PT Gudang Garam Tbk tengah terpuruk. Laba perusahaan produsen salah satu rokok paling ikonik Indonesia itu anjlok hingga 80%. Pada 2024, laba perusahaan yang berbasis di Kediri, Jawa Timur itu tercatat hanya kisaran Ro900 miliar. Tahun sebelumnya, Gudang Garam membukukan labah hingga lebih dari Rp5 triliun.
Laba berkurang seiring dengan penurunan volume penjualan dan melemahnya daya beli masyarakat. Pada 2023, Gudang Garam tercatat menjual lebih dari 61 miliar batang rokok. Tahun lalu, perusahaan hanya menjual 53 miliar batang. Di sisi lain, pemerintah terus mendongkrak cukai rokok.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah merinci sejumlah faktor yang membuat laba Gudang Garam anjlok. Pertama, kebijakan pemerintah yang tak berpihak pada indsutri rokok.
“Penegakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sangat berpengaruh, ditambah lagi perubahan perilaku masyarakat yang kini lebih sadar hidup sehat sejak pandemi Covid-19,” ujar Trubus saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Menurutnya, tren penurunan konsumsi rokok tidak diimbangi dengan langkah nyata dari pemerintah untuk melindungi industri rokok secara menyeluruh. Padahal, disrupsi pada industri berpengaruh di kalangan para petani tembakau di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
“Pemerintah tampaknya tidak memberikan perlindungan yang komprehensif kepada petani tembakau. Bahkan, terkesan ingin meninggalkan industri tembakau. Padahal Indonesia tidak ikut menandatangani traktat pelarangan tembakau,” lanjut Trubus.
Kedua, maraknya peredaran rokok ilegal atau yang tak berpita cukai. Menurut Trubus, upaya pemerintah dalam memberantas rokok ilegal masih lemah. “Negara dirugikan karena tidak ada pemasukan cukai. Pemerintah hanya rajin menaikkan tarif, tapi tidak punya strategi efektif untuk memberantas rokok ilegal,” tegasnya.
Trubus mencontohkan kondisi industri rokok kecil di Madura. Banyak pengusaha rokok kecil kesulitan mendapatkan izin operasional dari pemerintah daerah. Akibatnya, mereka memilih jalur ilegal demi bertahan hidup.
Untuk menyelamatkan sektor ini tanpa mengorbankan petani dan pekerja, Trubus mengusulkan dua pendekatan. Pertama, riset mendalam tentang potensi tembakau di luar penggunaan untuk rokok. “Tidak mungkin Tuhan menciptakan tembakau hanya untuk rokok. Harus dicari potensi lain agar petani bisa tetap hidup,” ujarnya.
Kedua, perusahaan rokok bisa mulai mengembangkan produk dengan risiko lebih rendah, seperti rokok rendah nikotin sebagaimana yang diuji coba Sampoerna. “Dibutuhkan strategi inovatif dari industri dan dukungan kebijakan yang lebih adil dari pemerintah,” imbuhnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan meminta pemerintah menyusun peta jalan kebijakan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran (HJE) rokok untuk periode 2026-2029. Henry juga meminta agar cukai rokok tak naik dulu pada periode itu.
"Selama periode 2026 sampai 2029, kami mengusulkan agar tarif CHT dan HJE tidak dinaikkan. Setelah itu, pada 2029, kenaikan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi pertumbuhan ekonomi atau inflasi," ujar Henry dalam keterangan tertulis kepada wartawan di Jakarta, Mei lalu.
Menurut Henry, industri rokok butuh waktu untuk pulih dari disrupsi yang muncul akibat maraknya rokok ilegal. "Kami berharap hasil penyusunan roadmap ini menjadi solusi bagi penerimaan negara, keberlanjutan lapangan pekerjaan, dan keamanan investasi di sektor hasil tembakau," imbuh Henry.