sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Jalan ketiga PRD dan mimpi berkantor di Senayan

PRD berencana kembali ke gelanggang politik praktis di Pemilu 2024.

Fadli Mubarok
Fadli Mubarok Rabu, 24 Jul 2019 16:39 WIB
Jalan ketiga PRD dan mimpi berkantor di Senayan

Sebuah diskusi kecil digelar Partai Rakyat Demokratik (PRD) merayakan hari ulang tahunnya yang ke-23 di kantor PRD, kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Senin (22/7) lalu. Meskipun bertema berat--mengkritik kapitalisme dan liberalisme ekonomi--tak banyak 'keributan' yang terjadi sepanjang diskusi. 

Para pembicara dalam diskusi itu--di antaranya Sekretaris Jenderal PRD Dominggus Oktavianus, politikus Partai Solidaritas Indonesia Dedek Prayudi, dan pengamat politik Universitas Brawijaya, Aji Dedi Mulawarman--umumnya hanya mengamini pernyataan satu sama lain. Diskusi pun berakhir dengan gembira. 

Jika di Jakarta peringatan hari lahir (harlah) PRD berjalan dengan cukup lancar, lain halnya di Sektretariat PRD Surabaya. Di kota ini, PRD merencanakan beragam kemeriahan. Selain diskusi terbuka, panitia harlah juga menyiapkan gelaran panggung budaya dan turnamen olahraga. 

Namun, semua rencana tersebut harus gagal. Pasalnya, Sekretariat PRD di Jalan Bratang Gede, Surabaya, itu keburu didatangi polisi. Kepada kader-kader PRD yang tengah berkumpul, polisi mengabarkan perayaan harlah PRD ditentang sejumlah ormas Islam. 

Informasi dari polisi itu tidak mengada-ada. Tak lama setelah diperingatkan polisi, ratusan orang dari berbagai ormas menggeruduk kantor PRD. Selain mengintimidasi para peserta, mereka juga membakar bendera dan atribut yang tak sempat dicopot panitia. "PRD partai terlarang," teriak salah seorang anggota ormas.
 
Tak hanya di Surabaya saja, perayaan harlah PRD juga terganggu di berbagai daerah lainnya. Di Jakarta dan Tuban, bendera-bendera PRD diturunkan orang tak dikenal. Di Malang dan Kendari, massa melarang kegiatan diskusi yang digelar PRD. 

Diakui Dominggus, PRD memang masih kesulitan menghapus labelisasi sebagai partai terlarang. Hingga kini, publik kerap menganggap partai berlambang bulan sabit dan padi itu berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Padahal, PRD tercatat pernah resmi ikut dalam kontestasi politik pemilu pada 1999 lalu. 

"Yang pasti itu sangat membutuhkan kekuatan dari kita sendiri untuk dapat melakukan satu sosialisasi. Itu pertama. Sosialisasi bahwa PRD itu memperjuangkan Pancasila dan akan memenangkan Pancasila," ujar dia.

PRD memang sempat dibekukan pemerintah lewat peraturan Menteri Dalam Negeri pada 1997. Setahun sebelumnya, PRD dianggap terlibat dalam peristiwa penyerbuan ke kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Dipenogoro. Aktivitas politik PRD pun dianggap berbahaya setelah pendirinya Budiman Sudjatmiko dijebloskan ke penjara. 

Sponsored

Pembekuan PRD tak berlangsung lama. Seiring jatuhnya pemerintahan Soeharto, pembekuan PRD dicabut dan Budiman mendapatkan amnesti. Pada 1999, PRD pun memberanikan diri terjun ke gelanggang politik pemilu. Ketika itu, PRD hanya meraup 0,07% suara. 

Namun demikian, stigma sebagai partai terlarang ternyata masih terus berkembang. Tak hanya oleh ormas, menurut Dominggus, kader-kader PRD di daerah bahkan kerap mengalami intimidasi dari kalangan militer dan polisi. 

Ke depan, Dominggus mengatakan, PRD berencana menghapus tuntas stigma sebagai partai terlarang dengan strategi jemput bola. Menurut dia, PRD bakal gencar menggelar sosialisasi ke institusi-institusi yang masih keliru memandang PRD. 

Langkah itu, lanjut Dominggus, sengaja diambil karena PRD berencana untuk kembali aktif di kancah politik nasional. PRD bahkan punya target mengantarkan kader-kader terbaik mereka berkantor di Gedung DPR pada Pemilu 2024. 

Untuk merealisasikan mimpi itu, PRD tengah merapihkan kembali struktur organisasi, membangun akses politik, dan terus mengevaluasi kebutuhan logistik untuk pemilu. "Semua rencana itu akan dimatangkan dalam rapimnas PRD Agustus nanti," ujar Dominggus. 

Menurut Dominggus, saat ini struktur kepartaian PRD sudah terbangun di 31 provinsi. PRD juga punya perwakilan di berbagai kabupaten dan kota. "Yang belum ada itu hanya ada di Sumatera Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah," imbuhnya. 

