Apa yang akan terjadi pada Gaza?
Asa untuk tercapainya gencatan senjata di Jalur Gaza meredup setelah Amerika Serikat (AS) keluar dari meja perundingan damai dengan kelompok militan Hamas di Qatar. AS mengikuti langkah Israel yang telah dahulu menarik diri dari pembicaraan damai.
Steve Witkoff, Utusan Khusus AS untuk Timur Tengah, menuding kesepakatan damai gagal lantaran tak ada itikad baik dari Hamas. Setelah dua pekan negosiasi yang alot, AS akan memulangkan tim perundigan dari Qatar.
"Para mediator telah berupaya keras, tetapi respons dari Hamas jelas menunjukkan kurangnya keinginan untuk mencapai gencatan senjata di Gaza," kata Witkoff seperti dikutip dari AFP, Jumat (25/7).
Namun, pernyataan Witkoff dibantah Hamas. Kelompok gerilyawan itu justru menuding Israel yang terus-menerut mengganjal upaya tercapainya kesepakatan damai.
"Gerakan ini mengafirmasi keinginan untuk meneruskan negosiasi dan terlibat dalam upaya-upaya melewati semua rintangan demi tercapainya kesepakatan damai permanen," ujar Hamas dalam keterangan resmi.
Hamas mengaku sudah menyampaikan respons terbaru mereka terhadap kerangka kesepakatan damai yang dimediasi AS, Mesir dan Qatar. Israel mengonfirmasi sedang mengkaji respons itu. Kedua belah pihak tak mau membuka isi dokumen negosiasi terbaru.
Israel dan Hamas saat ini tengah menghadapi tekanan dunia internasional untuk segera menyepakati gencatan damai. Situasi di Gaza terus memburuk. Sejak perang pecah pada Oktober 2023, setidaknya 115 orang telah tewas karena malnutrisi.
Selasa (23/7) lalu, AFP melansir foto-foto yang "mengabadikan" prosesi penguburan Abdul Jawad al-Ghalban, seorang bocah Gaza berusia 14 tahun. Dalam foto-foto itu, terlihat petugas medis sedang membersihkan tubuh kurus al-Ghalban di sebuah masjid di Rumah Sakit Khan Younis’s Nasser.
Munir Al-Barash, Direktur Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan al-Ghalban ialah satu dari 20 warga Gaza yang meninggal karena kelaparan dalam 48 jam terakhir. "Ini angka mencengangkan mengingat sudah ada 88 orang tewas karena kelaparan sejak awal perang," kata dia.
Israel Defense Forces (IDF) telah mengumumkan mengontrol setidaknya 75% wilayah Gaza. Sejak lebih dari dua bulan, militer Israel memblokade suplai makanan ke Gaza demi menekan Hamas melepas para sandera sesuai keinginan Israel.

Dalam sebuah opini di Times of Israel, penulis buku Still Life with Bombers (2004) David Horovitz berpendapat Israel tak punya keinginan untuk menyerahkan Gaza kembali ke tangan Hamas. Dalam kondisi luluh lantak, Gaza hampir mustahil bisa dikendalikan Hamas.
"Israel telah membuktikan tak mau atau tak bisa membuka alternatif untuk pemerintahan oleh Hamas di Gaza—tidak lewat klan-klan lokal, otoritas Palestina, atau pun via mekanisme regional yang direncanakan AS," kata Horovitz.
Indikasi Gaza tak akan dikembalikan ke Hamas kuat. Februari lalu, misalnya, Presiden AS Donald Trump menelurkan gagasan untuk merelokasi semua warga Gaza ke luar Palestina. Ide itu disambut dengan gembira oleh Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz.
Terbaru, Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich juga menyebut Gaza akan dianeksasi Israel dan bakal menjadi bagian yang tak terpisahkan dari negara Zionis itu. Israel berencana menghapus total eksistensi Hamas di wilayah tersebut.
Akankah rencana itu berhasil? Horovitz tak bisa menjawab dengan tegas. Tetapi, harus ada otoritas yang bertanggung jawab atas sisa-sisa kehidupan di Gaza. Saat ini, Hamas tak punya kapabilitas untuk memikul beban itu.
"Gaza saat ini hanya tinggal reruntuhan, tak bisa ditinggali, dan warganya mengalami penderitaan yang luar biasa. Israel, bukan Hamas, yang menjadikan dirinya bertanggung jawab atas itu," jelas Horovitz.
Akhir mimpi Palestina merdeka?
Selain reokupasi Gaza, Israel saat ini juga telah menguasai sebagian besar wilayah Tepi Barat. Rencana rekonstruksi telah disiapkan untuk area-area yang kini dikuasai militer Israel. Setidaknya sejuta warga Israel bakal ditempatkan kawasan permukiman baru di Tepi Barat.
Dikutip dari The Conversation, pakar politik internasional dari University of London, Leonie Fleischmann mengatakan Israel berencana memecah Tepi Barat menjadi dua. Satu area milik Israel, sebagian lainnya didiami warga Palestina.
Aneksasi Gaza dan pembagian kawasan Tepi Barat, kata Fleischmann, akan mengubur dalam-dalam mimpi tercapainya solusi dua negara. "Mengutip kata-kata (Bezalel) Smotrich: Ini cara untuk membunuh gagasan berdirinya negara Palestina," ujar dia.


