close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi siaran televisi. /Foto Unsplash/Dorohovich
icon caption
Ilustrasi siaran televisi. /Foto Unsplash/Dorohovich
Peristiwa
Sabtu, 10 Mei 2025 06:10

Di balik 'badai' PHK industri media

Dewan Pers mencatat, sepanjang 2023 hingga 2024, ada sekitar 1.200 karyawan media, termasuk jurnalis, yang terkena PHK.
swipe

Industri media mengalami gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, beberapa waktu terakhir. Dewan Pers mencatat, sepanjang 2023 hingga 2024, ada sekitar 1.200 karyawan media, termasuk jurnalis, yang terkena PHK.

Jumlah itu bisa jadi lebih banyak karena tak semua kasus PHK terdokumentasi. Beberapa waktu lalu, Kompas TV dilaporkan memangkas 150 karyawan, CNN Indonesia TV 200 orang, TVOne 75 orang, dan Elang Mahkota Teknologi (Emtek) 100 orang.

Lalu, Viva.co.id dikabarkan bakal menutup kantornya di Pulogadung, Jakarta Timur, sedangkan MNC sudah memangkas jumlah pemimpin redaksi dari 10 menjadi tiga orang.

Menurut pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin noer Effendi, gelombang PHK massal yang melanda industri media nasional dipicu oleh kombinasi dua faktor utama, yakni pemangkasan anggaran iklan dan menurunnya minat publik terhadap media arus utama.

“Provinsi Jawa Barat yang dulunya menganggarkan Rp50 miliar untuk iklan, sekarang hanya Rp3,5 miliar,” kata Tadjuddin kepada Alinea.id, Kamis (8/5).

Pemprov Jawa Barat beberapa waktu lalu memutuskan memangkas anggaran belanja iklan media massa dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) 2025.

Tadjuddin menegaskan, pemangkasan anggaran tersebut, membuat banyak media, terutama televisi, kehilangan sumber pendapatan utama. Ujung-ujungnya perusahaan melakukan efisiensi, termasuk PHK massal.

Sementara di sisi lain, publik juga kehilangan minat terhadap media arus utama. Tadjuddin melihat, ada perubahan perilaku audiens yang kini lebih memilih platform digital, seperti YouTube, TikTok, dan siniar dibandingkan televisi. Dia menilai, konten media saat ini tidak lagi menarik bagi masyarakat.

“TV isinya hanya debat kusir. Tidak ada solusi. Orang bosan. Mereka ingin wawasan, bukan keributan,” tutur Tadjuddin.

Terlebih, situasi ini diperparah sikap pasif pemerintah. Tadjuddin menilai, pemerintah belum menunjukkan upaya serius dalam menangani krisis pada tenaga kerja ini. Meskia da program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dari BPJS Ketenagakerjaan, implementasinya dianggap belum maksimal.

“Anak saya sendiri di-PHK dari media. Dapat JKP iya, tapi pesangon belum jelas,” ujar dia.

“Pemerintah seharusnya tidak menunggu laporan, tapi turun langsung.”

Lebih lanjut, Tadjuddin juga menyayangkan wacana pembentukan Satuan Tugas (Satgas) PHK yang tak kunjung direalisasikan. Padahal, angka pengangguran menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 sudah mencapai 7,48 juta orang.

Sebagai solusi jangka panjang, Tadjuddin mendorong industri media, terutama televisi, untuk memperbaiki kualitas konten.

“Konten harus memberi wawasan, jangan hanya fokus pada debat kusir yang tidak mendidik,” kata Tadjuddin.

“Kalau terus seperti ini, masyarakat akan benar-benar meninggalkan media arus utama.”

img
Muhamad Raihan Fattah
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan