

Dari FPI ke GRIB: Ancaman konten berita fiktif di jagat YouTube

Di tengah panasnya polemik terkait ormas dan premanisme, sebuah video fiksi meluncur di akun YouTube @Cerita Hidup, pekan lalu. Judulnya terbilang kontroversial: "Anggota Kopassus Mengamuk!! Ormas GRIB Peras Istri Tentara Kopassus Di Toko Miliknya".
Isi video bercerita mengenai pasangan suami-istri yang susah payah membangun toko kelontong. Sang suami anggota Kopassus, sedangkan sang istri sehari-hari mengelola toko kelontong. Mereka berharap bisa menggantungkan hidup pada toko kelontong itu saat sang suami pensiun.
Namun, toko itu diincar anggota ormas GRIB, identik dengan ormas GRIB Jaya yang didirikan Hercules. Konflik pun pecah. Sang suami tak terima toko kelontong yang dikelola sang istri jadi sapi perah oknum ormas. Apalagi, sang istri kerap diintimidasi saat dipalak oknum ormas.
Kisah berakhir indah. Sang suami berhasil menyelamatkan toko kelontongnya dari incaran ormas GRIB.
Hanya sepekan tayang, video itu sudah ditonton lebih dari sejuta orang. Capaian itu terbilang ciamik. Pasalnya, @Cerita Hidup hanya punya kisaran 12,6 ribu subscriber. Artinya, banyak warganet yang menemukan video dari hasil pencarian di YouTube.
Mayoritas penonton percaya bahwa kisah itu nyata. Mereka menghujat ormas GRIB di video itu, menyamakannya dengan ormas GRIB Jaya yang dipimpin Hercules. Padahal, sudah ada disclaimer yang menyatakan bahwa video itu fiktif di kolom deskripsi.
"Tuhkan udah terbukti klo GRIB itu 100% preman. Musnahkan preman berbaju ormas," tulis pemilik akun @Hendra-gr8iq di kolom komentar.
Komentar-komentar lain bernada serupa. "Kopassus turun tangan, abis semua tuh GRiB.. Ayo pak, berantas semua pak, GRIB atau ormas apa itu julukannya," tulis @antho2709.
Jualan fiksi yang dibalut seolah kisah nyata juga disajikan kanal @TemanKisah106. Memboncengi polemik GRIB Jaya dan Hercules yang sedang viral, kanal itu meluncurkan video bertajuk "TRAGEDI GRIB MELAWAN DAYAK DI KALIMANTAN BERAKHIR TRAGIS" sekira tiga hari lalu.
Isi video bercerita mengenai konflik antara kelompok komunitas Dayak dan ormas GRIB. Komunitas adat Dayak menolak rencana pembentukan GRIB. Singkat cerita, komunitas adat Dayak sukses mengusir anggota GRIB dari Kalimantan.
Video itu juga dipercaya oleh mayoritas netizen yang menonton sebagai kisah nyata. "Warga kalimantan harus bersatu untuk menolak GRIB yang nyata nyata berperilaku preman," tulis salah satu warganet di kolom komentar.
Sebelum GRIB, @TemanKisah106 juga rutin mengunggah kisah fiksi konflik antara FPI dan warga Dayak. Konten-konten itu cukup "menghasilkan." Salah satu video bertajuk "Tragei FPI Melawan Dayak Kalimantan Berakhir Tragis" bahkan sudah ditonton lebih dari 1,4 juta warganet setelah hanya tiga pekan tayang.
Dari hasil penelusuran, Alinea.id menemukan belasan kanal Youtube yang berjualan "berita fiktif" yang dibuat menggunakan artificial inteligence (AI). Mayoritas kreator konten menyusun skenario kisah berbasis polemik-polemik yang sedang hangat di dunia nyata. Video-video yang ditayangkan kanal-kanal itu laris-manis.
Pakar keamanan siber Vaksincom, Alfons Tanujaya membenarkan fenomena tersebut. Menurut dia, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) perlu turun tangan untuk mengawasi konten-konten yang bisa memicu konflik horizontal.
"Harusnya ini merupakan ranah Komdigi dan Bareskrim Polri. Walaupun kontennya lebih erat berkaitan dengan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), tetapi, secara undang-undang, KPI tidak memiliki wewenang untuk memonitor konten di platform digital," kata Alfons kepada Alinea.id, Sabtu (9/5).
Lebih jauh, Alfons mengatakan tren bikin konten video berbasis AI muskil dibatasi. Karena itu, pemerintah mesti fokus menangani konten yang bernuansa menghasut atau berpotensi memicu kerusuhan di ruang nyata.
"Jadi bukan AI yang harus diawasi. Tetapi, hasil kontennya yang lebih mengarah pada memicu kesalahpahaman. Kalau kita batasi AI, lalu bisa saja konten itu dibuat secara costume atau keahlian membuat film. Kan jadi juga kontennya," kata Alfons.

Berdampak buruk
Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja sepakat perlu ada pengawasan ketat untuk konten-konten yang dibuat dengan AI. Selain dapat menimbulkan kebingungan dan berpotensi memicu gejolak sosial di masyarakat, manipulasi video menggunakan AI bisa berdampak buruk pada kesehatan mental dan kognitif.
"Sebagai contoh, deepfakes sering digunakan untuk menyerang individu, seperti tokoh publik atau selebritas dengan tujuan merusak reputasi mereka. Video palsu yang menunjukkan seseorang melakukan tindakan tidak senonoh atau melibatkan mereka dalam skandal dapat menghancurkan kehidupan pribadi dan profesional mereka," kata Ardi kepada Alinea.id.
Deepfake adalah teknologi AI untuk memanipulasi video, audio, atau gambar. Menggunakan deepfake, figur-figur publik kerap direkayasa seolah-olah melakukan atau mengucapkan sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan atau ucapkan.
Supaya masyarakat tak jadi korban disinformasi di dunia maya, Ardi mengatakan perlu ada peningkatan literasi digital. Seiring itu, ia mengusulkan pemerintah mengembangkan teknologi anti-deepfakes. Perusahaan teknologi lokal bisa digandeng untuk itu.
"Masyarakat juga harus lebih kritis terhadap informasi yang mereka terima, terutama dari media sosial. Kampanye kesadaran tentang bahaya deepfakes dapat membantu membangun sikap waspada di kalangan publik," kata Ardi.


Berita Terkait
Dari stecu hingga Paksu: Bagaimana TikTok "menormalisasi" bahasa gaul
Kaum muda rentan jadi korban glorifikasi tubuh kurus di media sosial
Mengapa harus dipercaya kepada digital agency untuk menangani media sosial?
Keluarga diplomat India menjadi sasaran troll online setelah gencatan senjata India-Pakistan

