Bawaslu inkonsisten dalam putusan OSO

Bawaslu mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi patokan dalam putusan sebelumnya.

Komisioner KPU Hasyim Asy'ari (ketiga kanan) mendengarkan pembacaan Putusan Gugatan Oesman Sapta Odang (OSO) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) oleh Bawaslu di ruang sidang Bawaslu, Jakarta, Rabu (9/1). Foto Antara

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI memutus kasus dugaan pelanggaraan administrasi dalam pencoretan nama Ketua Umum Partai Hanura Osman Sapta Odang (OSO) dari daftar calon tetap (DCT) anggota DPD RI di Pemilu 2019. Dalam putusannya, Bawaslu meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) memasukkan kembali nama OSO di DCT anggota DPD RI. 

Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi, menyayangkan putusan tersebut. Menurut Veri, Bawaslu tidak konsisten dalam mengeluarkan putusan. "Bawaslu dalam kasus ini membuat putusan yang tidak bijak dan tidak konsisten dengan putusannya yang lama," ujar Veri kepada Alinea.id di Jakarta, Rabu (9/1). 

Berbasis putusan Mahkamah Konstitusi dan aturan dalam UU Pemilu, Bawaslu meloloskan 40 caleg eks napi koruptor di Pemilu 2019. Padahal, KPU merilis PKPU 20/2018 yang isinya melarang mantan napi kasus korupsi nyaleg. Bawaslu beralasan PKPU itu bertentangan dengan UU Pemilu dan lebih rendah tingkatannya. 

Dalam putusan OSO, Bawaslu justru tak mengindahkan putusan MK yang melarang calon anggota DPD RI berasal dari partai politik. Putusan MK itu sebelumnya dijadikan pegangan oleh KPU ketika mencoret nama OSO dari DCT. 

"Dengan putusan seperti ini, Bawaslu seperti memberikan angin surga. Padahal putusannya menjadi tidak berarti dan justru tidak memberikan kepastian hukum," ujar Veri.