sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

BNPT perlu lebih tampil dalam RUU Terorisme

Arya menyebut BNPT sebagai leading sector sebaiknya memilki dua lembaga besar, yaitu pusat kajian dan analisis serta pusat kendali operasi.

Syamsul Anwar Kh
Syamsul Anwar Kh Senin, 14 Mei 2018 13:57 WIB
BNPT perlu lebih tampil dalam RUU Terorisme

Nasib revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hingga kini masih menggantung. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan kendala yang dihadapi dalam pembahasan RUU Terorisme telah diatasi dan memungkinkan untuk segera disahkan.

"Sudah kita sepakati dan selesaikan bersama, sehingga dalam waktu singkat revisi itu mudah-mudahan dapat segera kita undangkan," ujar Wiranto di rumah dinas menteri seperti dilansir Antara, Senin (14/5).

Pembahasan dua poin dalam RUU Terorisme, yakni definisi terorisme dan peran TNI dalam menghadapi teroris juga dianggap telah menemukan titik temu. Wiranto tak merinci kesepakatan terkait dua poin tersebut.

Terkait tarik ulur RUU Terorisme, pengamat politik internasional Arya Sandhiyuda menyebut negara maju, umumnya memiliki kebijakan kontra-terorisme yang fokus pada empat hal, yakni pencegahan, pengejaran, perlindungan, dan kesiapsiagaan.

"Umumnya intelijen fokus berperan di dua (hal) pertama, tapi di Indonesia pada dua fokus itupun kewenangannya belum penuh," terang Arya kepada Alinea.

Penerima Certificate in Terrorism Studies dari International Center for Political Violence and Terrorism Research (ICPVTR) Singapura tersebut memaparkan, dalam hal pencegahan teroris perlu melibatkan seluruh aktor keamanan nasional, termasuk intelijen.

Alumnus Istanbul University ini mengingatkan, sejak 2011 pengawasan orang asing di Indonesia sangat lemah sejak fungsi tersebut tidak lagi dikelola lembaga dengan kapasitas intelijen memadai. Sebaliknya, justru dilimpahkan ke lembaga yang hanya bersifat administratif.

Selanjutnya dalam hal pengejaran, ia meminta aktor keamanan nasional, termasuk intelijen diberikan kewenangan secara efektif untuk menangkap para teroris.

Sponsored

"Sesuatu kewenangan yang tidak didapatkan di Indonesia," ulas Arya.

Sedangkan di bidang perlindungan, perlu kepastian bahwa tindakan pencegahan keamanan lebih didukung melalui peran militer untuk terlibat menangani ancaman di objek vital nasional. Hal ini perlu dibicarakan antara TNI dan Polri.

Terakhir, di bidang kesiapsiagaan, yakni memastikan bahwa negara memiliki orang-orang, lembaga, dan sumber daya dengan kapasitas yang sesuai dalam menangani terorisme. Arya menyebut BNPT sebagai leading sector sebaiknya memilki dua lembaga besar, yaitu pusat kajian dan analisis, yang bertanggung-jawab untuk masalah penentuan tingkat ancaman teroris (threat level), dan pusat kendali operasional, bertanggungjawab mengoordinasi lembaga-lembaga intelijen, agensi-agensi keamanan seperti Badan Intelijen Kepolisian, Badan Intelijen Negara, dan Badan Intelijen Strategis TNI, untuk menindak tersangka teroris.

Selain itu, pusat kendali operasional juga mengoordinasi Polri dan TNI dalam melindungi infrastruktur vital nasional ketika muncul ancaman atau insiden teroris.

Menurutnya, BNPT perlu memiliki stand by force, pasukan keamanan dalam jumlah kecil yang memiliki kemampuan intelijen, pengintaian dan pemantauan (intelligence-surveillance-reconnaissance), maupun sebagai pasukan penyerbu (striking force).

"Stand by force dapat menjadi lead force bagi pasukan kontra-terorisme di masing-masing angkatan untuk melakukan perlindungan dan penindakan," tandasnya.

Berita Lainnya
×
tekid