Selain karena dorongan dari para kader dan eks pentolan PRD di masa lalu, menurut Dominggus, PRD tergerak untuk kembali aktif berpolitik karena khawatir menyaksikan perkembangan politik di Tanah Air yang terus mengukuhkan pragmatisme politik. 

Karena itu, Dominggus mengatakan, PRD bakal mengedepankan politik gagasan kepada publik. "Karena selama ini pilihan politik seseorang bukan berdasarkan gagasan melainkan pertimbangan yang sangat pragmatis, seperti politik uang dan sebagainya," lanjutnya.

Sebagai bahan jualan utama, menurut Dominggus, PRD akan mengusung politik jalan ketiga. "PRD ingin bisa menghadirkan satu alternatif politik bagi rakyat yang bisa memberikan solusi-solusi. Jadi, politik yang diusung oleh PRD ini ingin memberikan satu jalan ketiga, yaitu jalan yang baru di luar gagasan liberalisme dan konservatisme," tuturnya. 

Mantan aktivis PRD di era Orba, Linda Christanty mengatakan, PRD harus bekerja keras jika ingin kembali ke kancah politik nasional. Apalagi, masyarakat cenderung tak lagi mempercayai parpol, baik yang bermuka lama maupun muka baru. 

PRD, lanjut Linda, harus lebih banyak aktif bergerak di akar rumput dengan program-program nyata. Pasalnya, publik tak butuh janji-janji manis. "Masyarakat menunggu sebuah bukti," ujar Linda. 

Selain itu, Linda mengatakan, PRD juga harus cermat memperhatikan berbagai isu yang menjadi perhatian masyarakat dan terdepan memperjuangkannya. "Kebebasan berekspresi dan berpendapat, kemudian organisasi, dan ekonomi," imbuhnya. 

Lebih jauh, Linda mengatakan, PRD juga harus 'tahan banting'. Saat berdiri bersama rakyat dan memperjuangkan kepentingannya, menurut Linda, PRD harus siap dengan segala macam konsekuensi, termasuk di antaranya mendapat intimidasi dari kelompok masyarakat dan tekanan politik dari pemerintah. 

"PRD maupun partai apa pun jika membawa isu kerakyatan sudah pasti mendapatkan tantangan yang luar biasa dan mereka pasti akan mendapatkan stigma, tidak jauh dari komunis atau kiri. Yang penting PRD tetap konsisten," ujar dia. 

Aksi unjuk rasa PRD. Foto dok prd.or.id.

Hapus stigma

Pakar politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth mengatakan, sebenarnya tak sulit bagi PRD untuk kembali memakai jubah parpol di era sekarang. Asalkan memenuhi syarat, pemerintah pasti bakal memberikan lampu hijau. 

"Stigma negatif PRD yang ada di kalangan masyarakat dan pemerintahan Orba tidak akan berpengaruh ketika mereka mendirikan partai kembali. Sekarang sangat terbuka. Mungkin PRD berkaca dengan munculnya partai seperti PSI, Berkarya, dan Garuda," kata dia. 

Yang terpenting, menurut Adriana, PRD sebagai parpol harus punya gagasan baru yang akan ditawarkan ke publik. Menurut dia, parpol-parpol baru yang muncul belum mampu menjawab permasalahan-permasalahan masyarakat. 

Ia mencontohkan PSI. Meskipun tergolong 'segar' karena didominasi oleh kawula muda, PSI tidak mampu meyakinkan masyarakat dengan gagasan-gagasan politik mereka. Alhasil, PSI gagal melompati ambang batas parlemen pada Pileg 2019. 

"Begitupun partai baru lainnya. Jadi, saya sarankan agar PRD juga dapat mampu melihat masalah baik nasional maupun global. PRD juga harus bisa meng-update isu internasional karena itu sangat berpengaruh. Jangan terjebak gagasan lama," ucap Adriana

Senada, sejarawan kawakan Anhar Gonggong menilai tak sulit bagi PRD untuk sekadar menghapus stigma sebagai partai politik terlarang. Pasalnya, sudah banyak bekas aktivis PRD sukses berkarier sebagai politikus di Senayan. 

Pendiri PRD Budiman Sudjatmiko misalnya. Budiman kini menjadi salah satu politikus PDI-Perjuangan dan tercatat sebagai anggota DPR periode 2014-2019. Aktivis PRD lainnya, Andi Arief kini menjadi salah satu politikus Partai Demokrat dan sempat menjabat sebagai wakil sekretaris jenderal. 

Menurut Anhar, kesuksesan karier politik eks pentolan PRD menjadi bukti stigma lama PRD sebagai partai terlarang tak lagi jadi kendala. "Kalau masih pakai ukurannya Soeharto, ya tidak mungkin. Tapi jika memakai ukuran pemerintahan sekarang, sistem pemerintahan sekarang itu bisa saja terjadi. Kan itu persoalannya," ujar dia. (Ant)
 

Berita Lainnya
×
tekid