sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Bawaslu inkonsisten dalam putusan OSO

Bawaslu mengindahkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi patokan dalam putusan sebelumnya.

Robi Ardianto
Robi Ardianto Rabu, 09 Jan 2019 18:57 WIB
Bawaslu inkonsisten dalam putusan OSO

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI memutus kasus dugaan pelanggaraan administrasi dalam pencoretan nama Ketua Umum Partai Hanura Osman Sapta Odang (OSO) dari daftar calon tetap (DCT) anggota DPD RI di Pemilu 2019. Dalam putusannya, Bawaslu meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) memasukkan kembali nama OSO di DCT anggota DPD RI. 

Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi, menyayangkan putusan tersebut. Menurut Veri, Bawaslu tidak konsisten dalam mengeluarkan putusan. "Bawaslu dalam kasus ini membuat putusan yang tidak bijak dan tidak konsisten dengan putusannya yang lama," ujar Veri kepada Alinea.id di Jakarta, Rabu (9/1). 

Berbasis putusan Mahkamah Konstitusi dan aturan dalam UU Pemilu, Bawaslu meloloskan 40 caleg eks napi koruptor di Pemilu 2019. Padahal, KPU merilis PKPU 20/2018 yang isinya melarang mantan napi kasus korupsi nyaleg. Bawaslu beralasan PKPU itu bertentangan dengan UU Pemilu dan lebih rendah tingkatannya. 

Dalam putusan OSO, Bawaslu justru tak mengindahkan putusan MK yang melarang calon anggota DPD RI berasal dari partai politik. Putusan MK itu sebelumnya dijadikan pegangan oleh KPU ketika mencoret nama OSO dari DCT. 

"Dengan putusan seperti ini, Bawaslu seperti memberikan angin surga. Padahal putusannya menjadi tidak berarti dan justru tidak memberikan kepastian hukum," ujar Veri. 

Dalam putusannya, Bawaslu juga menetapkan syarat khusus kepada OSO. Jika memenangi kontestasi Pemilu 2019, OSO diminta mundur sebagai pengurus partai sebelum ditetapkan sebagai anggota DPD terpilih.  Seandainya OSO tidak mengundurkan diri, maka Bawaslu memerintahkan agar KPU tidak meloloskan OSO ke Senayan. 

Kubu OSO keberatan 

Kuasa hukum OSO, Herman Kadir, menilai putusan tersebut memberatkan kliennya. Menurut dia, Bawaslu tidak seharusnya menetapkan syarat semacam itu. Pasalnya, putusan PTUN tidak mengharuskan OSO mundur dari jabatannya sebagai pengurus parpol. 

Sponsored

"Mungkin akan kami naikkan ke DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) dan Sentra Gakkumdu karena putusan Bawaslu tidak sepenuhnya mematuhi putusan PTUN. Kami keberatan dengan embel-embel (harus mundur) itu," kata Herman. 

Komisioner KPU Hasyim Asyari, mengatakan KPU akan menggelar rapat pleno untuk membahas putusan Bawaslu sebelum mengambil langkah selanjutnya. "Saya belum bisa sampaikan sikap KPU. Kami tunggu salinan putusan dulu (baru) diplenokan," katanya. 

Sengketa administratif yang diajukan OSO bermula dari surat bernomor 1492 yang dikirimkan KPU kepada OSO pada 8 Desember 2018. Dalam surat tersebut, KPU memberikan waktu hingga Jumat (21/12) kepada OSO untuk mundur dari jabatannya sebagai pengurus Hanura jika ingin namanya masuk ke dalam DCT anggota DPD Pemilu 2019. 

Surat KPU dianggap OSO bertentangan dengan putusan MA bernomor 65/P/U/2018 tanggal 25 Oktober 2018 yang menyatakan putusan MK baru berlaku pada Pemilu 2024. Putusan MA itu diperkuat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 242/G/SPPU/2018/PTUN-Jakarta tanggal 14 November 2018.


 

Berita Lainnya
×
tekid