Sejak resmi dibentuk Presiden Prabowo Subianto, Januari lalu, Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) mulai aktif bekerja. Terbaru, Satgas PKH menyita sekitar 3.779 hektare lahan milik PT Agro Bukit di Kecamatan MB Ketapang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah.
Belum lama ini, tim satgas juga mengambil alih lahan seluas 5.764 hektare milik PT Johan Sentosa (Duta Palma Group) di Desa Pasir Sialang, Kecamatan Bangkinang Kota, Kabupaten Kampar, Riau. Lahan perkebunan sawit itu diduga merambah hutan.
Saat ini, Satgas juga tengah mengusut kepemilikan lahan perkebunan sawit anak-anak perusahaan Wilmar Group dan Makin di Group di Kotawaringin Timur. Anak-anak perusahaan Wilmar dan Makin ditengarai mengelola kebun sawit tak sesuai prosedur.
Khusus di Kotawaringin Timur, tercatat sekitar 301 ribu hektare lahan kelapa sawit yang dikelola 65 perusahaan. Sekitar 66 ribu hektare permohonan izin kebun sawit telah ditolak Kementerian Kehutanan. Namun, perkebunan sawit yang izinnya ditolak itu masih beroperasi, sehingga disita Satgas PKH.
Direktur Eksekutif Intelligence & National Security Studies (INSS) Stepi Anriani mengapresiasi kinerja Satgas PKH sejauh ini. Ia juga menyoroti peran TNI yang cukup strategis dalam membantu memulihkan dan merehabilitasi kawasan hutan.
"Keberadaan TNI dalam Satgas PKH merupakan salah satu elemen kunci dalam memberantas perkebunan sawit ilegal yang telah menyebabkan kerugian besar bagi negara dan lingkungan," ujar Stepi dalam sebuah opini yang tayang di Antara, Selasa (11/3).
Menurut Stepi, terdapat sekitar 3,3 juta hektare kebun sawit yang berada di dalam kawasan hutan secara ilegal. Tidak hanya merusak lingkungan, perkebunan sawit ilegal juga menyebabkan kerugian negara yang signifikan.
"Berdasarkan kajian terbaru, opportunity loss dari perambahan hutan dan potensi produksi kebun sawit ilegal oleh perkebunan besar swasta nasional (PBSN) diperkirakan mencapai Rp2.600 triliun," kata dia.
Soal peran TNI, Stepi merujuk pada isi Pasal 7 ayat (2) UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI. Menurut dia, TNI memiliki wewenang untuk terlibat dalam operasi militer selain perang (OMSP), yakni untuk membantu menjaga ketertiban dan menegakkan hukum di wilayah yang terdampak.
"Dalam praktiknya, TNI berperan aktif dalam berbagai aspek, termasuk mendukung Kepolisian dan Kejaksaan dalam operasi penertiban lahan sawit ilegal," jelas dia.
Satgas PKH dibentuk melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Selain TNI dan perwakilan dari sejumlah kementerian, Satgas PKH beranggotakan aparat penegak hukum dari Polri dan Kejaksaan Agung. Menteri Pertahanan (Menhan) Letnan Jenderal (Purn) TNI Sjafrie Sjamsoeddin ditunjuk sebagai Ketua Pengarah Satgas PKH.
Peneliti Imparsial Husein Ahmad menilai keterlibatan TNI dalam Satgas PKH patut dipersoalkan. Secara khusus, ia khawatir kehadiran TNI di Satgas PKH memicu lahirnya kasus-kasus pelanggaran HAM. Bukan tidak mungkin muncul gesekan antara personel TNI yang ditugaskan menjaga hutan dengan warga setempat.
"Bayangkan TNI yang dilatih menggunakan senjata dan membunuh dihadapkan dengan pembalakan liar. Itu bisa jadi overkill dan pada tahap tertentu terjadi pelanggaran HAM. Semisal dia jagain hutan... Dalam konteks agraria saja batas wilayah hutan saja banyak yang tidak jelas, mana batas desa dan mana batas hutan. pasti akan mendatangkan konflik," kata Husain kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Husain juga tak sepakat prajurit TNI aktif kembali diterjunkan untuk mengerjakan tugas-tugas sipil. Hal itu bisa membuat tugas pokok TNI mengalami disorientasi. Prajurit TNI seolah kini lebih aktif mengurusi ancaman di dalam negeri. Padahal, prajurit TNI aktif dilatih untuk menyikapi faktor ancaman dari luar.
"Kasihan TNI sendiri. Ini akan menggangu profesionalisme TNI. TNI itu kita harapkan dapat mengatasi ancaman perang yang sekarang begitu pesat perkembangannya. Jadi, penggunaan TNI dalam kelola hutan itu akan membuat fokus TNI menjadi pecah. Bukan lagi menghadapi ancaman perang, tetapi juga ancaman tindak pidana di dalam hutan," kata Husain.
Ilustrasi Prajurit TNI siap menjalankan tugas. Foto Antara.
Perlu SOP yang jelas
Pengamat pertahanan dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES) Khairul Fahmi menilai penyimpangan keterlibatan TNI dalam Satgas PKH bisa dicegah jika peran TNI diawasi tetap dalam tugas operasi militer selain perang (OMSP). Dalam struktut Satgas PKH, misalnya, TNI tetap di belakang penegak hukum seperti Polri dan Kementerian Kehutanan.
"Dalam konteks Satgas PKH, karena ini merupakan program penertiban yang mana mengindikasikan bahwa program ini berkaitan dengan aspek law enforcement, maka Kemenhut tetap menjadi leading sector. Polisi Kehutanan (Polhut), PPNS Kemenhut dan aparat penegak hukum lainnya sebagai ujung tombak dalam penegakan hukum," kata Fahmi kepada Alinea.id, Rabu (12/3).
Pelibatan TNI dalam konteks Satgas PKH, kata dia, harus berada dalam konteks perbantuan dan bukan pelaksana utama. Tugas TNI dalam Satgas PKH bisa dibatasi hanya untuk menangani ancaman kelompok bersenjata atau kejahatan terorganisir dalam perambahan hutan.
"Selain itu, keterlibatan TNI juga bisa diarahkan untuk membantu mengatasi potensi keterlibatan oknum dalam pengelolaan kawasan hutan secara ilegal. Dalam beberapa kasus, aktivitas ilegal di kawasan hutan tidak hanya melibatkan masyarakat biasa, tetapi juga bisa melibatkan oknum dari berbagai institusi, termasuk aparat TNI, kepolisian, pejabat daerah, atau pihak swasta yang memiliki kepentingan tertentu," kata Fahmi.
Jika ada indikasi oknum TNI terlibat dalam pengelolaan kawasan hutan secara ilegal, maka keterlibatan institusi TNI dalam Satgas PKH bisa diarahkan untuk membersihkan institusinya sendiri. "Dalam hal ini, POM TNI (Polisi Militer) bisa berperan aktif," kata Fahmi.
Tak kalah penting ialah dasar hukum yang jelas dalam keterlibatan TNI di Satgas PKH. Selain Perpres PKH, menurut Fahmi, perlu ada aturan teknis dari Kemenhut dan Kementerian Pertahanan yang menegaskan batas-batas peran TNI di Satgas PKH.
"Selain itu, SOP (standard operational procedure) dalam satgas ini harus diatur dengan ketat untuk memastikan bahwa TNI tidak melampaui batas kewenangannya. Mereka tidak bisa dan tidak boleh melakukan penyidikan atau penindakan hukum langsung karena itu adalah ranah kepolisian dan PPNS Kemenhut," kata Fahmi.