close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Prabowo Subianto mengunjungi SDN Kedung Jaya 1 Bogor, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, untuk meninjau langsung pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG), Senin (10/2/2025). Foto BPMI Setpres.
icon caption
Presiden Prabowo Subianto mengunjungi SDN Kedung Jaya 1 Bogor, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat, untuk meninjau langsung pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG), Senin (10/2/2025). Foto BPMI Setpres.
Peristiwa
Selasa, 22 April 2025 12:02

Kasus SPPG Kalibata dan urgensi evaluasi program MBG

Program MBG yang baru diluncurkan awal Januari lalu menuai banyak polemik.
swipe

Program makan bergizi gratis (MBG) yang baru diluncurkan pemerintahan Prabowo Subianti pada awal Januari lalu memunculkan beragam persoalan. Teranyar, seorang pengelola Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) MBG di Kalibata, Jakarta Selatan, melaporkan tak kunjung dibayar meskipun sudah beroperasi selama beberapa bulan. 

Ira Mesra, nama pemilik dapur itu, mengaku sudah mengeluarkan duit sebesar Rp975.375.000 untuk mengoperasikan SPPG Kalibata yang ia kelola. Namun, tak sepeser pun duit operasional dapur itu diganti oleh Yayasan Makan Bergizi Gratis. Kasus itu sudah dilaporkan ke Polres Metro Jakarta Selatan. 

Selain kasus dugaan fraud itu, program MBG juga dihantui kasus-kasus keracunan di berbagai daerah, penolakan warga di Papua, serta ketidakpastian anggaran. Nilai gizi MBG juga dipertanyakan lantaran biaya produksinya tergolong rendah, yakni Rp15.000 per porsi. 

Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengusulkan agar program MBG dievaluasi secara menyeluruh. Dia khawatir program itu bakal terus melahirkan beragam masalah karena tak direncanakan secara matang. Secara khusus, Achmad menyoroti beban fiskal yang ditanggung negara untuk merealisasikan program MBG. 

"Kita patut bertanya apakah program MBG ini memang dipersiapkan secara matang? Ataukah ia adalah produk politik yang dipaksakan tanpa dukungan fiskal yang realistis? Jawabannya mengarah pada kegagalan perencanaan dan ketidaksiapan APBN mengakomodasi ambisi yang terlalu besar dalam waktu yang terlalu singkat," kata Achmad kepada Alinea.id, Minggu (19/4). 

Mulanya, dana untuk merealisasikan program MBG diketok sebesar Rp71 triliun. Di tengah pemangkasan anggaran yang melanda kementerian dan lembaga, Badan Gizi Nasional (BGN) justru mendapat tambahan anggaran hingga Rp171 triliun. Penambahan dana untuk program MBG, menurut Achmad, tak realistis. 

"Pemerintah tampaknya tidak mengantisipasi bahwa penerimaan negara akan melemah di awal tahun. Sampai akhir kuartal pertama 2025, realisasi pendapatan negara hanya mencapai 10,5% dari target, dengan kontraksi lebih dari 20% dibandingkan periode yang sama tahun lalu," ucap Achmad.

Rentetan masalah yang menyelimuti MBG, kata Achmad, ialah tanda bila program MBG bukan hanya tidak terencana matang, tetapi juga mengandung celah penyimpangan yang besar. Ia mengusulkan agar pemerintahan Prabowo-Gibran tak memaksakan program MBG di tengah situasi perekonomian yang sedang buruk. 

"Namun, alih-alih menahan diri, BGN justru semakin progresif, mengundang banyak mitra swasta dan komunitas lokal untuk ikut serta dengan janji-janji manis bahwa mereka akan dibayar oleh negara. Kasus Kalibata menjadi simbol kegagalan tersebut. Sebuah dapur komunitas yang telah menyiapkan lebih dari 65 ribu porsi makanan, kini justru dililit utang karena pembayaran dari pihak penyelenggara tak kunjung datang," kata Achmad. 

