Rencana Presiden Prabowo Subianto menghapus sistem pekerja alih daya alias outsourcing dinilai tak realistis. Peneliti dari Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Triyono mengatakan wacana itu sulit direalisasikan lantaran potensial diganjal perusahaan penyalur tenaga kerja outsourcing.
"Perlu juga bicara dengan perusahaan penyalur outsourcing dan perusahaan pengguna outsourcing. Belum tentu mau mereka karena ini bicara efisiensi. Bisa jadi mereka justru tidak mau menerima (penghapusan) outsourcing karena ada kewajiban menjadikan pegawai tetap dan uang pensiun," kata Triyono kepada Alinea.id, Sabtu (3/5).
Prabowo mengungkapkan wacana penghapusan pekerja outsourcing saat berpidato pada peringatan Hari Buruh di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Kamis (1/5). Menurut Prabowo, sistem kerja outsourcing bakal dikaji oleh Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional.
Pada dasarnya, Triyono setuju bila outsourcing dihapuskan. Pasalnya, sistem kerja semacam itu cenderung ekploitatif karena mengabaikan hak-hak pekerja. Namun, ia tak yakin perusahaan pengguna dan penyalur tenaga outsourcing mau berkompromi.
"Sebenarnya, ini (penghapusan outsourcing) bisa dilakukan. Tinggal kemauan saja. Tetapi, untuk melaksanakannya juga perlu melihat kondisi ekonomi saat ini yang sedang banyak badai PHK (pemutusan hubungan kerja)," jelas Triyono.
Outsourcing dalam UU Cipta Kerja dikenal dengan istilah alih daya. Pekerjaan outsourcing tidak memiliki jenjang karier yang jelas. Beberapa contoh tenaga kerja outsourcing, semisal petugas pembersih, petugas keamanan, dan pelayan kantor.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) Mirah Sumirat mengaku susah bosan dengan wacana penghapusan sistem kerja outsourcing yang lagi-lagi digaungkan pemerintah. Menurut dia, wacana itu hanya pepesan kosong selagi praktik-praktik outsourcing masih lazim dilakukan perusahaan negara.
Mirah mencontohkan salah satu laporan yang ia terima terkait "kongkalingkong" rekrutmen pekerja outsourcing di salah satu cucu perusahaan PT Pertamina. Menurut dia, ada pegawai perusahaan yang sengaja membuat yayasan untuk merekrut pekerja outsourcing.
"Tapi, (pegawai outsourcing) itu untuk melakukan pekerjaan inti. Cucu perusahaan Pertamina ini, ketika perusahannya melakukan kerja sama dengan perusahaan induk, pekerja itu mendapat sekitar Rp5 juta. Tapi, yang sampai ke pekerja hanya Rp3 jutaan. Itu yang terjadi praktik outsourcing itu sampai sekarang," kata Mirah kepada Alinea.id, Sabtu (4/5).
Mirah mengatakan praktik semacam itu juga lazim terjadi di kawasan industri di Cikarang, Jawa Barat. Dari laporan yang diterima serikat buruh, banyak pekerja outsourcing yang direkrut pabrik dan perusahaan untuk mengerjakan pekerjaan inti, tetapi digaji seadanya.
"Jadi, jangan tutup mata. Dibenahi dulu hal ini (praktik-praktik outsourcing di berbaagai perusahaan) sebelum gembar-gembor ingin menghapus outsourcing," kata Mirah.
Guru besar hukum kepailitan Universitas Airlangga (Unair) Hadi Subhan sepakat wacana penghapusan outsorcing tak realistis. Menurut dia, persoalan sistem kerja outsorcing terutama terletak pada implementasi dan pengawasan.
"Outsourcing sudah lazim di berbagai rezim perburuhan di banyak dunia. Demikian pula MK (Mahkamah Konstitusi) sudah menyatakan outsourcing itu konstitusional. Hanya yang selama ini terjadi adalah outsourcing untuk semua pekerjaan. Seharusnya hanya untuk pekerjaan penunjang saja," kata Hadi kepada Alinea.id, Sabtu (4/5).
Hadi menyinggung rencana pemerintahan Prabowo membentuk Satgas PHK yang seolah ditugaskan untuk mencegah gelombang PHK terhadap tenaga kerja. Menurut dia, Satgas PHK bakal kesulitan mencegah kebijakan PHK yang dikeluarkan perusahaan.
"Kasus PT Sritex, yang mana Wamenaker turun saja, itu tidak mempunyai efek. Nanti Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional dan Satgas juga akan terbentur pada anggaran," kata Hadi.