Presiden Prabowo Subianto menggembar-gemborkan capaian pemerintahannya di bidang pendidikan dalam sidang tahunan MPR di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Jumat (15/8) lalu. Ia mengklaim saat ini "rakyat kecil tidak takut lagi anaknya tidak bisa sekolah."
Menurut Prabowo, pemerintah sudah membuka 100 Sekolah Rakyat (SR). Ia menargetkan akan ada 100 Sekolah Rakyat lainnya pada 2026. Dengan mengenyam pendidikan di sekolah itu, anak-anak dari keluarga miskin diharapkan bisa membawa keluarga mereka keluar dari jerat kemiskinan.
"Sekolah Rakyat ini untuk mereka dari desil terendah, desil 1 dan 2, dari mereka yang benar-benar penghasilannya sangat-sangat rendah. Mereka kami (bikin) asrama, mereka kami berdayakan dengan kualitas pendidikan baik,” kata Prabowo.
Koordinator Nasional Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, menilai pernyataan Prabowo berlebihan. Menurut dia, program Sekolah Rakyat yang diluncurkan Prabowo belum mampu membendung pertambahan jumlah anak tidak sekolah.
"Mahalnya beban biaya sekolah yang banyak dikeluhkan rakyat, mestinya sudah jelas jalan keluarnya, melalui pelaksanaan perintah Mahkamah Konstitusi (MK)," kata Ubaid dalam keterangan pers yang diterima Alinea.id, Jumat (15/8).
Data Pusdatin Kemendikdasmen per Agustus 2025, menunjukkan bahwa jumlah anak tidak sekolah (ATS) kian meningkat. Jumlahnya mencapai 3,9 juta anak. Pada Desember 2024, jumlahnya 3,5 juta anak. Artinya, ada peningkatan jumlah ATS hingga 400.000 anak.
Putusan MK mewajibkan agar sekolah tidak memungut biaya pendidikan bagi semua anak, baik itu di sekolah negeri atau di swasta. "Kenapa ini tidak disinggung sama sekali oleh Presiden di pidatonya? Ini adalah perintah konstitusi, mengapa Presiden mengabaikannya?" kata Ubaid.
Menurut Ubaid, mayoritas ATS terjadi karena faktor ekonomi alias kemiskinan yang berjumlah 2,9 juta anak. Adapun 100 Sekolah Rakyat yang dibangun pemerintah hanya mampu menampung sekitar 0,33% dari total kebutuhan anak yang putus sekolah akibat masalah ekonomi.
"Jadi, klaim keberhasilan Sekolah Rakyat terlalu berlebihan dan masih sangat jauh dari target yang semestinya, yakni terbangunnya layanan pendidikan yang setara, berkualitas, dan berkeadilan untuk semua," kata Ubaid.
Selain itu, Ubaid menilai optimalisasi anggaran 20% dari APBN untuk pendidikan juga tidak terbukti. Anggaran pendidikan masih tetap bocor untuk pembiayaan sekolah-sekolah kedinasan dan juga program makan bergizi gratis (MBG).
"Dua item ini jelas menyalahi pembiayaan yang seharusnya diutamakan sebagaimana tercantum dalam UU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional), tapi nyatanya Presiden tutup mata," kata Ubaid.
Pengamat pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jejen Musfah sepakat pemerintah masih punya banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan dalam isu pemerataan kualitas pendidikan. Menurut dia, Sekolah Rakyat belum benar-benar efektif.
"Sekolah Rakyat hanya menjangkau sebagian kecil anak-anak miskin. Jika ingin serius, maka harus memastikan pendidikan dasar dan menengah gratis di negeri maupun sekolah swasta," kata Jejen kepada Alinea.id, Jumat (15/8).
Jejen menilai Presiden juga harus turun ke lapangan melihat situasi pendidikan di masyarakat secara lebih dekat. Jejen curiga Presiden Prabowo diberi data yang salah oleh para pembantunya.
"Presiden harus diberikan data yang objektif dan lengkap sehingga jangan asal bapak senang. Lebih baik jujur daripada manipulatif. Pemerataan pendidikan masih jauh dari berhasil," kata Jejen.