

Risiko gaji tunggal ASN: Rajin atau malas, pendapatan sama

Digagas sejak beberapa tahun lalu, pemerintah berencana memberlakukan skema penggajian tunggal atau single salary untuk aparatur sipil negara (ASN) pada 2025. Skema ini sudah diuji coba di sejumlah kementerian dan lembaga, semisal Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam skema ini, rencananya gaji pokok dan seluruh tunjangan ASN digabung menjadi satu paket hingga mencapai Rp11 juta per bulan. Namun, hingga kini belum ada kejelasan kapan skema gaji tunggal itu berlaku secara nasional.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti mengatakan skema gaji tunggal punya sisi positif dan negatif. Pada sisi positif, sistem single salary bisa membawa keteraturan dan menyederhanakan struktur penggajian ASN, sebagaimana diterapkan di sejumlah negara maju.
Namun, ia mengingatkan ASN di Indonesia terbiasa menerima pendapatan tambahan dari berbagai tunjangan berbasis kinerja atau aktivitas-aktivitas seperti perjalanan dinas. Ada potensi skema gaji tunggal bikin ASN malah malas-malasan.
“Kalau semuanya digabung jadi satu, bisa jadi ASN yang rajin dan aktif justru kehilangan semangat karena pendapatannya tidak lagi mencerminkan usaha. Ini yang disebut dengan ‘PGPS’, pintar goblok, pendapatan sama. Artinya, baik rajin maupun malas, pendapatannya tetap sama,” ujar Esther kepada Alinea.id di Jakarta, Kamis (4/7).
Esther juga menyoroti potensi peningkatan beban fiskal negara karena skema itu. Ia mengatakan, ketika gaji ditetapkan dalam jumlah besar dan bersifat tetap, maka belanja pegawai sebagai komponen pengeluaran rutin pemerintah akan meningkat.
"Artinya, apakah ASN itu bekerja atau tidak, pemerintah tetap mengeluarkan jumlah yang sama. Ke depan, pasti juga akan ada tuntutan kenaikan gaji seiring inflasi. Ini bisa memperberat tekanan fiskal," kata dia.
Jika skema gaji tunggal diterapkan, Esther menyarankan pemerintah menyiapkan key performance indicator (KPI) yang jelas untuk mengukur performa ASN. Jika KPI tak tercapai, pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas, semisal downgrade golongan atau pengurangan hak.
"Ini yang berlaku di banyak negara maju... Gaji tinggi memang bisa membuat ASN lebih tenang dan tidak lagi ‘serudak-seruduk’, tapi juga bisa menimbulkan pemborosan anggaran. Maka, solusinya kembali ke pengukuran kinerja. Kalau ASN menerima gaji besar, maka capaian kinerjanya juga harus jelas. Kalau tidak tercapai, ya, harus turun tingkat," jelas Esther.
Senada, pakar kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Yogi Suprayogi Sugandi menekankan perlunya kehati-hatian dalam memahami perbedaan antara konsep simple salary dan single salary. Menurutnya, skema yang berjalan saat ini lebih tepat disebut sebagai simple salary bukan skema gaji tunggal.
Dalam skema itu, seluruh komponen gaji dan tunjangan dibayarkan dalam satu rekening. Namun, pembayarannya tetap dipisahkan waktunya. Adapun pada skema single salary, pembayaran gaji dan tunjangan dilakukan pada waktu yang sama.
“Kalau benar-benar digabung semua dalam satu pembayaran seperti single salary, maka bisa berbenturan dengan Undang-Undang (Nomor 20 tahun 2023 tentang) ASN yang telah mengatur struktur gaji dan tunjangan secara rinci,” ujar Yogi kepada Alinea.id.
Yogi juga memperingatkan risiko fiskal dari skema ini, terutama jika dikaitkan dengan pembiayaan pensiun ASN. Saat ini, sistem pensiun masih menggunakan skema pay-as-you-go, yakni negara membayar pensiunan tiap bulan.
"Jika ASN menerima gaji sebesar Rp11 juta seperti yang disampaikan, dan skema pensiunnya fully funded oleh negara, maka tentu akan ada beban tambahan. Saat ini potongan pensiun hanya diambil dari gaji pokok, belum termasuk tunjangan-tunjangan lainnya," ujar Yogi.
Tanpa sistem penilaian kinerja yang adil, menurut Yogi, skema ini justru akan menurunkan motivasi kerja para ASN yang selama ini mengandalkan insentif berbasis aktivitas atau pencapaian. Ia menyebut perlu adanya penghargaan terhadap masa kerja, tingkat pendidikan, dan kontribusi nyata dari masing-masing ASN.
“Kalau saya dan teman saya sama-sama golongan IV/C, tapi saya produktif dan dia tidak, lalu gaji kami sama, tentu ini tidak adil. Apalagi kalau saya lulusan S3 dan punya banyak output akademik, harusnya itu jadi pertimbangan juga,” tegas Yogi.
Lebih jauh, Yogi menilai bahwa efisiensi birokrasi tidak seharusnya hanya menyasar pemotongan biaya operasional. Ia mencontohkan, banyak ASN yang kini kesulitan bekerja karena tidak ada dukungan anggaran operasional, seperti perjalanan dinas, biaya riset, hingga fasilitas kerja.
“Saya sendiri sebagai dosen sudah tidak lagi mendapat dana riset karena biaya operasional dipangkas. Kalau begitu, produktivitas kami turun meskipun gaji tetap. Gaji tinggi tidak berarti tanpa dukungan kerja yang memadai,” kata dia.


Berita Terkait
DPR minta Komdigi perhatikan nasib pegawai KPI yang terancam tak digaji
Kebijakan satu harga elpiji 3 kg: Enggak akan bikin gaduh?
Protes warga atas Raperda KTR Jakarta: "Ditutup aja sekalian pabrik rokoknya..."
Bagaimana aturan "jual-beli" pulau di Indonesia?

