close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi tsunami./Foto AI ChatGPT
icon caption
Ilustrasi tsunami./Foto AI ChatGPT
Peristiwa
Kamis, 31 Juli 2025 15:02

Mengapa gempa besar di Kamchatka tak timbulkan tsunami hebat?

Bayang-bayang tsunami di Samudera Hindia tahun 2004 dan Jepang tahun 2011 menghantui beberapa orang.
swipe

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) resmi mencabut peringatan dini tsunami pada Rabu (30/7) malam untuk beberapa wilayah di Indonesia, seperti Kepulauan Talaud, Gorontalo, Halmahera Utara, Manokwari, Raja Ampat, Biak Numfor, Supiori, Sorong Utara, Jayapura, dan Sarmi.

Sebelumnya, peringatan tsunami dikeluarkan setelah gempa bumi besar bermagnitudo 8,7 mengguncang wilayah Kamchatka di Rusia, Rabu (30/7) pagi. Selain di Indonesia, beberapa negara juga mengeluarkan peringatan tsunami.

Jutaan orang dievakuasi dari wilayah pesisir Jepang dan banyak warga Hawaii, Amerika Serikat, diminta mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Penduduk di wilayah Amerika Tengah dan Selatan pun disarankan menjauh dari garis pantai.

Lokasi pusat gempa, menurut Scientific American, memiliki potensi untuk menghasilkan tsunami yang luas dan sangat merusak. Hal ini pernah terjadi pada 1952, ketika gempa bermagnitudo 9,0 dengan mudah menyapu bersih sebuah kota di Rusia dan menyebabkan kerusakan parah hingga ke Hawaii.

Saat dasar laut di dekat Kamchatka mengalami patahan hebat pada Rabu pagi waktu setempat, semua tanda menunjukkan kemungkinan besar terjadinya tsunami berbahaya. Namun, kenyataannya, banyak negara yang berada dalam jalur tsunami tak terkena gelombang dahsyat. Gelombang sekitar 1,2 meter hanya menghantam Jepang dan Hawaii.

Kerusakan memang terjadi di Kamchatka dan sekitarnya. Gempa itu mengguncang keras Kota Petropavlovsk-Kamchatsky di Rusia timur dan menyebabkan kerusakan bangunan. Gelombang tsunami mencapai lima meter di Severo-Kurilsk di Kepulauan Kuril utara.

Meski terpencil, menurut BBC, semenanjung Kamchatka terletak di salah satu zona paling aktif secara geologis di dunia: Cincin Api Pasifik. Lokasi ini adalah tempat bertemunya banyak lempeng tektonik yang terus bergerak dan saling bergesekan. Sekitar 80% gempa bumi di dunia terjadi di sepanjang jalur ini.

Di lepas pantai Kamchatka, lempeng Pasifik bergerak ke arah barat laut sekitar 8 sentimeter per tahun. Lempeng ini bersentuhan dengan lempeng mikro Okhotsk, yang lebih ringan. Saat lempeng Pasifik menyusup ke bawah lempeng Okhotsk, tekanan mulai menumpuk.

Proses ini biasanya berlangsung selama ribuan tahun, hingga akhirnya terjadi pelepasan tiba-tiba dalam hitungan menit. Inilah yang disebut gempa megathrust—jenis gempa paling kuat yang bisa terjadi.

Sebagian besar orang pasti membandingkan gempa magnitudo 9,1 yang terjadi di lepas pantai timur Jepang pada 2011, yang memicu tsunami setinggi 40 meter dan menewaskan lebih dari 15.000 orang. Atau gempa dan tsunami di Samudera Hindia pada 2004, dengan magnitudo 9,1 yang menewaskan lebih dari 280.000 orang. Namun, mengapa gema di Kamchatka tak menimbulkan efek tsunami yang dahsyat?

Menurut profesor madya teknik geologi di Universitas Kingston, Alan Dykes dalam the Conversation, tsunami terjadi ketika volume besar air laut tiba-tiba terdorong akibat perubahan permukaan dasar laut. Mislanya, jika dasar laut naik satu meter di area seluas 200 kali 100 kilometer, maka volume air yang terdorong cukup untuk mengisi Stadion Wembley hinga atap—sebanyak 17,5 juta kali. Perubahan ini menciptakan gelombang yang merambat ke segala arah dari pusat gangguan.

“Di lautan terbuka, gelombang tsunami dapat melaju hingga 740 kilometer per jam—secepat pesawat jet,” tulis Dykes di the Conversation.

“Namun, karena gelombangnya sangat panjang dan rendah, kapal-kapal di tengah laut sering kali tidak merasakannya.”

Dykes mengatakan, saat mendekati daratan, gelombang melambat, tapi ketinggiannya meningkat drastis. Inilah yang menyebabkan air dapat melampaui garis pantai normal dan menimbulkan bencana.

Dykes menyebut, beberapa faktor geologi berperan dalam membatasi kekuatan tsunami setelah gempa besar kali ini. Pusat gempa berada di kedalaman sekitar 20,7 kilometer—lebih dalam dibandingkan gempa besar di Sumatera pada 2004 dan Jepang pada 2011.

Kedalaman ini membuat pergeseran vertikal dasar laut sedikit lebih kecil dan prosesnya lebih lambat. Akibatnya, volume air yang terdorong pun tidak sebesar peristiwa-peristiwa sebelumnya.

“Selain itu, bentuk dasar laut (batimetri), kontur pantai, dan arah gelombang juga memengaruhi seberapa besar tsunami yang sampai ke darat,” tulis Dykes.

“Energi gelombang pun sebagian besar hilang saat melintasi lautan luas, sehingga gelombang yang sampai ke wilayah yang jauh dari pusat gempa, seperti Jepang atau Amerika, menjadi jauh lebih lemah.”

Sementara itu, menurut ilmuwan gempa Amilcar Carrera-Cevallos kepada Scientific American, salah satu alasan tak terjadi tsunami raksasa karena ketika gempa pemicu terjadi, energi tsunami tak menyebar secara simetris. Tsunami tidak menyebar ke segala arah dengan kekuatan yang sama karena patahan tidak retak secara rapi dan lurus.

“Gerakan dasar laut juga tidak terjadi dengan halus dan ke satu arah saja,” ujar Carrera-Cevallos.

Tsunami pun bisa diperlambat atau diperkuat oleh bentuk dan karakter garis pantai yang mereka hantam. “Fitur seperti teluk dapat memperbesar tinggi gelombang. Gelombang tsunami juga bisa dibelokkan (difraksi) oleh pulau-pulau,” kata ilmuwan gempa di Universitas College London, Stephen Hicks kepada Scientific American.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan