sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Oligarki partai politik dinilai jadi ganjalan membangun demokrasi

Oligarki politik tetap menjadi ganjalan untuk menghadirkan demokrasi yang sehat.

Marselinus Gual
Marselinus Gual Jumat, 21 Jan 2022 19:17 WIB
Oligarki partai politik dinilai jadi ganjalan membangun demokrasi

Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komaruddin Hidayat menyebut, kesadaran masyarakat untuk partisipasi dalam berdemokrasi sudah semakin membaik. Namun demikian, oligarki politik tetap menjadi ganjalan untuk menghadirkan demokrasi yang sehat.

"Dan rakyat juga sadar, banyak orang baik yang tidak terjaring oleh parpol (partai politik). Sementara di parpol mereka juga kecewa karena tidak terwakili. Ini hemat saya suatu progres kesadaran berdemokrasi yang cukup signifikan yang terjadi di Indonesia," kata Komaruddin dalam sebuah diskusi daring yang digelar Moya Institute, bertajuk "Pandemi dan Siklus Politik Indonesia Jelang 2024", Jumat (21/1).

Menurut Komaruddin, hal itu tampak pada munculnya kesadaran kolektif dimana rakyat tahu banyak orang baik namun tidak dapat masuk ke lembaga legislatif dan eksekutif. Hal itu terjadi karena legislatif/eksekutif diisi oleh mereka yang memiliki modal uang dan massa.

"Massa itu bisa dijaring dengan simbol-simbol agama, dengan uang. Dan ini ternyata juga memanipulasi demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Karena rakyat dibeli, bukan diwakilkan. Suara rakyat dibeli," ujar dia.

Jika tidak direspons atau disadari, Komaruddin khawatir akan muncul satu gerakan baru di tengah masyarakat yang bisa mengambil-alih kekuasaan. Menurut dia, meski tak harus turun ke jalanan, gerakan baru ini justru akan bermain di ranah virtual, terutama karena kondisi pandemi Covid-19 yang memungkinkan setiap orang bebas berbicara.

"Orang boleh kecewa dengan wakilnya di Senayan tetapi setiap orang punya peluang untuk berbicara, entah lewat Youtube, podcast, dan sebagainya. Kalau ini tidak disadari oleh pemerintah dan kita semua, ini akan menimbulkan satu ongkos tragedi yang mahal. Misalnya, dulu Bung Karno soft landing. Suharto juga soft landing. Dan ini kalau tidak hati-hati, bisa soft landing lagi," tegasnya.

Oleh karena itu, kata Komaruddin, perbaikan kualitas parpol adalah satu-satunya cara yang dapat mengakhiri kekecewaan masyarakat, sekaligus mengantisipasi gerakan baru di tengah masyarakat. Sebab, kata dia, hanya parpol satu-satunya yang memungkinkan seseorang bisa duduk di lembaga legislatif dan eksekutif.

"Tetapi pertanyaannya, apakah parpol mau dan punya agenda untuk berubah? Selama ini kan, hasil beberapa riset, situasi parpol tinggal jual boarding pass. Yang kerja keras itu para jutawan. Mereka mengeluarkan biaya tinggi. Sementara parpol ya, tidak banyak bekerja. Kecuali parpol tertentu ya, tapi umumnya tidak bekerja keras," bebernya.

Sponsored

"Pertanyaanya, apakah mau ini diteruskan lagi? Pertanyaan ini dialamatkan terutama kepada parpol. Tetapi kalau tidak merubah, rakyat yang menghukum (dengan) tidak memilih. Terjadi pembusukan demokrasi dan lama-lama kemudian demokrasi tinggal nama," imbuh dia.

Dia menambahkan, semakin kondusif rakyat memahami partisipasi dalam demokrasi tapi ganjalannya ialah main peraturan atau legalitas yang dibuat legislatif.

"Misalnya tentang threshold (ambang batas). Kalau untuk menghindari pengerasan, ada dua. Supaya threshold jangan 20%, dan satu lagi cukup diwakilkan di MPR. Sebab kalau tidak berubah, lagi-lagi oligarki dan status quo yang berkembang," pungkasnya.

Berita Lainnya
×
tekid