close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Foto: SS/X
icon caption
Foto: SS/X
Peristiwa
Rabu, 04 Juni 2025 11:42

Konflik Sudan, kusut dan tragedi kemanusiaan yang mengerikan

PBB mengatakan bahwa perang saudara Sudan ini telah mencapai tonggak sejarah yang menghancurkan.
swipe

Sejak merdeka pada 1956, Sudan telah mengalami serangkaian konflik internal yang berkepanjangan. Perang saudara antara utara dan selatan selama beberapa dekade berakhir dengan kemerdekaan Sudan Selatan pada 2011. Namun, stabilitas tidak tercapai. Pada April 2023, konflik baru meletus antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) yang dipimpin Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang dipimpin Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti). Pertikaian ini berakar dari perebutan kekuasaan pasca kudeta militer 2021 yang menggulingkan pemerintahan transisi sipil.

Aliansi RSF mendirikan "Pemerintah Perdamaian dan Persatuan" sebagai pemerintahan paralel di wilayah yang mereka kuasai. Sementara itu, SAF membentuk "Perlawanan Populer" dengan melatih warga sipil untuk melawan RSF.

Komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Otoritas Antar-Pemerintah untuk Pembangunan (IGAD), telah berupaya memediasi konflik ini. Namun, upaya tersebut menghadapi tantangan besar karena kedua belah pihak terus melanjutkan operasi militer dan saling menyalahkan atas pelanggaran hak asasi manusia.

Pada Januari 2025, pemerintah AS menyatakan bahwa RSF telah melakukan genosida di Sudan dan memberlakukan sanksi terhadap pemimpinnya, Hemedti. Tak lama kemudian, sanksi serupa dijatuhkan kepada Jenderal al-Burhan atas tindakan SAF dalam perang saudara ini.

Meskipun demikian, pada awal 2025, Presiden Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang membekukan program bantuan luar negeri selama 90 hari, termasuk bantuan kemanusiaan untuk Sudan. Langkah ini berdampak signifikan pada respons kemanusiaan di Sudan, mengingat AS sebelumnya merupakan penyumbang terbesar dalam rencana bantuan kemanusiaan Sudan pada 2024.

Konflik yang berlangsung ini telah menyebabkan krisis kemanusiaan terbesar di dunia saat ini. Lebih dari 13 juta orang telah mengungsi, dengan lebih dari 4 juta di antaranya melarikan diri ke negara-negara tetangga seperti Chad, Mesir, dan Ethiopia. Kondisi pengungsian sangat memprihatinkan, dengan kekurangan makanan, air bersih, dan layanan kesehatan.

Kekerasan terhadap warga sipil, termasuk serangan terhadap konvoi bantuan PBB dan rumah sakit, telah dilaporkan secara luas. Di Darfur, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan meningkat tajam, dengan ratusan kasus dilaporkan dalam beberapa bulan terakhir.

Pada Maret 2025, IGAD dan utusan internasional mengadakan pertemuan di Addis Ababa untuk mengoordinasikan upaya mediasi guna mengakhiri konflik di Sudan. Namun, prospek gencatan senjata tetap suram karena kedua belah pihak terus melanjutkan aksi militer. Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Sudan menekankan perlunya solusi politik yang menghormati kedaulatan nasional dan integritas wilayah Sudan.

Sementara itu, pemerintah transisi yang dipimpin Perdana Menteri Kamil Idris dibentuk oleh SAF, sementara RSF dan sekutunya mendirikan pemerintahan paralel. Situasi ini mencerminkan polarisasi politik yang mendalam dan tantangan besar dalam mencapai perdamaian yang berkelanjutan di Sudan.

Krisis kemanusiaan semakin buruk di Sudan 

PBB mengatakan bahwa perang saudara Sudan ini telah mencapai tonggak sejarah yang menghancurkan. Dilaporkan bahwa lebih dari empat juta orang mengungsi dari negara itu sejak dimulainya perang saudara.

Lebih dari 800.000 orang telah menyeberang ke negara tetangga Chad sejak pecahnya pertempuran pada April 2023, bergabung dengan sekitar 400.000 pengungsi Sudan yang telah melarikan diri dari gelombang konflik sebelumnya di Darfur.

Gelombang pengungsi terbaru ke Chad dimulai pada April 2025 setelah serangan kekerasan oleh kelompok bersenjata di Darfur Utara. Hanya dalam waktu satu bulan, lebih dari 68.000 pengungsi telah tiba di provinsi Wadi Fira dan Ennedi Est di Chad, dengan rata-rata 1.400 orang melintasi perbatasan setiap hari, menurut Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR).

UNHCR, sekarang meminta lebih dari 550 juta dolar, atau 483 juta euro, untuk membantu populasi pengungsi, dengan peringatan bahwa hanya 14 persen dari kebutuhan saat ini yang terpenuhi.

Saat ini, para pengungsi hanya menerima 5 liter air per hari, jauh di bawah standar internasional yaitu 15 hingga 20 liter untuk kebutuhan dasar. Ratusan ribu orang masih terdampar di perbatasan.

Sejak Sudan terjerumus ke dalam perang saudara pada tanggal 15 April 2023, yang ditandai dengan meledaknya konflik antara militer dan RSF menjadi perang terbuka di ibu kota Khartoum dan wilayah lain di negara tersebut, setidaknya 24.000 orang dilaporkan tewas. Sebagian justru menyebut, jumlahnya kemungkinan jauh lebih tinggi. Sementara, Lebih dari 14 juta orang telah mengungsi dan dipaksa meninggalkan rumah mereka.

Perang tersebut telah ditandai oleh kekejaman, termasuk pemerkosaan massal dan pembunuhan bermotif etnis yang merupakan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama di wilayah barat Darfur, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kelompok hak asasi internasional.

Kelaparan diumumkan terjadi di setidaknya lima lokasi dengan episentrum di wilayah Darfur.(africanews,reuters)

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan