Perang yang berkecamuk di Sudan sejak April 2023 telah menjerumuskan negara itu ke dalam salah satu krisis kelaparan terbesar di dunia. Dengan harga bahan pokok melonjak, lahan pertanian menyusut, dan akses bantuan yang terbatas, jutaan warga Sudan kini mengandalkan tanaman dan rumput liar untuk bertahan hidup.
Salah satu dari mereka adalah A.H., seorang pensiunan guru berusia 60 tahun. Dalam puisi yang ditulisnya, ia menyebut tanaman liar Khadija Koro sebagai penyelamat di tengah kelaparan. “Anda adalah dunia yang mengirimkan cinta ke masa tandus... Anda adalah nektarnya,” tulisnya.
A.H. termasuk di antara 24,6 juta warga Sudan yang mengalami kerawanan pangan akut. Ia tidak bisa pulang ke keluarganya di Obeid, Kordofan Utara, karena jalan-jalan diblokir Pasukan Dukungan Cepat (RSF). Pendapatan dari pekerjaan sementara hanya cukup untuk mengirim US$35 per minggu kepada keluarganya.
Kondisi serupa terjadi di wilayah-wilayah seperti Darfur, Kordofan, dan Pegunungan Nuba. Di kamp pengungsi El Fasher dan Zamzam, sebagian warga hanya makan bubur millet sekali sehari. Di Darfur Utara, ada yang sampai menghisap batu bara untuk meredakan lapar. Seorang warga lain, Hassan, menyebut wilayahnya telah berubah menjadi "penjara besar" karena kelangkaan makanan dan air.
PBB memperingatkan bahwa wilayah seperti Gezeira, Khartoum, dan sebagian besar Darfur berisiko kelaparan. Sekjen PBB Antonio Guterres telah meminta gencatan senjata selama seminggu di El Fasher agar bantuan bisa disalurkan. Tentara Sudan menyatakan setuju, namun belum ada tanggapan dari pihak RSF.
Sementara itu, harga bahan pokok melonjak tajam. Di kamp Zamzam, satu batang sabun mencapai 10.000 pound Sudan (US$17) dan satu pon gula 20.000 pound (US$33). Kekerasan terbaru di kamp ini telah menewaskan dan memaksa banyak orang mengungsi lagi. Beberapa warga, termasuk lansia dan anak-anak, dilaporkan meninggal akibat kelaparan.
Di kamp El Serif, Darfur Selatan, bantuan makanan tidak mencukupi. “Bantuan hanya cukup untuk dua bulan dan sering kali tak mencakup seluruh keluarga,” kata Hawaa Hussein, seorang nenek pengungsi. Kamp itu kini menampung hampir 49.000 orang, termasuk ribuan pengungsi baru dari Khartoum.
Meski krisis memburuk, A.H. tetap menaruh harapan pada tanah dan tumbuhan yang tumbuh liar. Dalam puisinya, ia menulis: “Kamu, Koro, adalah simbol kehidupan dan gelar kesetiaan.” (arabnews)