UU MD3: Kritik publik dan akrobat politik Jokowi

Gelombang kritik deras mengalir seiring berlakunya UU MD3. Munculnya UU itu dianggap sebagai ancaman pelemahan demokrasi.

Koalisi masyarakat sipil baju putih Dhenok (change.org), Hendrik Rosdinar (YAPPIKA), Syamsudin Alimsyah (Kopel), Roy Salam (IBC), Ronal Rofiandri (PSHK), Usep Hasan Sadikin (Perludem). (Robi/ Alinea)

Hari ini genap 30 hari pasca penolakan tanda tangan Presiden Jokowi, atas produk legislasinya yang dinilai kontroversial, UU MD3. Wakil rakyat di Senayan yang diharapkan mampu mengakomodir upaya penguatan demokrasi, justru jadi tukang kebiri. Sementara RI-1 dituding hanya sibuk memainkan akrobat politik.

Merespons ini, sejumlah kalangan yang tergabung dalam koalisi masyarakat sipil, menegaskan penolakannya. Penghimpunan dukungan pun dilakukan lewat kanal-kanal di jagat maya, termasuk petisi Change.org, yang hingga kini berhasil meraup 205 ribu dukungan.

Saat gelombang protes menguat, Joko Widodo justru curi panggung dengan berkoar-koar soal keengganannya meneken UU itu. Hal ini dinilai Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center, Roy Salamsebagai aksi akrobat politik semata. Menurutnya, akrobat politik itu tampak dari sikap presiden dan pernyataannya yang menyatakan enggan menandatangani UU MD3, tapi kemudian mempersilakan publik untuk menggugat ke MK.

Dia merangkum dua kesimpulan, berkenaan dengan hal tersebut. Pertama, Jokowi bukan orang yang bisa menyelesaikan masalah atau berani mengambil risiko. Kedua, ia memang bersembunyi di balik sesuatu. "Lempar batu sembunyi tangan," katanya.

Sementara UU ini hanya mengucurkan keuntungan pada parlemen, dari segi fasilitas yang bertambah. Di sisi lain, penambahan fasilitas itu harus dibayar mahal oleh masyarakat. Sebab anggaran infrastruktur ditarik untuk membiayai fasilitas tambahan pejabat. Yang lebih celaka adalah, disunat anggarannya, publik masih dihajar dengan pasal kriminalisasi.