Agresi brutal Israel di Gaza dan strategi blokade bantuan yang menciptakan kelaparan di mana-mana di daerah kantong yang terkepung itu, tidak sepenuhnya didukung komunitas elite Israel. Salah satu yang bersuara lantang adalah Moshe Yaalon, mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel.
Bukan hanya mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap langkah militer Israel, ia bahkan mengkritik keras Israel dan menyebut Israel telah melakukan kejahatan perang di Gaza.
Pernyataan itu ia sampaikan melalui akun media sosial X pada Senin lalu, dan ditujukan langsung kepada para petinggi keamanan Israel: Kepala Staf Eyal Zamir, Direktur Mossad David Barnea, serta seorang pejabat tinggi Shin Bet yang hanya disebut dengan inisial “S.”
Dalam pesannya, Yaalon mengkritik keras praktik evakuasi massal warga Palestina dari rumah mereka, penghancuran sistematis wilayah pemukiman, hingga pemusatan mereka di lokasi yang disebut sebagai “kota kemanusiaan”—yang menurutnya justru menyamarkan agenda deportasi paksa.
“Mengusir semua penduduk tanpa pandang bulu, menghancurkan rumah-rumah, dan mengurung mereka dalam zona kecil atas nama kemanusiaan—itu jelas kejahatan perang menurut hukum internasional,” tegas Yaalon.
Pernyataan ini datang sehari setelah militer Israel mengeluarkan perintah evakuasi besar-besaran untuk wilayah utara dan selatan Gaza. Dalam perintah itu, disebutkan bahwa siapa pun yang tak patuh akan dianggap sebagai sasaran militer.
Akibatnya, ribuan warga Palestina kembali terpaksa mengungsi, menambah panjang daftar korban kemanusiaan yang terus berlangsung sejak Oktober 2023.
Tenda di atas reruntuhan dan blokade kemanusiaan
Rencana pembangunan “kota kemanusiaan”—yang digagas Menteri Pertahanan Israel Israel Katz—dirancang untuk menampung 600.000 pengungsi Palestina di atas reruntuhan Rafah, wilayah Gaza selatan yang hancur dibombardir.
Namun, kota tenda ini bukan solusi. Tidak ada jaminan keamanan, tak ada izin keluar, dan proses pemeriksaan yang ketat justru menambah penderitaan para pengungsi.
Yaalon menyoroti taktik kelaparan yang digunakan untuk memaksa warga meninggalkan wilayahnya sendiri.
“Membuat penduduk kelaparan demi memicu pengungsian ‘sukarela’ adalah kegagalan moral, dan tak ada tempat untuk itu dalam nilai-nilai kita,” ujarnya.
Ia juga mengecam keras penembakan terhadap warga sipil yang sedang menunggu bantuan makanan di titik distribusi. Baginya, aksi tersebut adalah bentuk pembunuhan yang disengaja.
Sandera Israel
Yaalon turut menyinggung nasib para sandera Israel yang masih ditahan di Gaza. Ia menuding pemerintah saat ini telah meninggalkan mereka demi kelangsungan politik.
“Meninggalkan tawanan begitu saja adalah kejahatan moral. Mungkin tidak termasuk dalam definisi hukum kejahatan perang, tapi siapa pun tidak pernah membayangkan ada negara yang tega meninggalkan warganya demi kekuasaan.”
Kepada para pemimpin militer Israel, Yaalon mengingatkan agar tetap menjaga etika dan nurani dalam menjalankan perintah. Ia menyebut bahwa mereka memang dibesarkan untuk menghormati pemimpin, tapi bukan berarti harus mematuhi perintah ilegal yang ditandai oleh ‘bendera hitam’.
Kritik dari dalam negeri dan sorotan dunia
Selama beberapa bulan terakhir, Yaalon memang sering melontarkan kritik terhadap kebijakan militer negaranya di Gaza. Hal ini membuatnya mendapat serangan balik dari kalangan sayap kanan Israel. Namun ia tak surut.
Sejak agresi militer dimulai Oktober 2023, lebih dari 59.000 warga Palestina telah terbunuh, mayoritas perempuan dan anak-anak. Infrastruktur Gaza hancur, sistem kesehatan lumpuh, dan jutaan orang menghadapi krisis pangan.
Situasi ini tidak luput dari perhatian hukum internasional.
Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sementara itu, Israel juga sedang menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas serangan brutalnya di Gaza. (aa)