sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sengsara warga dalam sengkarut sampah di Sungai Cisadane  

Sumber air bagi jutaan orang, Sungai Cisadane sudah bertahun-tahun tercemar limbah dan sampah.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Minggu, 05 Jun 2022 17:00 WIB
Sengsara warga dalam sengkarut sampah di Sungai Cisadane  

Sudah sekitar satu jam lebih, pria bertopi itu berdiri di pinggir anak Sungai Cisadane. Mengandalkan galah yang ujungnya diberi pengait, ia telaten memunguti sampah yang menumpuk di badan sungai. Dengan cekatan, ia mencomot kemasan minuman dan makanan serta kantong plastik dari tumpukan sampah lainnya. 

Nama pria itu Husein. Ia bukan aktivis lingkungan. Tetapi, ia tinggal di Kebon Besar, Batu Ceper, Tangerang, Banten yang dilintasi anak Sungai Cisadane. Rumahnya tak jauh dari bantaran kali sehingga ia merasa punya semacam kewajiban memastikan air di kali itu mengalir lancar. 

"Sekarang masih sering hujan. Kalau tiba-tiba hujan, terus sampah masih banyak begini, di sini pasti banjir," kata Husein saat berbincang dengan Alinea.id di tempat ia "memancing" sampah di bantaran anak Sungai Cisadane, Rabu (1/6).

Husein mengklaim tumpukan sampah di kali itu bukan berasal dari warga setempat. Ia meyakini warga kampungnya tergolong tertib dalam membuang sampah. "Mungkin orang ada yang buang di mana terus sampai ke sini," ucap dia. 

Menurut Husein, petugas kebersihan dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang sebenarnya rutin membersihkan kali dari tumpukan sampah. Namun, kedatangan para petugas kebersihan itu sulit diprediksi.

"Mereka (petugas kebersihan) datang paling pagi atau sore. Padahal, sampahnya terus-terusan. Kalau enggak dibersihin, makin numpuk," tutur Husein. 

Deni, tetangga Husein, membenarkan kampungnya rutin langganan banjir karena luapan air kali. Seperti Husein, ia juga tinggal tak jauh dari bantaran anak Sungai Cisadane. "Tapi, sampah ini bukan dari wilayah sini," ujar Deni kepada Alinea.id

Menurut Deni, sampah plastik yang lazimnya memenuhi air kali di dekat kampungnya. Tumpukan sampah itu biasanya menyangkut di pondasi jembatan atau patok-patok rumah warga yang bertengger di pinggir sungai. 

Sponsored

Saat sungai meluap, kata Deni, sampah bahkan bisa masuk ke perkampungan. Beberapa kali, halaman rumah Deni juga jadi tempat singgah sampah kiriman yang terbawa luapan air. "Jadi, penuh di sini. Kadang geli juga," ujar Deni. 

Untuk mencegah banjir, Deni mengatakan, warga setempat harus rutin mengeruk dasar sungai. Namun, upaya-upaya itu terkadang tidak cukup untuk mencegah luapan air dari kali. "Risiko tinggal di pinggir kali, ya, gini ini. Sering dapat kiriman sampah," cetus dia.

Ia berharap pemerintah setempat turun tangan untuk mengatasi pencemaran anak Sungai Cisadane di kampungnya. Pasalnya, warga setempat masih memanfaatkan air sungai untuk keperluan sehari-hari, semisal mandi dan mencuci pakaian. 

Selain itu, kata Deni, ada pula warga yang menggunakan aliran air di sungai itu untuk budidaya ikan. "Kalau buat nyuci, masih banyak yang pakai air kali. Baru nanti dibilas. Tapi, kadang airnya keruh karena banyak sampah," ujar pria yang sudah sepuluh tahun tinggal di Sawah Besar itu. 

