Dari suap Ronald Tannur hingga putusan onslag PN Jaksel: Kenapa hakim terus korup?
Praktik mafia peradilan kembali mengemuka setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan empat hakim sebagai tersangka kasus dugaan suap dalam pengurusan perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) periode Januari-April 2022.
Empat hakim itu adalah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) Muhammad Arif Nuryanta dan tiga hakim PN Jaksel lain, yaitu Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom. Mereka diduga menerima suap dengan total Rp60 miliar untuk mengeluarkan putusan bebas (onslag) pada para terdakwa dalam kasus itu.
Sebelumya, Kejaksaan Agung juga menangkap bekas Ketua PN Surabaya Rudi Suparmono. Penangkapan itu merupakakan bagian dari pengembangan kasus dugaan suap dalam vonis bebas terhadap Ronald Tannur, terdakwa perkara kekerasan yang menyebabkan kematian Dini Sera Afrianti pada Oktober 2023.
Dalam kasus itu, tiga hakim PN Surabaya yang memvonis bebas Ronald pada Juli 2024 juga diadili karena menerima suap. Perkara ini juga melibatkan bekas pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar. Zarof diketahui punya uang hampir Rp1 triliun dan emas 51 kilogram di rumahnya.
Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), sebanyak 29 hakim telah ditetapkan sebagai tersangka dalam beragam kasus korupsi selama kurun waktu 13 tahun, yakni sejak 2011 hingga 2024. Total nilai suap untuk pengurusan berbagai perkara itu diperkirakan mencapai Rp107 miliar.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Zaenur Rohman meyakini kasus-kasus mafia peradilan yang saat ini muncul hanya fenomena gunung es. Praktik-praktik lancung serupa patut diduga sudah terjadi masif di semua level pengadilan.
Zaenur melihat masih ada kultur jual-beli perkara di lembaga peradilan. Kultur ini sulit dihilangkan dan menyebar di kalangan hakim karena mekanisme pengawasan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial lemah. Padahal, pengawasan terhadap hakim harus dilakukan berlapis, termasuk pengawasan oleh rekan sejawat.
"Jadi, pengawasan itu bertumpu pada Badan Pengawas atau Bawas MA. Idealnya dilakukan dalam semua level. Dalam level pengawasan kerja, pengawasan sesama sejawat. Jadi, sesama hakim harus mengawasi. Mereka harus mau menjadi whistleblower ketika mengetahui ada koleganya yang melakukan korupsi. Belum terbentuk budaya untuk melapor ke sesama hakim," kata Zaenur kepada Alinea.id, Senin (15/4).
Alih-alih saling mengawasi, menurut Zaenur, sesama hakim justru kerap saling menutupi praktik lancung yang mereka lakukan. Oleh karena itu, Zaenur menilai harus ada upaya sistemik melalui reformasi hukum untuk menghapus kultur jual-beli putusan di lembaga pengadilan.
"Yang melapor harus diberi insentif. Kalau memang mereka melapor, harus ada perlindungan harus ada penghargaan bagi yang mau melapor. Kalau lapor tidak ada perlindungan, tidak ada penghargaan, orang juga malas untuk lapor," kata Zaenur.
Zaenur berpendapat untuk mencegah korupsi dan praktik di mafia peradilan perlu ada deteksi dini potensi korupsi dengan memberlakukan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) secara transparan. Dalam sejumlah kasus mafia peradilan, Zaenur menemukan ada banyak hakim yang kedapatan menyembunyikan hartanya.
Kenaikan gaji hakim yang diwacanakan Presiden Prabowo Subianto, kata Zaenur, tak akan sepenuhnya bisa mencegah berulangnya kasus korupsi dan suap di kalangan. Langkah itu perlu dibarengi dengan reformasi sistem peradilan.
"Ada korupsi karena keserakahan. Contohnya hakim agung, take home pay mereka itu sudah ratusan juta. Tetapi, tetap saja masih ada yang mau menerima suap. Kenapa? Karena serakah. Perlu perbaikan pengawasan. Oleh karena itu, perlu perbaikan UU tentang Komisi Yudisial, perlu undang-undang pembatasan transaksi uang kartal untuk mempersempit ruang gerak pidana suap," kata Zaenur.
Tidak kalah penting, lanjut dia, Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung harus serius menyelidiki barang bukti dari berbagai kasus mafia peradilan. Pihak-pihak yang diduga terlibat harus diusut tuntas. Putusan yang diduga dipengaruhi suap harus ditinjau ulang.
Ia mencontohkan duit senilai Rp1 triliun milik Zarof yang diduga didapat dar pengurusan beragam kasus. "Dia ini mantan pejabat eselon 1 di Mahkamah Agung. Pertanyaannya itu uang siapa dan siapa saja yang menggunakan jasa Zarof Ricar? Jaringan hakim dan advokat mana saja yang menyewa jasa Zarof Ricar itu harus dibongkar oleh MA," imbuh Zaenur.
Seleksi hakim
Senada, Ketua Pusat Studi Antikorupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman (Unmul) Orin Gusta Andini menilai mafia peradilan tumbuh subur karena minimnya efek jera terhadap para pelaku. Selain itu, sudah terbangun jejaring mafia peradilan yang siap "dikondisikan" dengan harga yang tepat.
Orin sepakat perlu ada reformasi besar-besaran di sistem peradilan. Evaluasi juga perlu dijalankan pada sistem rekrutmen hakim. "Apakah sistem rekrutmen hakim yang telah dijalankan selama ini cukup tepat dan efektif untuk memilih orang-orang yang berintegritas dan kompeten menjadi hakim," jelas Orin kepada Alinea.id.
Menurut Orin, sistem rekrutmen hakim saat ini masih sama dengan proses rekrutmen aparatur sipil negara lainnya. "Padahal, tentu saja sektor dan kewenangannya tidak sama. Ini harus jadi bahan evaluasi pula untuk pemerintah. Harus dipikirkan mulai hulu hingga hilir," imbuh Orin.


