Polisi menangkap enam tersangka kasus dugaan asusila, pornografi, dan eksploitasi anak terkait konsen inses di grup Facebook bernama Fantasi Sedarah dan Suka Duka di beberapa lokasi dan waktu yang berbeda.
Para tersangka memiliki peran yang berbeda-beda, mulai dari admin atau pembuat grup, anggota atau kontributor aktif, dan pengunggah konten. Motifnya pun berbeda-beda, untuk mendapatkan keuntungan dan kepuasan pribadi.
Tersangka DK misalnya, motifnya mendapatkan keuntungan pribadi dengan mengunggah dan menjual konten pornografi anak di grup Fantasi Sedarah. Sedangkan MJ, yang merupakan kontributor aktif, membuat video asusila dirinya dengan korban menggunakan ponsel miliknya dan menyimpan konten itu.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Shalihah menyebut, fenomena ini sebagai bentuk ancaman serius bagi keselamatan anak dan remaja di ruang digital. Penyebaran konten pornografi di grup Fantasi Sedarah, kata dia, terlepas dari dalih itu hanya sebatas fantasi, tetap tidak dapat dibenarkan.
“Jika ada komunitas yang memproduksi, menyebarkan, dan mengajak publik terlibat dalam konten seksual menyimpang, maka hal itu sudah menyalahi norma sosial dan melanggar aturan perundang-undangan,” ujar Ai kepada Alinea.id, Jumat (23/5).
Menurut Ai, KPAI telah menerima sejumlah aduan masyarakat terkait grup-grip sejenis di media sosial, terutama yang memuat narasi seksual menyimpang dan eksplisit. KPAI pun bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dan aparat penegak hukum untuk melakukan pelacakan dan penindakan.
“Kami mendorong masyarakat agar tidak menormalisasi perilaku menyimpang ini,” kata Ai.
“Peran keluarga, sekolah, dan komunitas sangat penting untuk mengedukasi anak tentang bahaya konten pornografi dan menyimpang.”
KPAI pun meminta platform media sosial lebih tegas dalam melakukan moderasi dan penghapusan terhadap grup atau akun yang menyebarkan konten bertentangan dengan hukum dan nilai kemanusiaan.
Dampak psikologis
Dihubungi terpisah, psikolog klinis forensik A. Kasandra Putranto menilai, fantasi seksual, termasuk yang bertema sedarah, merupakan bagian dari spektrum fantasi manusia yang kompleks. Meski begitu, dia menegaskan, munculnya fantasi menyimpang tak boleh diabaikan.
“Fantasi sedarah bisa mencerminkan dinamika psikologis atau konflik internal tertentu. (Psikoanalis Sigmund) Freud menyebut bahwa fantasi seksual bisa menjadi cara seseorang mengeksplorasi ketakutan atau keinginan yang terpendam,” kata Kasandra, Kamis (22/5).
Namun, dia mengingatkan, meskipun fantasi hanya terjadi dalam pikiran, tetap memiliki potensi berkembang menjadi tindakan nyata, bila tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, pendekatan profesional seperti psikoterapi sangat penting untuk membantu individu memahami akar dari fantasi tersebut, tanpa harus melanggar etika atau hukum.
“Jika fantasi ini mulai mengganggu kehidupan sehari-hari atau memicu perilaku berisiko, apalagi jika disebarkan atau dijadikan ajakan untuk orang lain bergabung, jelas itu sudah masuk wilayah pelanggaran norma sosial, agama, dan hukum,” ujar Kasandra.
Sementara itu, psikolog anak, remaja, dan keluarga Sani Budiantini Hermawan menjelaskan, paparan konten seksual menyimpang dalam jangka panjang dapat menimbulkan ketergantungan atau adiksi. Hal ini terjadi akibat rangsangan dopamin—hormon yang berkaitan dengan rasa senang—yang terus-menerus dipicu oleh tayangan pornografi maupun fantasi seksual.
“Ketika dikonsumsi terus-menerus, tubuh akan mengalami resistensi dan mendorong individu untuk mencari tayangan yang lebih ekstrem agar tetap merasakan efek yang sama. Di sinilah muncul adiksi,” kata Sani, Kamis (22/5).
Lebih lanjut, Sani mengatakan, ketika adiksi menyebar secara kolektif di tengah masyarakat, dampaknya bisa sangat destruktif. Dia menyebut, kondisi itu dapat menghancurkan kesehatan mental generasi muda dan memperburuk kualitas sumber daya manusia secara nasional.
“Bayangkan jika generasi kita tumbuh dalam kondisi adiksi seperti ini. Tidak akan ada generasi yang produktif, mentalnya rusak, dan tidak mampu berpikir sehat. Inilah bahayanya jika dibiarkan tanpa intervensi,” tutur Sani.
Sani menekankan pentingnya kesadaran individu, peran keluarga dalam memberikan pendampingan, serta regulasi dari pemerintah dalam menertibkan platform yang memfasilitasi penyebaran konten pornografi serupa.
“Perlu ada langkah serius, baik dari sisi edukasi, pengawasan digital, maupun pemberantasan grup yang menyebarkan konten menyimpang,” ucap Sani.