Lebih dari sepertiga warga Tuvalu tengah mempersiapkan kemungkinan hidup baru di negeri orang. Mereka ingin menyelamatkan diri karena khawatir tanah mereka akan perlahan tenggelam.
Negara kecil di tengah Samudra Pasifik, dengan sembilan atol yang tersebar antara Australia dan Hawaii itu dari tahun ke tahun semakin menyusut karena naiknya permukaan laut.
Dalam beberapa pekan terakhir, 1.124 warga Tuvalu telah mendaftarkan diri untuk mengikuti undian visa iklim menuju Australia. Bersama anggota keluarga, total jumlah pemohon mencapai 4.052 orang.
Angka ini muncul tak lama setelah Australia membuka pendaftaran program visa dalam kerangka perjanjian Falepili Union—sebuah kesepakatan bilateral yang mencakup isu iklim dan keamanan.
Duta Besar Tuvalu untuk PBB, Tapugao Falefou, mengaku terkejut melihat antusiasme tersebut.
“Saya tidak menyangka akan sebanyak ini,” ujarnya kepada Reuters, Minggu (29 Juni). Di komunitas kecil Tuvalu, banyak yang penasaran: siapa saja yang akan menjadi bagian dari kelompok migran iklim pertama ini?
Dengan populasi sekitar 11.000 jiwa, Tuvalu merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Selama 30 tahun terakhir, permukaan laut di wilayah ini telah naik sekitar 15 cm—satu setengah kali lebih cepat dari rata-rata global. Dengan daratan yang rata-rata hanya dua meter di atas permukaan laut, kekhawatiran pun semakin nyata.
Ilmuwan NASA memperkirakan bahwa pada tahun 2050, separuh dari atol utama Funafuti—tempat tinggal sekitar 60 persen penduduk Tuvalu—akan terendam banjir harian jika permukaan laut naik satu meter. Dalam skenario terburuk, dengan kenaikan dua meter, hingga 90 persen wilayah itu bisa hilang di bawah air.
Visa iklim yang ditawarkan Australia memungkinkan warga Tuvalu untuk tinggal, bekerja, dan belajar di Australia. Mereka juga akan mendapat akses ke layanan kesehatan dan pendidikan yang setara dengan warga negara Australia. Menurut Falefou, keberangkatan ini bukan hanya soal keselamatan, tapi juga soal kiriman uang yang kelak bisa mendukung keluarga yang masih tinggal di Tuvalu.
Namun, tak semua warga bisa langsung berangkat. Program ini membatasi kuota hingga 280 visa per tahun, guna mencegah hilangnya sumber daya manusia secara besar-besaran dari Tuvalu.
Sementara menunggu proses seleksi, sebagian warga tetap bertahan. Pemerintah telah membangun tujuh hektare lahan buatan, dan berencana memperluasnya agar bisa bertahan setidaknya hingga tahun 2100. Tapi bagi ribuan lainnya, visa ke Australia mungkin jadi satu-satunya jalan untuk menyelamatkan masa depan. (reuters)