak petani yang lahannya diambil sepihak oleh perusahaan, tanpa ganti rugi.

"Warga ditakut-takuti. Akhirnya kita enggak dapat apa-apa," kata Dewi.

Dewi mengaku, status lahan di desanya rata-rata tak memiliki sertifikat karena merupakan lahan perintis yang dibuka warga. Hal itu menjadi celah perusahaan mencaplok tanah warga.

Akibat alih fungsi lahan pertanian ke pertambangan, Dewi menuturkan, banyak warga yang meninggalkan desanya. Mereka memilih bekerja sebagai buruh bangunan dan asisten rumah tangga di kota lain. Dewi pun tak lagi tinggal di Mugirejo. Ia memilih berdagang buah di Kota Samarinda.

Kini, Desa Mugirejo layaknya kota mati bagi Dewi. Debu dan lumpur lumrah disaksikan karena aktivitas pertambangan.

“Tidak bisa lagi ditanami padi, apalagi sayur,” tuturnya.

Bukan cuma lahan pertanian yang rusak, lubang tambang pun jadi masalah. "Reklamasi itu bohong, enggak pernah ada,” kata dia. “Sebagai warga yang bermukim di sana sejak lama, sangat dirugikan dengan alih fungsi lahan.”

Warga pun terjebak dalam jurang kemiskinan. "Ada petani yang benar-benar miskin sekali dan tidak mampu menyekolahkan anaknya," kata Dewi.

Ketahanan pangan terancam

Salah seorang aktivis lingkungan di Halmahera Tengah, Masri Anwar mengatakan, apa yang terjadi di Desa Lelilef Sawai dan sekitarnya bukan isapan jempol. Ia menyaksikan sendiri penambangan nikel di wilayah itu membuat masyarakat kehilangan sumber penghidupan.

“Apa yang terjadi di Desa Lelilef Sawai dan sekitarnya merupakan perampasan ruang hidup,” ujar Masri, Senin (28/2).

Lenyapnya lahan pertanian warga secara masif, kata Masri, terjadi pada 2012. Saat itu, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park secara maraton membeli lahan warga, disokong pemerintah lokal dan intervensi aparat.

“Semula ada 66 kepala keluarga yang bertahan,” ucapnya. “Tapi karena lahan mereka terkepung tambang dan rusak, akhirnya mereka serahkan juga ke perusahaan.”

Ilustrasi seorang pemuda tengah membajak sawah di sebuah desa. Foto Pixabay.com

Lahan warga banyak yang berstatus warisan, tetapi tak bersertifikasi. Hal itu menjadi celah perusahaan mengambil alih lahan warga. Selain kerugian ekonomi dan dampak sosial, Masri menyebut, timbul ancaman kerapuhan ketahanan pangan di Halmahera Tengah.

Perkara alih fungsi lahan pertanian sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Pasal 44 ayat 1 UU 41/2009 menyebut, lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan. Sedangkan Pasal 44 ayat 2 menyebut, dalam hal untuk kepentingan umum lahan pertanian pangan berkelanjutan sebagai mana dimaksud pada ayat 1, dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun, sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) diundangkan pada 2 November 2020, terjadi perubahan untuk mempermudah proses alih fungsi lahan pertanian demi kepentingan strategis nasional, seperti pembangunan kawasan ekonomi khusus, real estate, serta sarana pertambangan dan energi.

Menurut Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar, alih fungsi lahan pertanian untuk pertambangan sudah kebablasan. Bahkan, membuat ketahaan pangan sangat rapuh.

Melky berpendapat, industri tambang yang cenderung merusak lingkungan merupakan biang keladi rentannya ketahanan pangan.

“Ketika dia (petani) tidak punya akses terhadap lahan, maka pilihan buruknya dia akan beralih pada ekonomi uang,” ujar Melky, Selasa (1/3).

“Karena lahannya sudah hilang atau tercemar, pilihan terburuknya adalah menjadi buruh atau pekerjaan lain untuk mendapatkan uang.”

Ia menilai, hal ini semacam proses pemiskinan struktural terhadap petani, yang tak disadari pemerintah ketika alih fungsi lahan. Melky menyebut, Kalimantan Timur, Bangka Belitung, dan Maluku Utara merupakan daerah yang kini tengah mengalami kerusakan lahan pertanian sangat parah. Imbasnya, pasokan pangan sangat bergantung dari luar daerah itu.

“Tidak heran, Kalimantan Timur itu pemenuhan kebutuhan pangannya, terutama beras, (berasal) dari Jawa Timur dan Sulawesi Selatan,” ujarnya.

Di Bangka Belitung, ekstraksi timah yang sudah bertahun-tahun, membuat lumbung pangan porak-poranda. "Jadi pemenuhan kebutuhan pangannya sangat bergantung pada wilayah-wilayah lain," kata Melky.

Sementara di Halmahera Utara, penambangan nikel untuk kepentingan produksi baterai kendaraan listrik menyebabkan pemenuhan kebutuhan pangan terganggu. Celakanya, kata dia, masalah hilangnya lahan pertanian yang terjadi di berbagai daerah, tak pernah dihitung sebagai kerugian.

“Pemerintah hanya sibuk mempermudah izin tambang, beserta pendapatan yang diperoleh dari aktivitas tambang,” ujarnya. "Padahal ada bahaya jangka panjang yang menanti.”

Berita Lainnya
×
tekid