sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Sistem pemilu proporsional terbuka: Agar demokrasi tak berubah oligarki

Sistem pemilu proporsional terbuka masih yang terbaik untuk demokrasi Indonesia, setidaknya sampai saat ini.

Selasa, 24 Jan 2023 07:18 WIB
Sistem pemilu proporsional terbuka: Agar demokrasi tak berubah oligarki

Perdebatan proporsional terbuka dan tertutup

Frasa 'proporsional terbuka' mendadak ramai jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Tentu saja penyebabnya adalah adanya gugatan dari segelintir orang soal sistem proporsional terbuka yang sudah dipakai sejak Pemilu 2009. Tercatat ada enam individu yang menggugat sistem proporsional terbuka ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2022.

Keenam individu itu adalah Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo), Yuwono Pintadi (anggota Partai Nasdem), Fahrurrozi (bacaleg 2024), Ibnu Rachman Jaya (warga Jakarta Selatan), Riyanto (warga Pekalongan), dan Nono Marijono (warga Depok).

Mereka berharap MK menganulir aturan itu. Selanjutnya, mengembalikan sistem proporsional tertutup pada pelaksanaan Pemilu 2024. Sistem proporsional terbuka sudah digunakan selama tiga kali pemilu. Para penggugat menganggap, selama sistem ini digunakan, para calon legislator yang terpilih semakin menjauh dari ideologi partai tempat mereka bernaung. 

"Tidak memiliki ikatan dengan ideologi dan struktur parpol. Tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi parpol atau organisasi berbasis sosial politik," demikian sejumlah alasan pemohon menguraikan kekurangan proporsional terbuka.

Alhasil, wakil rakyat yang dihasilkan dari sistem ini seolah-olah berdiri sendiri. Tak ada 'darah' parpol dalam diri mereka. Kekhawatiran terbesar para penggugat adalah lahirnya liberalisme politik atau persaingan bebas. Pasar bebas di dunia politik. Menempatkan kemenangan individual di atas parpol.

Hal ini dianggap mengkhianati arti kompetisi pemilihan umum seperti yang tergurat di Pasal 22E ayat 3 UUD 1954. Bahwa peserta pemilu sejatinya adalah partai politik, bukan individunya.

Alasan ini tentu sejalan dengan temuan dari Edward Aspinall dan Ward Berenschot. Kedua peneliti ini persis menganalisis perilaku pasar bebas yang terjadi selama proporsional terbuka diberlakukan pada sistem pemilu di Indonesia. Analisis kedua peneliti ini tersaji di dalam buku berjudul Democracy for Sale: Elections, Clientelism, and the State in Indonesia yang terbit pada 2019.

Sponsored

Atas alasan-alasan tersebut, keenam penggugat itu lantas meminta negara mengembalikan kembali sistem proporsional tertutup sebagaimana pernah dipraktikkan di masa Orde Baru. Partai dikembalikan menjadi kawah candradimuka penciptaan wakil rakyat. 

Partai politiklah yang berhak menentukan siapa yang menjadi wakil rakyat. Tentunya dengan indikator yang terukur disertai dengan seleksi yang ketat dan transparan. Dengan begitu, parpol bisa mengontrol wakil di parlemen agar tak ke luar dari garis ideologi partai.

Adapun aturan yang minta direvisi adalah kata 'terbuka' pada Pasal 168 ayat 2 UU Pemilu. Kata 'terbuka' dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Selanjutnya, menyatakan kata 'proporsional' pada Pasal 168 ayat 2 UU Pemilu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai sistem proporsional tertutup.

Apa benar semengerikan itu?

Di balik segala ekses dari penerapan sistem proporsional terbuka pada pemilu, sejumlah peneliti politik justru menemukan lebih banyak keuntungan dari sistem ini. Bahkan, sistem proporsional terbuka diakui sebagai sistem terbaik untuk demokrasi Indonesia.

Mengutip Kompas.com, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia, Aditya Perdana menilai, sistem pemilu proporsional terbuka masih yang terbaik untuk demokrasi Indonesia, setidaknya sampai saat ini. Menurutnya, sistem proporsional terbuka memungkinkan pemilih untuk bebas menentukan sosok yang tepat untuk mewakili kepentingan mereka.

Keistimewaan ini tentu saja tak didapat dalam sistem proporsional tertutup yang menyerahkan kewenangan memilik wakil rakyat kepada parpol.

Menurut Aditya, sistem proporsional terbuka justru mendekatkan wakil rakyat kepada para pemilihnya. Sebaliknya, ketika pemilih hanya diminta memilih parpol dalam skema tertutup, maka mereka seperti dijauhkan dari sosok wakilnya. Kepada siapa mereka harus mengadu dan memintai tanggung jawab?

Memang, butuh biaya besar untuk bisa memasarkan diri. Sistem proporsional terbuka mengharuskan kandidat untuk bisa 'menjual' diri. Jualan ini tentu butuh biaya besar. Dan ini tentu menjadi celah politik uang bagi calon yang ingin instan.

Namun, di balik ekses itu, Aditya melihat justru ada keuntungan. Kebutuhan untuk 'menjual' diri inilah yang justru membuat pemilih semakin mengenal calon legislator. Pemilih bisa menakar seberapa tulus si calon ini bisa memanggul kepentingan mereka.