Seperti dikatakan Deni, warga Sawah Besar memang masih menggunakan air kali untuk keperluan sehari-hari. Di sejumlah titik di bantaran sungai, terlihat sejumlah ibu-ibu sedang mencuci pakaian dan perabotan dapur. 

Kepada Alinea.id, salah satu emak-emak mengatakan sudah biasa mengunakan air dari anak sungai Cisadane untuk beragam keperluan. "Dari dulu juga enggak apa-apa. Enggak ada yang sakit atau apa pakai air ini," ucap dia. 

Tak hanya di Sawah Besar, hari itu, Alinea.id juga menemukan tumpukan sampah di berbagai titik di sepanjang aliran Sungai Cisadane. Salah satunya di bantaran sungai di dekat jembatan Jalan Raya Cisauk dan tempat pembuangan akhir (TPA) Cipeucang di Serpong, Tangerang, Banten. 

Di kawasan itu, sampah plastik terlihat tersangkut pada dahan pohon yang menjuntai hingga ke badan Sungai Cisadane. Tumpukan sampah lapuk juga menumpuk di berbagai titik di area permukiman pemulung di sekitar jembatan tersebut. Pencemaran terutama disebabkan oleh limbah plastik, baik dari sampah domestik maupun industri. 

Dua anak melintasi jalan yang bersisian dengan aliran anak Sungai Cisadane di kawasan Kebon Besar, Batu Ceper, Tangerang, Banten, Rabu (1/6). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Tercemar parah

Bencana sampah kiriman juga dirasakan warga yang tinggal di desa-desa di muara Sungai Cisadane. Salah satunya ialah Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten. Sepanjang tahun, sampah menumpuk di beberapa titik aliran sungai di dekat desa nelayan itu. 

"Tumpukan sampah di Tanjung Burung itu ada yang sudah mencapai 2,4 meter tingginya. Kalau dicek dari Google bisa terlihat kok seperti apa kondisinya," kata Bawi, aktivis lingkungan Tanjung Burung, kepada Alinea.id, Selasa (31/5).

Menurut Bawi, sampah kiriman menumpuk di Tanjung Burung selama puluhan tahun. Ia bahkan menyebut pernah menemukan jenis kemasan makanan yang populer pada 20 tahun lalu di salah satu tumpukan sampah di aliran sungai dekat desa tersebut. 

Akibat tumpukan sampah itu, aliran Sungai Cisadane di Tanjung Burung menyempit dan kian dangkal. Saat musim kemarau, kapal-kapal nelayan bahkan sulit melintas karena air terlalu dangkal. "Kalau musim kemarau itu lebih mengggangu karena enggak ada kiriman air dari hulu," kata Bawi. 

Menurut Bawi, pencemaran air akibat sampah sudah dirasakan oleh para nelayan di kampungnya. Salah satu indikasinya ialah menipisnya jumlah ikan di sekitar muara Sungai Cisadane. Supaya mendapat ikan, para nelayan kini harus membawa kapal mereka ke tengah laut. '

"Dulu itu kita masih bisa nyari ikan di Sungai Cisadane. Sekarang sudah enggak bisa karena ada pencemaran itu. Kedua, di sekitaran muara juga enggak bisa. Ikan itu sudah ke tengah. Masuk dalam kategori ekosistem. Jadi, lebih sulit untuk cari ikan. Paling bisa kita harus punya kapal gede," kata Bawi.

Meskipun persoalan pencemaran lingkungan itu sudah dihadapi warga sejak puluhan tahun, menurut Bawi, hingga kini pemerintah setempat tidak pernah serius menanganinya. Ia bahkan menyebut Pemprov Banten tak menganggap pencemaran muara Sungai Cisadane sebagai persoalan urgen. "Soalnya, belum ada bentuk penanganan apa pun," imbuh dia. 

Peneliti Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) Daru Setyorini mengatakan lembaganya mengklasifikasikan Sungai Cisadane sebagai sungai yang tingkat pencemarannya tergolong tinggi. 