Dalam kondisi keuangan negara yang tertekan, menurut Achmad, BGN tetap bergerak agresif seolah dana tambahan Rp100 triliun sudah tersedia. Situasi itu berbahaya bagi mitra-mitra yang bermodal kecil. Bukan tidak mungkin mereka merugi dan gulung tikar karena pembayaran terkendala sebagaimana yang terjadi pada kasus SPPG Kalibata.

"Dalam konteks ini, pemerintah harus mulai bersikap realistis. Alih-alih terus mendorong ekspansi, BGN dan kementerian terkait seharusnya melakukan moratorium program dan mengevaluasi seluruh aspek tata kelolanya secara menyeluruh. Program MBG tidak boleh menjadi kendaraan politik semata yang membakar anggaran demi pencitraan jangka pendek," kata Achmad. 

Achmad menilai program MBG yang dipaksakan berlanjut tanpa evaluasi matang akan berdampak pada kualitas program dan kepercayaan publik yang menurun. Oleh karena itu, perlu desan ulang MBG yang menyeluruh mulai segi skema pendanaan, sistem logistik, target sasaran yang rasional hingga model kemitraan yang lebih adil. 

"Pemerintah juga perlu menempatkan transparansi sebagai prioritas utama, agar publik bisa memantau dan menilai apakah uang rakyat digunakan secara bertanggung jawab. Kisruh program MBG hari ini adalah buah dari ketergesaan politis dan ketidakmampuan negara memahami keterbatasannya sendiri," kata Achmad.  

Dosen ilmu kesejahteraan sosial Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Handy sepakat beragam persoalan yang muncul terkait program MBG mengindikasikan perencanaan yang tidak matang. Ia menduga program MBG  dipaksakan untuk jalan meskipun APBN sebenarnya tidak sanggup membiayai.

"Karena ini janjii politik Prabowo. Walau tanpa perhitungan matang, pokoknya dibuat saja. Yang penting keren saja dulu. Sementara kalau dibatalkan justru akan berisiko bagi reputasi Prabowo karena janji politik," kata Rissalwan kepada Alinea.id, Minggu (19/4). 

Ketimbang dihentikan sepenuhnya seperti usulan Indonesia Corruption Watch (ICW), Rissalwan mengusulkan agar program MBG dievaluasi. Apalagi, saat ini muncul narasi bahwa program MBG hanya dinikmati oleh orang-orang dekat Presiden Prabowo yang bermodal besar. 

Ia mengusulkan evaluasi pada sisi logistik. Dapur yang mengelola MBG, kata Rissalwan, sebaiknya diserahkan kepada simpul komunitas sekolah seperti kantin sekolah, PKK dan ibu-ibu pengurus RT di sekolah yang dilatih persis seperti dapur umum.

"Saya menyebut komunitas ini dengan community kitchen, dapur-dapur kecil. Persis seperti dapur umum kalau bencana. Jadi, kalau selama ini satu dapur melayani beberapa sekolah, itu seharusnya beberapa sekolah dilayani beberapa dapur. Tidak perlu jaraknya jauh-jauh. Tetapi, yang disekitar sekolah saja. Mereka dilatih dan dimonitor," kata Rissalwan. 

Rissalwan juga tidak sepakat bila BGN dijadikan instansi yang mengampu program MBG. Menurut dia, Kementerian Sosial jauh lebih berpengalaman dalam membentuk dan mengelola dapur umum. "Jadi, Kemensos saja atau BNPB yang sudah pengalaman soal logistik," imbuh dia. 

Lebih jauh, Rissalwan meminta agar pemerintah benar-benar menyiapkan anggaran yang pasti untuk menjalankan program MBG. Jangan sampai mitra-mitra kecil yang dikorbankan karena keterbatasan anggaran. 

"Sekarang faktanya, saya punya beberapa kolega, anggaran itu satu kali makan Rp15.000. Tetapi, (anggaran) yang diterima dapur itu cuma Rp7.000. Apa mungkin makanan bergizi harga Rp7.000? Itu saja bermasalah," kata Rissalwan.


 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan