close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pengunjuk rasa gerakan Block Everything memenuhi sejumlah ruas jalan di Paris, Prancis, Rabu (10/9). /Foto Instagram @franceinsomiseu
icon caption
Pengunjuk rasa gerakan Block Everything memenuhi sejumlah ruas jalan di Paris, Prancis, Rabu (10/9). /Foto Instagram @franceinsomiseu
Peristiwa
Kamis, 11 September 2025 15:09

Setelah Nepal, kini giliran Prancis dibekap gelombang unjuk rasa

Gerakan ‘Block Everything’ di Prancis pecah: massa muda & serikat buruh protes rencana pemangkasan 44 miliar euro, bentrok terjadi di Paris.
swipe

Setelah Nepal, gelombang protes besar kini pecah di Prancis sejak Rabu (10/9). Pengunjuk rasa di seluruh Prancis memblokir jalan raya, membakar barikade, dan bentrok secara sporadis dengan polisi sebagai wujud kemarahan terhadap Presiden Emmanuel Macron, elit politik, dan rencana pemotongan anggaran negara.

Pihak berwenang mengerahkan lebih dari 80.000 personel keamanan di seluruh negeri, membongkar penghalang, dan menyemprotkan air ke arah demonstran ketika ketegangan memuncak di sejumlah lokasi. Di Paris, polisi anti huru-hara secara berkala menggunakan gas air mata untuk membubarkan massa. Hampir 200 orang ditahan di ibu kota.

Para pengunjuk rasa tergabung dalam Gerakan “Block Everything” (Blokir Semua) — sebuah ekspresi luas ketidakpuasan yang menyebar di media sosial. Gerakan ini muncul secara daring pada Mei lalu di kalangan kelompok kanan namun sejak itu diadopsi oleh kelompok kiri dan kiri jauh.

Kerusuhan yang terjadi menambah gejolak politik nasional lantaran pecah pada hari ketika tokoh konservatif Sebastien Lecornu dilantik sebagai perdana menteri baru. Pendahulu Lecornu dijatuhkan oleh parlemen akibat rencana pemotongan anggaran besar-besaran yang tidak populer.

“Ini sama saja, sama saja. Macron yang jadi masalah, bukan para menterinya. Dia harus pergi,” kata Fred, pejabat serikat pekerja CGT di perusahaan transportasi umum Paris RATP seperti dikutip dari Reuters. 

Prancis berada di bawah tekanan untuk menurunkan defisit anggaran yang hampir dua kali lipat batas 3% Uni Eropa, dengan utang publik mencapai 114% dari PDB.

Di Paris, siswa dan anak sekolah turut menambah jumlah massa. Lebih dari 300 pengunjuk rasa ditangkap di seluruh negeri, meski banyak aksi berlangsung damai.

Sekitar 200.000 orang di seluruh Prancis ambil bagian dalam gerakan ini — sebuah mobilisasi yang oleh Menteri Dalam Negeri yang akan segera lengser, Bruno Retailleau, digambarkan sebagai “signifikan” meski ia menambahkan bahwa “mereka yang ingin memblokir negara gagal melakukannya.”

Gerakan ini mencerminkan kemarahan terhadap apa yang disebut pengunjuk rasa sebagai elit penguasa yang disfungsional dan berorientasi pada efisiensi. Ketidakpuasan publik semakin dalam setelah pemerintah sebelumnya mengusulkan pemangkasan belanja sebesar 44 miliar euro (US$52 miliar).

Di luar stasiun kereta Gare du Nord di Paris, ratusan pemuda meneriakkan slogan anti-Macron. Seseorang membawa poster dengan bendera Trikolor bertuliskan “Republik elite kaya”.

“Kami datang untuk membuat keributan,” kata Emma Meguerditchian, 17 tahun, seorang mahasiswa di Sorbonne. “Kami ingin mereka tahu kami tidak sanggup lagi, kami ingin jenis pemerintahan yang lain.”

Di bagian barat, pengunjuk rasa di Nantes memblokir jalan raya dengan ban dan tong sampah yang dibakar. Polisi menggunakan gas air mata untuk membubarkan orang-orang yang mencoba menduduki bundaran. Di Rennes, sebuah bus dibakar.

Di Montpellier, selatan Prancis, polisi menembakkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa yang mendirikan barikade untuk memblokir lalu lintas di bundaran. Spanduk besar di lokasi bertuliskan: “Macron mundur”.

Polisi Paris menembakkan gas air mata ke arah remaja yang memblokir pintu masuk sekolah menengah, sementara pemadam kebakaran mengangkat sepeda dan tempat sampah yang terbakar dari berbagai barikade. 

Perkelahian pecah di pinggiran protes dekat pusat perbelanjaan Châtelet di pusat ibu kota, dan pemadam kebakaran memadamkan api yang berkobar di sebuah bangunan terdekat.

Emanuel Macron. Foto Twitter

Dimotori gen Z

Gerakan “Block Everything” ini dibandingkan dengan pemberontakan “Rompi Kuning” (Yellow Vest) pada 2018–2019 yang dipicu pajak dan biaya hidup dan memaksa Macron membuat konsesi kebijakan bernilai miliaran euro.

Sosiolog dari lembaga pemikir Jean Jaurès Foundation, Antoine Bristielle menyebut ada perbedaan generasi antara keduanya. “Dalam gerakan Rompi Kuning, kita melihat Prancis yang rentan, kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, banyak pekerja, banyak pensiunan. Sementara di sini, dari segi usia, banyak anak muda,” ujar Bristielle.

Menurut Bristielle, anak-anak muda yang terjun ke pusaran aksi saat ini punya mimpi yang sama: Lebih banyak keadilan sosial, lebih sedikit ketimpangan. "Dan sistem politik yang berfungsi berbeda, lebih baik,” imbuhnya. 

Kevin Arceneaux, direktur riset politik di Sciences Po, mengatakan Macron berada di situasi politik yang sangat pelik. Tekanan publik semakin kencang, sedangkan pengaruh politiknya melemah di parlemen. “Tidak ada jalan keluar mudah di sini,” ujar Arceneaux. 

Sebelumnya, tuntutan serupa juga disuarakan kelompok demonstran di Nepal yang didominasi generasi Z. Bermula dari kemarahan atas pemblokiran media sosial, gelombang unjuk rasa meluas, memicu kerusuhan, dan menjatuhkan pemerintahan Nepal. 

Di Prancis, Block Everything bertujuan untuk melakukan penutupan total negara pada 10 September 2025. Para pendukungnya didorong untuk tidak bekerja, tidak berbelanja di peritel besar, menjaga anak-anak tetap di rumah, dan melakukan ‘pendudukan damai di lokasi-lokasi simbolis’.

img
Christian D Simbolon
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan