Pemerintah berencana mengalokasikan 20% anggaran dana desa untuk program makan bergizi gratis (MBG). Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Yandri Susanto menyatakan langkah itu sesuai dengan arahan Presiden Prabowo Subianto.
Menurut Yandri, Prabowo ingin agar bahan-bahan makanan untuk program MBG berasal dari desa. Karena itu, badan usaha milik desa (bumdes) akan dilibatkan menjadi salah satu pemasok bahan baku program MBG.
"Untuk ketahanan pangan makan siang bergizi itu, dari dana desa, tadi saya laporkan 20% dari Rp71 triliun dana desa pada 2025 untuk ketahanan pangan," kata Yandri kepada wartawan di Istana Bogor, Jumat (3/1).
Program MBG resmi diluncurkan, Senin (6/1) lalu. Untuk tahap awal, MBG akan menyasar sekitar 600 ribu orang. Program itu utamanya dijalankan di kota dan kabupaten di 26 provinsi di yang sudah pernah menjalankan uji coba MBG dalam beberapa bulan terakhir.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) INDEF, Esther Sri Astuti berpendapat alokasi sebagian dana desa untuk program MBG sebaiknya tidak dilakukan. Menurut dia, pembangunan desa bisa terganggu karena anggarannya tersedot program dari pemerintah pusat.
"Dana desa sebenarnya diperuntukkan untuk membangun desa. Desa penting dibangun karena sudah terbukti menjadi backbone selama pandemi, menyokong perekonomian," kata Esther kepada Alinea.id di Jakarta, Selasa (7/1).
Lebih jauh, Esther mengungkap dampak negatif susulan yang potensial muncul jika dana desa disunat. Ketika pembangunan di desa terhambat karena kekurangan dana, maka bukan tidak mungkin terjadi urbanisasi yang masif.
"Dana desa gagal menambal kebutuhan masyarakat desa. Desa juga harus dimajukan untuk mencegah urbanisasi. Agar mengurangi tingkat kemiskinan di desa dan menyerap lapangan kerja. Betul, mendingan fokus pada program yang berdampak jangka panjang," kata Esther.
Sekjen Asosiasi Dosen Ilmu Pemerintahan Seluruh Indonesia (ADIPSI), Darmawan Purba mengatakan pemerintah harus berhati-hati dalam mengalokasikan dana desa ke program-program lain. Selama ini, dana desa sudah jadi modal utama untuk pembangunan infrastruktur desa dan pemberdayaan masyarakat lokal.
"Apabila sebagian besar dana desa dialokasikan untuk program pemerintah pusat tanpa memperhatikan prioritas kebutuhan di tingkat lokal, tentu ada risiko bahwa pembangunan fisik atau program pemberdayaan lainnya akan terhambat," kata Darmawan kepada Alinea.id.
Menurut Darmawan, alokasi dana desa untuk program MBG sebaiknya didesain fleksibel. Pemerintah pusat sebaiknya memberikan arahan yang jelas, tetapi tetap memberikan ruang bagi desa untuk menentukan prioritasnya berdasarkan kemampuan dan kondisi masing-masing desa.
Karena itu, pemetaan kebutuhan prioritas desa perlu dilakukan pemerintah. Pasalnya, tak semua desa punya persoalan serupa. Bisa saja ada desa yang memerlukan alokasi dana besar untuk program gizi, tetapi ada pula desa yang lebih membutuhkan penguatan infrastruktur pengembangan ekonomi desa.
"Artinya diperlukan skema penyesuaian alokasi dana desa untuk mendukung program makan bergizi yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing desa," kata Darmawan.
Tidak kalah penting adalah memastikan akuntabilitas dan efektivitas penggunaan dana desa untuk MBG. Dalam mengawasi alokasi dana desa untuk program MBG, perlu didorong partsipasi pemerintah desa, kader posyandu dan masyarakat lokal.
"Pengawasan juga perlu diperkuat agar tidak terjadi penyalahgunaan anggaran. Keseimbangan antara program nasional dan prioritas lokal harus menjadi perhatian utama agar dana desa benar-benar menjadi instrumen pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan," kata Darmawan.