sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Eks peneliti LIPI laporkan 5 rapor merah kebijakan BRIN ke DPR

Kebijakan pimpinan BRIN sangat tidak sesuai dengan kaidah pengambilan kebijakan yang baik dan benar.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Senin, 28 Mar 2022 17:36 WIB
Eks peneliti LIPI laporkan 5 rapor merah kebijakan BRIN ke DPR

Masyarakat Pemajuan Iptek dan Inovasi (MPI) Nasional menyampaikan lima rapor merah kebijakan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap) di bawah kepemimpinan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Hal itu disampaikan MPI saat beraudiensi dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi VII DPR, Senayan, Jakarta, Senin (28/3). 

Anggota MPI yang juga mantan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Maxsensius Tri Samboko menyampaikan, lima rapor merah kebijakan BRIN ini merupakan hasil pendalaman dan wawancara MPI dengan para peneliti, serta perekayasa, hingga staf pendukung di litbangjirap. Menurutnya, temuan ini juga merupakan upaya dua tahun mereka melawan kebijakan pemerintah melebur litbangjirap ke dalam BRIN.

"Ada (peneliti dan perekayasa) yang mungkin sudah tumbang atau bergabung dalam lingkaran yang tidak pasti, namun ada yang masih mencoba melawan dengan kemampuan yang ada. Kami hadir di sini tentu berharap agar hal-hal terkait perubahan radikal di dalam kelembagaan BRIN jangan sampai membunuh peneliti dan perekayasa," ujar Maxsensius.

Menurut Maxsensius, saat ini kebijakan pimpinan BRIN sangat tidak sesuai dengan kaidah-kaidah pengambilan kebijakan yang baik dan benar. Padahal, kata dia, sebuah kebijakan haruslah berurutan, fokus, koheren, rasionalitas dan menjamin keberlanjutan. 

"Tapi yang kami hadapi saat ini adalah kebijakan muncul dengan cara-cara yang bereksperimen. Tanpa dasar-dasar argumentatif yang jelas. Kita tidak bisa mengambil kebijakan-kebijakan yang berisiko tinggi dan berdampak besar secara masif bagi nasib banyak orang dan juga bagi bangsa kita," kata dia.

Dia lalu membeberkan lima rapor merah kebijakan BRIN pascapeleburan litbangjirap. Pertama, transisi manajemen dan birokrasi yang tidak berjalan dengan baik. Hal ini menyebabkan sumber daya pelaku litbangjirap tidak termanfaatkan secara optimal, di mana banyak peneliti dan perekayasa yang masih menunggu pada penempatan. 

"Dan ini suatu kegurian yang besar bagi bangsa kita. Kita temukan manajemen transisi dan birokrasi yang sangat jauh dari good governance. Dan sangat berbahaya dalam upaya untuk mendorong profesionalisme di antara periset," ucap dia.

Kedua, sentralisasi dan birokrasi yang semakin rumit. Menurutnya, kondisi kerapatan antar periset, bahan, anggaran, peralatan, operator itu adalah bergerak dalam suatu komando, katakanlah kepala balai atau pusat riset. Namun, saat ini kondisinya terdistrupsi dan terintegrasi. Hal ini menjadi problem dalam mengejar kinerja yang cepat, efektif dan responsif dan berbasis pada bukti yang baik.

Sponsored

"Kita ketahui saat ini kita masih dalam proses forming dan storming dan entah sampai kapan kita keluar dari situasi ini. Kapan kita warming dan performing, padahal banyak masalah bangsa yang kita harus selesaikan segera," ucap dia.

Ketiga, skema program tanpa visi, misi, arah dan target yang jelas. Menurutnya, pimpinan BRIN saat ini hanya fokus pada basik riset. Berdasarkan pengakuan para periset, pimpinan BRIN tidak memiliki agenda riil inovasi, hanya basik riset saja. 

"Kemudian ada anak baru usul, ada diksusi isu kebijakan sosial (dari periset ilmu sosial) yang perlu direspon cepat. Jawabnya, itu urusan direktorat. Di Pusris ngurus tulisan jurnal saja. Padahal kita tahu, kita bekerja berdasarkan evident best policy," kata Maxsensius.

Keempat, penggantungan program strategis nasional yang diampuh eks LPNK sebelumnya, juga tidak jelas. Salah satunya ialah terkait program pengkajian dan penerapan teknologi Indonesia Tsunami Early Warning System, yang sampai saat ini menggantung tanpa kejelasan.

Kelima, pelemahan visi dan penyelenggaran kemajuan iptek. 

Caleg Pilihan
Berita Lainnya
×
tekid