Kasus penghinaan TNI oleh Robertus Robet naik ke penyidikan

Robet dianggap melakukan tindak pidana menyebarkan informasi yang tujuannya untuk menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan.

Aktivis HAM yang juga dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet (ketiga kiri) didampingi Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo (ketiga kanan) memberikan keterangan pers usai menjalani pemeriksaan di Bareskirm Mabes Polri, Jakarta, Kamis (7/3/2019). Antara Foto

Kasus dugaan penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum yang menjerat aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang juga dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet akan naik ke penyidikan. Naiknya status kasus tersebut diketahui setelah Kejaksaan Agung RI menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dari Direktur Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Polri.

Surat itu bernomor: B/32/III/2019/Dittipidsiber, tertanggal 11 Maret 2019 itu diterima kejaksaan pada Senin, (11/3). Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI, Mukri, mengatakan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung telah menerbitkan surat perintah penunjukan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang beranggotakan tiga orang.

“Namun, saat ini masih menunggu pengiriman berkas perkara dari Penyidik Direktorat Tipidsiber Bareskrim Polri,” kata Mukri berdasarkan keterangan resmi yang diterima di Jakarta pada Senin, (12/3).

Mukri menjelaskan, Robet telah melakukan tindak pidana menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian, permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Selain itu, Robet telah menyebarkan berita bohong atau hoaks dan melakukan penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia.

Akibat perbuatannya, Robet disangkakan melanggar Pasal 45 A ayat (2) Juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 14 ayat (2) Juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan Pasal 207 KUHP.