Aksi buka-bukaan diri ini juga membuat pemilih punya modal untuk menentukan pilihan terbaik. Di sinilah istilah 'pasar bebas' tidak berpretensi negatif. Di sini kemudian pemilih menempatkan diri sebagai subjek, bukan objek.

Ketika akhirnya para calon legislator ini terpilih, maka mereka harus bisa membuktikan kepercayaan pemilih. Jika tidak, integritasnya bakal tercoreng dan pada pemilihan berikutnya, kepercayaan masyarakat atas si legislator bakal babak belur.

Memberi tantangan bagi perempuan

Sejumlah lembaga pemerhati pemilu yang tergabung di dalam Sekretariat Bersama Kodifikasi UU Pemilu jauh-jauh hari sudah mengeluarkan sejumlah keuntungan penerapan sistem proporsional terbuka pada pemilu. 

Salah satunya, sistem ini mampu mengorbitkan calon legislator perempuan. Dengan sistem proporsional terbuka, perempuan mendapat banyak pelajaran bagaimana cara berkompetisi dalam pemilu.

Selain itu, perempuan bisa lebih bersuara dengan sistem ini. Sistem proporsional terbuka memdorong perempuan untuk berani terjun berpolitik praktis melalui berbagai kegiatan pemenangan pemilu.

Pendewasaan politik perempuan yang dikondisikan oleh sistem pemilu proporsional terbuka ini menjadi modal penting bagi gerakan politik perempuan pada masa mendatang.

Sekber juga mencatat, sistem ini mendesak parpol untuk melakukan rekrutmen caleg secara demokratis. Parpol harus benar-benar menghitung siapa saja yang hendak diorbitkan pada pemilu. Mulai dari popularitas hingga kedekatan para caleg dengan pemilih di akar rumput.

Terkait tuduhan melahirkan politik uang dan caleg berkualitas rendah, Sekber juga mencoba menepisnya. Menurut salah satu anggota Sekber yang juga aktivis dari Perludem, Titi Anggraini, ekses itu memang ada, tetapi bisa direduksi dengan terus menyempurnakan sistem ini.

Bandingkan jika mengubahnya kembali ke sistem proporsional tertutup. Sistem itu justru membawa implikasi yang amat serius. Titi khawatir sistem itu kembali memperkuat dan menyuburkan kembali oligarki politik.

Lebih baik disempurnakan

Alih-alih mengganti sistem, Sekber Kodifikasi UU Pemilu sejak 2016 menawarkan sejumlah penyempurnaan pelaksanaan sistem proporsional terbuka. Dua hal yang harus disempurnakan adalah dari segi sistem dan manajemennya.

Dari segi sistem, perbaikan pertama yang harus dilakukan bisa dari variabel besaran daerah pemilihan perlu diperkecil menjadi tiga hingga enam kursi. Agar calon dan pemilih lebih mudah saling mengenali dan saling bertanggung jawab. 

Kedua, mempertegas variabel metode pencalonan. Saat di tempat pemungutan suara (TPS) pemilih hanya memilih calon. Sebab, memilih calon berarti memilih partai politik karena calon diajukan partai politik. Kemudahan memilih ini akan membuat pemilih dan calon fokus dalam berkampanye.

Dari aspek manajemen, perbaikan bisa dilakukan dalam metode kampanye. Aturan mengharuskan calon legislator melakukan interaksi dengan pemilih. Tidak hanya saling mengenal, tetap harus tumbuh menjadi saling bertanggung jawab, baik saat pemilu maupun setelah pemilu.

Selanjutnya, untuk mengakomodasi wakil rakyat dari perempuan, Sekber mendorong pemilu tak cukup hanya menerapkan ketentuan 30% keterwakilan kaum hawa. Syarat itu harus dipertebal dengan sekurang-kurangnya 30% caleg perempuan ditempatkan pada nomor urut pertama oleh parpol.

Sekber mencatat ketentuan ini penting karena berdasarkan data, 90% calon terpilih berasal dari calon nomor urut 1.

Logika positif pasar bebas

Dari sejumlah alasan kenapa sistem proporsional terbuka ini harus tetap dipertahanan, bisa disimpulkan bahwa pemilu itu semacam pasar. Pasar bebas, lebih tepatnya. Sistem yang digunakan pun harus sistem yang cocok untuk sebuah pasar bebas. Produsen harus benar-benar berusaha 
menjual produknya agar diterima pembeli.

Demokrasi pun, suka tidak suka, amat dekat dengan pasar bebas. Jalannya berliku memang, tetapi itulah cara agar pemerintahan tak otoriter. Demokrasi dengan langgam pasar bebas ini sebagai upaya untuk menghindarkan otorisasi wakil rakyat yang terpilih.

Ketika berbicara pemilu dengan logika pasar bebas, maka sistem proporsional terbuka yang cocok. Sistem ini memberikan ruang sebesar-besarnya calon untuk 'menjual diri'. Mereka harus bisa meyakinkan masyarakat pemilih bahwa merekalah sosok yang cocok untuk membawa perubahan. 

Dialog yang ketat antara pemilih dan yang dipilih inilah sebagai pagar api agar demokrasi tak keluar jalur. Agar demokrasi tak berubah menjadi oligarki.

Riset : Team Politik2024.id

Berita Lainnya
×
tekid