"Bisa dipastikan itu pasti sungainya sampai ke muaranya ada mikro plastik. Selama di situ ada tumpukan sampah plastik, maka di airnya pun itu pasti ada mikro plastiknya," kata Daru kepada Alinea.id, Selasa (31/5).

Ia mengamini pemerintah setempat terkesan tak serius menangani pencemaran Sungai Cisadane. Salah satu indikasinya ialah maraknya permukiman ilegal di bantaran sungai tersebut. Menurut Daru, bantaran sungai seharusnya steril dari permukiman warga. 

"Ruang sungai itu bukan hanya sungai yang ada airnya, tapi bantaran sungai di kiri dan kanan juga. Ketika musim hujan, airnya kan pasti akan meluber. Tempat luberan air ini yang harus difungsikan sebagai kawasan lindung resapan air enggak boleh ada bangunan kedap air," ucap Daru.

Selain itu, Daru menyebut pemerintah setempat juga kerap turut berkontribusi terhadap pencemaran air Sungai Cisadane. Ia mencontohkan proyek-proyek pembangunan yang digarap di sekitar aliran sungai tanpa memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan. 

"Sehingga terkadang kontradiksi dengan aturan yang dibuat. Jadi, di situ (sekitar aliran sungai) pemerintah bangun jalan, bangun beton, dan kadang industri juga ada di situ. Tetapi, enggak ada penegakan hukum dan penertibannya," ucap Daru.

Sungai Cisadane memiliki panjang sekitar 126 kilometer. Aliran sungai itu melintasi empat kabupaten dan kota serta dua provinsi, yakni Jawa Barat dan Banten. Hulu singai berada di Gunung Pangrango dan muaranya di Laut Jawa. 

Karena melintasi dua provinsi, menurut Daru, upaya normalisasi sungai harus dilakukan secara masif. Jika diperlukan, pemerintah pusat turun tangan untuk mengoordinasi upaya membersihkan sungai dari sampah dan mengurangi pencemaran air. 

Daru juga menekankan pentingnya edukasi kepada warga supaya tidak lagi membuang sampah ke aliran sungai. "Dan ada penegakan hukum. Juga harus disediakan sarananya supaya mereka enggak buang sampah ke sungai. Tiap desa harus punya tempat pengolahan sampah sendiri. Jadi, enggak ada lagi yang buang ke sungai," kata Danu. 

Tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Ceupacang, Serpong, Tangerang, Banten. Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Perlu kolaborasi

Direktur Bank Sampah Sungai Cisadane (Banksasuci) Foundation Ade Yunus mengatakan pemerintah pusat dan daerah setengah hati membenahi kondisi Sungai Cisadane. Padahal, sedimentasi dan pencemaran telah jadi persoalan yang dihadapi warga di sekitar aliran sungai tersebut selama puluhan tahun.

"Di Sungai Cisadane itu belum pernah dilakukan normalisasi secara masif. Hanya parsial, sehingga ketika air permukaan naik, wajar saja bila tumpah atau banjir karena endapan lumpur dan sampah sudah sangat parah di bawah," kata Ade kepada Alinea.id, Rabu (1/6). 

Banksasuci merupakan salah satu LSM lingkungan yang fokus mengawasi Sungai Cisadane. Dalam beberapa tahun terakhir, Banksasuci menggelar beragam inisiatif untuk mengurangi beban sampah di Sungai Cisadane, termasuk di antaranya memasang waste trap di sejumlah titik dan membangun bank sampah. 

Ade mengatakan persoalan pencemaran Sungai Cisadane tergolong pelik. Ia terutama menyalahkan Pemprov Banten yang terkesan membiarkan pabrik-pabrik yang beroperasi di sekitar sungai mencemari aliran sungai tersebut. Ia mengklaim laporan yang disampaikan Banksasuci tak pernah ditanggapi serius oleh Pemprov Banten. 

