Kritik lucu ala TikTok: Saat warga Afrika menertawakan negaranya sendiri
Jika Anda membuka internet atau menyimak siaran berita internasional, kemungkinan besar kabar tentang Afrika yang muncul masih berkutat soal perang, kudeta, pengungsi, atau wabah penyakit. Gambaran negatif ini terus-menerus berulang, seolah-olah benua Afrika tak memiliki sisi cerah. Banyak pihak menuding media Barat sebagai penyebab utama narasi pesimistis semacam itu.
Namun, upaya untuk mengubah persepsi itu terus dilakukan dari dalam. Sejak awal tahun 2000-an, sekelompok aktivis dan organisasi di Afrika meluncurkan kampanye bertajuk Africa Rising. Gerakan ini bertujuan membangun kembali citra positif Afrika sebagai kekuatan yang berkontribusi dalam pembangunan global.
Mereka mendorong warga lokal maupun diaspora untuk aktif menciptakan konten yang memperkuat narasi positif tentang benua tersebut. Media sosial menjadi alat penting dalam menyebarkan pesan kampanye ini—meski sejauh mana keberhasilannya masih jadi perdebatan.
Menariknya, platform seperti TikTok kini justru memainkan peran yang jauh lebih besar dalam membentuk persepsi tentang Afrika, bukan hanya di mata dunia, tetapi juga di kalangan warganya sendiri. Sebuah studi komunikasi yang berfokus pada Ghana dan Zimbabwe menelusuri bagaimana masyarakat di kedua negara ini menggunakan TikTok untuk membicarakan kehidupan mereka. Hasilnya mengungkap sesuatu yang unik: warga menggunakan humor untuk mengkritik kondisi negara mereka sendiri.
Para peneliti menyebut fenomena ini sebagai “jurnalisme yang menyenangkan”—gaya penyampaian informasi kritis yang dibungkus dalam kemasan lucu dan menghibur. TikTok memungkinkan pengguna memproduksi video pendek dengan segala kreativitas yang mereka miliki. Di Ghana, sekitar 81% warga berusia di atas 16 tahun rutin mengakses TikTok setiap bulannya. Di Zimbabwe, pengguna dewasa TikTok mencapai lebih dari dua juta orang. Tak heran, jika platform ini menjadi panggung utama untuk berbagai ekspresi, termasuk kritik sosial-politik.
Video-video yang beredar tak jarang menyentuh isu serius seperti pendidikan, keamanan, korupsi, hingga masalah sanitasi. Namun penyajiannya sering kali jenaka, bahkan menyentil keras. Salah satu video dari Ghana, misalnya, menampilkan perbandingan reaksi antara orang Ghana dan orang Eropa saat menemukan uang yang tercecer.
Dalam skenario tersebut, si pengguna menggambarkan orang Afrika yang langsung menyimpan uang itu, sementara orang Eropa berusaha mencari pemiliknya. Di Zimbabwe, seorang TikToker menirukan Presiden Emmerson Mnangagwa yang terlihat kesulitan menghitung jumlah nol dalam angka sejuta. Penonton tertawa, namun di balik tawa itu tersembunyi sindiran tajam terhadap kualitas kepemimpinan.
Dalam banyak kasus, para kreator konten tak hanya mengkritik pemerintah, tapi juga mengejek sesama warga dan kondisi negaranya sendiri. Mereka kerap membandingkan Afrika dengan negara-negara maju secara tidak adil—seolah-olah tidak ada upaya lokal yang patut dihargai. Produksi konten yang berlebihan juga menjadi sorotan: penggunaan efek suara dramatis, animasi mencolok, bahasa gaul, dan kualitas video yang rendah semakin memperkuat kesan sinis.
Yang menjadi perhatian adalah ketika kritik semacam ini tidak disertai solusi. Video-video tersebut memang mengangkat isu-isu penting, tapi jarang mengajak audiens untuk berpikir kritis atau menawarkan jalan keluar. Akibatnya, konten semacam ini berpotensi membentuk persepsi negatif baru yang justru melemahkan citra negara sendiri.
Berbeda dengan warga China yang lebih seimbang dalam menampilkan wajah negaranya—dengan 41% konten positif dan hanya 6% yang bernada negatif—warga Ghana dan Zimbabwe justru lebih banyak membanjiri TikTok dengan olok-olok dan cemoohan terhadap negaranya sendiri.
Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari maraknya misinformasi di media sosial. Banyak video yang menyebarkan informasi keliru dibalut humor dan disajikan secara menghibur, sehingga publik sulit membedakan antara fakta dan lelucon. Lama-kelamaan, ini bisa memengaruhi kepercayaan terhadap informasi secara umum.
Namun, di sisi lain, TikTok juga membuka ruang baru bagi partisipasi publik—terutama generasi muda—di tengah menurunnya kebebasan pers di kedua negara. Platform ini menjadi wadah alternatif untuk menyuarakan keresahan, pendapat, dan harapan. Perbedaan suara yang muncul justru memperkaya diskusi dan menjadi aset penting dalam membangun konsensus.
Para peneliti menyarankan agar kritik yang muncul di TikTok diarahkan untuk menjadi lebih membangun. Warga didorong untuk tak sekadar mengejek, tapi juga menawarkan solusi dan semangat memperbaiki. Pemerintah dan pembuat kebijakan sebaiknya mulai melirik konten-konten semacam ini sebagai cermin dari suara masyarakat. Aspirasi yang muncul dari dunia maya bisa menjadi masukan berharga dalam proses perumusan kebijakan publik.
Media arus utama pun dapat belajar dari gaya jurnalisme yang menyenangkan ini—menyajikan isu serius dengan pendekatan ringan agar informasi lebih mudah diterima, khususnya oleh generasi muda yang semakin akrab dengan format digital.
Terakhir, para pemangku kepentingan—baik lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil, maupun pengatur media—perlu bekerja sama untuk mengedukasi publik. Warganet perlu didorong agar bisa menyampaikan kritik secara cerdas, mendorong kemajuan, dan menghindari jebakan informasi palsu. Kampanye seperti Africa Rising bisa dihidupkan kembali dengan semangat baru: menanamkan rasa bangga terhadap identitas nasional di era digital yang serba cepat dan viral.(africanliberty)


