close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Mendagri Tito Karnavian saat meninjau harga pangan di Pasar Induk Rau, Kota Serang, Banten, Rabu (20/8/2025).
icon caption
Mendagri Tito Karnavian saat meninjau harga pangan di Pasar Induk Rau, Kota Serang, Banten, Rabu (20/8/2025).
Peristiwa
Senin, 25 Agustus 2025 11:01

Distribusi beras SPHP sukses tekan harga beras premium

Harga beras premium di pasar ritel kini Rp73.500 per lima kilogram.
swipe

Intervensi pemerintah untuk menstabilisasi harga beras melalui penyaluran beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) ke pasar mulai berdampak. Di pasar modern, harga aneka beras premium berangsur-angsur turun. 

Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Solihin menyatakan beras premium mulai kembali hadir di pasar ritel setelah sempat ditarik karena isu beras oplosan. Harganya rata-rata disunat Rp1.000, yakni dari Rp74.500 per kemasan lima kilogram atau sesuai harga eceran tertinggi (HET), menjadi Rp73.500.

"Harapan kami, produksi baru ini benar-benar sesuai kualitas premium sehingga pasokan kembali stabil. Kualitas harus dijaga karena beras premium selama ini menjadi andalan bagi konsumen,” ujar Solihin dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Jumat (22/8).

Menurut Solihin, penjualan beras premium sempat terpengaruh akibat keputusan peritel menurunkan produk-produk lama yang terindikasi oplosan.  “Volume penjualan berkurang karena merek beras yang terindikasi (oplosan) berkontribusi besar terhadap penjualan,” jelasnya. 

Catatan Aprindo serupa dengan data panel harga pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) per 20 Agustus 2025. Bapanas mencatat penurunan harga beras medium dan premium di 13 provinsi, semisal Aceh, Sumatera Utara, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. 

Sejak beberapa pekan lalu, Bulog mulai membanjiri pasar dengan beras SPHP yang diambi dari stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Pada periode Juli-Desember 2025, Bulog menargetkan menyalurkan 1,3 juta ton beras SPHP. 

Dosen administrasi bisnis di Universitas Nusa Cendana (Undana) Ricky Ekaputra Foeh menilai turunnya harga beras premium terpengaruh distribusi beras SPHP yang masif oleh Bulog. Harga beras SPHP yang dipatok Rp12.500 per kilogram atau Rp 62.500 dalam paket kemasan lima kilogram mendorong produsen memangkas harga beras premium. 

"Ini hasil interaksi antara permintaan dan penawaran. Konsumen yang sensitif terhadap harga cenderung beralih ke beras SPHP, terutama karena kualitasnya relatif baik dan tersedia luas di pasar tradisional maupun ritel modern," kata Ricky kepada Alinea.id, Minggu (24/8) lalu.

Ricky menilai masifnya distribusi beras SPHP terbukti memberikan tekanan kompetitif terhada harga beras premium. Fenomena itu, kata dia, mengilustrasikan bagaimana intervensi negara melalui instrumen cadangan pangan mampu berfungsi sebagai stabilisator harga di tengah ketidakpastian pasar.

"Menjinaknya harga beras premium dalam beberapa pekan terakhir bisa dibaca sebagai indikator bahwa intervensi pemerintah melalui distribusi SPHP memberi dampak nyata. Program ini berfungsi sebagai price stabilizer yang mengurangi risiko lonjakan harga di tingkat konsumen," kata Ricky. 

Namun demikian, Ricky mencermati keberhasilan pemerintah menurunkan harga beras premium baru sebatas di level hilir. Di hulu atau pada sektor produksi belum stabil, lantaran harga gabah di tingkat petani masih dipengaruhi oleh faktor-faktor struktural seperti pola panen, biaya transportasi, serta cuaca yang mempengaruhi produktivitas.

"Artinya, keberhasilan SPHP dalam menahan harga konsumen tidak serta-merta menjamin kestabilan harga pada sisi produksi," kata Ricky.  

Menurut Ricky, dalam jangka pendek distribusi beras SPHP bisa menjadi "obat mujarab" untuk stabilitas harga beras. Progam beras SPHP terbukti bisa mencegah terjadinya spekulasi berlebihan aneka beras, menenangkan pasar, serta menjaga daya beli masyarakat menengah ke bawah yang paling rentan terhadap fluktuasi harga pangan. 

"Namun, untuk jangka panjang, terdapat tantangan besar. Pertama, keberlanjutan pasokan SPHP sangat bergantung pada cadangan beras pemerintah. Kedua, jika distribusi ini dilakukan terus-menerus tanpa dibarengi peningkatan produksi domestik, dikhawatirkan muncul ketergantungan yang melemahkan insentif petani," kata Ricky. 

Ricky menyarankan kerja kolosal untuk menjaga stabilitas beras harus dilakukan lintas lembaga dan juga melibatkan pemerintah daerah untuk menstabilkan harga beras dari level produksi hingga pasar. "Tujuannya untuk memastikan distribusi tepat sasaran dan tidak menimbulkan distorsi pasar," jelas dia. 


 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan