sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Tanggul laut raksasa dan kehancuran ekosistem di pesisir utara Jawa

Giant sea wall dirancang untuk memitigasi laju penurunan permukaan tanah antara 1 hingga 25 sentimeter per tahun.

Kudus Purnomo Wahidin
Kudus Purnomo Wahidin Jumat, 12 Jan 2024 14:23 WIB
Tanggul laut raksasa dan kehancuran ekosistem di pesisir utara Jawa

Pemerintah berencana membangun tanggul laut raksasa (giant sea wall) di sepanjang pantai utara (pantura) Jawa. Pembangunan megaproyek ini terdiri dari tiga fase. Fase pertama (A) dilakukan dengan membangun tanggul pantai dan sungai, serta sistem pompa dan polder di wilayah pesisir utara Jakarta.

Fase pertama tersebut dibangun pada 44,2 kilometer lokasi yang dianggap kritis. Ditargetkan selesai pada 2030. Fase kedua (B) bakal dimulai pada 2030, dengan membangun tanggul laut berkonsep terbuka di sisi barat pesisir utara Jakarta. Terakhir, fase ketiga (C) akan dibangun tanggul lau adaptif sisi timur, yang rencananya dibangun mulai 2040.

Giant sea wall dirancang untuk memitigasi laju penurunan permukaan tanah antara 1 hingga 25 sentimeter per tahun, yang menyebabkan banjir rob di beberapa kawasan pesisir utara Jawa.

“Ancaman penurunan (permukaan) tanah dan banjir rob membahayakan keberlangsungan aktivitas ekonomi dan aset infrastruktur ekonomi nasional di wilayah tersebut,” kata Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat memberikan sambutan dalam "Seminar Nasional Giant Sea Wall" di Hotel Kempinski, Jakarta, Rabu (10/1).

Airlangga menyebut, di pantura Jawa terdapat 70 kawasan industri, lima kawasan ekonomi khusus, 28 kawasan peruntukan industri, dan lima wilayah pusat pertumbuhan industri.

Pada pembangunan fase pertama, tersisa 33,3 kilometer yang dibangun Kementerian PUPR dengan biaya Rp10,3 triliun dan pendanaan dari Pemprov DKI Jakarta Rp5,8 triliun. Pemerintah pun memproyeksikan kebutuhan anggaran untuk pembangunan fase dua senilai Rp148 triliun. Dengan demikian, kebutuhan anggaran untuk pembangunan fase pertama dan kedua mencapai Rp164,1 triliun.

Berbagai ancaman

Menurut anggota Komisi VII DPR, Mulyanto, proyek tanggul raksasa itu sangat ambisius. Patut pula diwaspadai terjadinya malaadministrasi yang dapat membuat megaproyek itu tak transparan. Karenanya, ia merasa perlu ada studi kelayakan yang komprehensif dan konsultasi publik secara terbuka.

Sponsored

“(Perlu) transparan dan partisipatif agar benar-benar dapat diyakini bahwa pembangunan tanggul raksasa itu adalah solusi yang tepat, baik dari sisi teknis maupun ekonomi,” kata Mulyanto kepada Alinea.id, Kamis (11/1).

Selain itu, membeberkan megaproyek tanggul raksasa pantura Jawa di saat proses Pemilu 2024, kata Mulyanto, sangat politis. “Karenanya penting studi kelayakan dan konsultasi publik, sehingga kita bisa melihat proyek ini secara lebih objektif," ucap Mulyanto.

Sementara itu, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, Parid Ridwanuddin menilai, tujuan pembangunan tanggul raksasa tersebut untuk memitigasi laju penurunan permukaan tanah, kurang tepat. Terlebih, jika caranya dengan mereklamasi laut. Dengan begitu, megaproyek itu tak akan menjawab akar persoalan kehancuran ekologis di Pulau Jawa, yang selama ini telah dieksploitasi untuk kepentingan industri ekstraktif.