"Ada beberapa industri kita laporkan. Tapi, hanya berakhir dengan istilah teguran atau pembinaan. Selain itu, mereka ada beberapa yang belum memiliki IPAL (instalasi pengolahan air limbah). Ada juga yang sudah memiliki IPAL, namun tetap buang limbahnya ke Sungai Cisadane pada dini hari atau saat hujan deras," kata Ade.

Ade juga menyoroti keberadaan TPA Cipeucang berdekatan dengan bantaran Sungai Cisadane. Menurut dia, sampah dari TPA tersebut tidak dikelola dengan baik dan rutin tercecer ke sungai. "TPA Cipeucang masih berada di garis sempadan sungai. Mestinya segera dilakukan relokasi dan penutupan," kata Ade. 

Lebih jauh, Ade menyarankan kolaborasi dalam skema pentaheliks untuk mengatasi persoalan sampah dan pencemaran Sungai Cisadane. Dalam skema tersebut, semua pemangku kepentingan dilibatkan, semisal kalangan akademikus dengan menggelar riset dan kajian, dunia usaha dengan membangun IPAL dan CSR-nya, dan pemerintah setempat dengan kebijakan-kebijakannya. 

Pemerintah pusat, lanjut Ade, juga turut ambil bagian dalam upaya menyelamatkan Sungai Cisadane dengan membentuk payung hukum. "Bila sangat mendesak, perlu didorong keppres (keputusan presiden) Satgas Cisadane agar terkordinasi dengan baik satu komando, seperti halnya Satgas Citarum Harum," kata Ade.

Warga memanfaatkan air anak Sungai Cisadane untuk keperluan sehari-hari di Kebon Besar, Batu Ceper, Tangerang, Banten, Rabu (1/6). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang Selatan Wahyunoto Lukman mengklaim instansinya rutin menertibkan pemukiman ilegal di bantaran sungai dan membangun unit-unit bank sampah untuk mengubah kebiasaan warga buang sampah ke sungai. Namun, ia mengakui pemkot masih perlu kerja ekstra keras untuk mencegah sampah mencemari sungai. 

"Sampai saat ini kami selalu kita edukasi dan sosialisasikan untuk mengurangi dan menangani sampah melalui 3R (reuse, reduce, recycle), bank sampah, dan penerapan sanksi sesuai sasaran dan terukur," kata Wahyunoto kepada Alinea.id. 

Ia membantah bila keberadaan TPA Cipeucang yang dekat dengan daerah aliran sungai (DAS) Cisadane disebut sebagai salah satu biang kerok menumpuknya sampah di sungai tersebut.  Menurut dia, TPA Cipeucang sudah dirancang agar tidak mencemari aliran sungai. 

"Kami pastikan tidak ada sampah, baik plastik atau sampah apa pun, yang keluar dari area control dumping landfill TPA. Bahkan, jarak landfill TPA dengan DAS Cisadane sudah sangat jauh dan dibatasi dengan bukit yang sudah diberi penghijauan dan tanaman pelindung," kata Wahyunoto. 

Pada 2019, TPA Cipeucang sempat mengalami longsor. Akibatnya, sampah mengalir deras ke aliran sungai. Namun, menurut Wahyunoto, sampah yang meluber ke sungai akibat bencana tersebut sudah dikeruk pemkot tak lama setelah peristiwa tersebut. 

Saat ini, Pemkot Tangerang juga sedang mencari teknologi yang cocok untuk penanganan sampah di TPA Cipeucang agar tidak membebani banyak daerah yang dilintasi Sungai Cisadane. 

Lebih jauh, ia juga berharap semua instansi pemerintah ikut berkontribusi dalam menyelamatkan Sungai Cisadane dari pencemaran. "Urusan pencemaran sungai itu melibatkan banyak pihak. Masalah pendangkalan endapan sampah itu sebenarnya ranah (dinas) sumber daya air," kata Wahyunoto.

 

Berita Lainnya
×
tekid