Parid menjelaskan, kawasan pantura Jawa punya sejarah panjang eksploitasi yang merusak, sejak era kolonial hingga pasca-reformasi 1998. Pada 2012, Walhi sudah menerbitkan buku berjudul Java Collapse. Isinya menjelaskan kehancuran dan kebangkrutan sosial-ekologis Pulau Jawa akibat eksploitasi sumber daya alam.

Ia melanjutkan, kawasan pantura Jawa, mulai dari Banten hingga Jawa Timur, telah terbebani izin industri skala besar. Hal itu menyebabkan terjadikan penurunan muka tanah secara cepat. Maka, jika pemerintah serius ingin menghentikan penurunan muka tanah, bukan dengan membangun tanggul raksasa, tetapi mengevaluasi dan mencabut izin industri besar di sepanjang pesisir utara Jawa.

“Selain itu, pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall akan menghancurkan wilayah laut atau perairan Pulau Jawa bagian utara, yang selama ini menjadi wilayah tangkapan ikan ratusan ribu nelayan tradisional,” ujar Parid.

“Pasalnya, proyek ini akan membutuhkan pasir laut yang tidak sedikit. Sebagai contoh, ada tahun 2021 lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengestimasi kebutuhan pasir laut untuk kebutuhan proyek reklamasi Teluk Jakarta sebanyak 388.200.000 meter kubik.”

Di samping itu, proyek ini dikhawatirkan berdampak buruk, bahkan mempercepat kepunahan, keanekaragaman hayati yang ada di perairan Jawa bagian utara. “Sebagaimana dinyatakan oleh para ahli, kepunahan ini disebabkan dua hal, yaitu penangkapan ikan yang over exploited serta kehancuran ekosistem pesisir dan laut akibat aktivitas industri,” tutur Parid.

“Dalam jangka panjang, ambisi pembangunan tanggul laut raksasa akan mempercepat kepunahan spesies flora dan fauna di perairan Pulau Jawa.”

Ancaman lainnya adalah, berkurangnya stok sumber daya ikan sebagai asupan protein masyarakat. Sebagai gambaran, Parid merinci, setiap wilayah perairan yang hilang seluas satu hektare menyebabkan kerugian ekonomi yang diterima nelayan sebesar Rp26.899.369 per orang per tahun. Total kerugian nelayan akibat berkurangnya wilayah perairan di Teluk Jakarta sebesar Rp137.536.474.541 per tahun.

Sementara bila kegiatan nelayan berhenti total, nilai kerugian ekonomi mencapai Rp101.312544 per orang per tahun, dengan total mencapai Rp766.632.021.205 per tahun. Nilai ini diperoleh berdasarkan perhitungan valuasi ekonomi dengan teknik effect on production, yang menghitung besaran surplus konsumen dari kegiatan penangkapan ikan.

“Berdasarkan kalkulasi itu, proyek tanggul laut raksasa akan memperluas kerugian dan kehilangan ekonomi yang dirasakan nelayan dan para pelaku perikanan lainnya di pesisir utara Jawa,” kata Parid.

Belum lagi ancaman terkikisnya ekosistem mangrove, yang selama ini sudah kritis di pesisir utara Jawa karena beban industri yang masif. “Sebagai contoh, akibat beban industri yang sangat berat di pesisir utara Jawa Tengah, luasan mangrove terus mengalami penurunan,” ujar dia.

“Pada 2010, mangrove tercatat seluas 1.784.850 hektare. Tahun 2021, mengalami kehilangan yang sangat signifikan, di mana luasannya hanya tercatat 10.783,62 hektare.”

Kondisi tersebut juga terjadi di pesisir Jakarta. Saat ini, luasan mangrove tercatat tak lebih dari 25 hektare. Padahal, sebelum ada proyek reklamasi, luasannya lebih dari 1.000 hektare. Dari segala ancaman tadi, Parid menyarankan pemerintah menghentikan rencana pembangunan tanggul laut raksasa.

“(Pembangunan ini) sarat kepentingan melindungi industri dan tidak berorientasi pada pemulihan sosial-ekonomi Pulau Jawa,” katanya.

Berita Lainnya
×
tekid