Penurunan tarif masuk barang-barang dari Indonesia ke Amerika Serikat (AS) disambut gegap gempita oleh pemerintah Indonesia. Dari 32%, tarif bea impor turun jadi hanya tinggal 19%. Di level negara-negara Asia Tenggara, tarif sebesar itu terendah.
Penurunan tarif diumumkan Presiden AS Donald Trump di akun Truth Social miliknya, Selasa (15/7) waktu Washington DC. Sebagai timbal balik, AS bisa mengekspor produk-produk mereka Indonesia tanpa pajak sedikit pun.
"Mereka harus membayar 19% sementara kita tak akan membayar sepeser pun... Kita akan punya akses penuh ke Indonesia dan ada kesepakatan-kesepakatan baru lainnya yang nanti akan diumumkan," ujar Trump.
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti berpendapat Indonesia justru dirugikan dalam kesepakatan tarif itu. Menurutnya, AS jauh lebih untung karena barang-barangnya kena tarif nol persen.
"Amerika Serikat memperoleh akses penuh ke pasar domestik Indonesia tanpa hambatan tarif, sementara ekspor Indonesia ke AS tetap dikenai tarif sebesar 19 persen. Selain itu, juga pembelian pesawat dalam jumlah banyak," kata Esther kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Sebagai bagian dari kesepakatan penurunan tarif, Presiden Prabowo Subianto berjanji akan membeli 50 unit pesawat Boeing asal AS. Pesawat-pesawat itu nantinya akan digunakan untuk menyokong maskapai Garuda Indonesia.
Pemberlakuan tarif nol persen, lanjut Esther, dapat mempercepat dominasi produk impor dari AS di berbagai sektor, termasuk pertanian, otomotif, hingga energi. Dominasi produk AS potensial mengancam daya saing produk-produk lokal.
"Ketika barang impor menjadi lebih murah karena bebas tarif, maka pelaku usaha lokal akan menghadapi tekanan besar, dan ruang bagi industrialisasi nasional pun semakin kecil," kata dia.
Esther juga menyoroti bahwa AS sangat diuntungkan karena Indonesia harus melakukan impor BBM, LPG, gandum, dan produk pertanian lainnya dengan nilai kontrak yang besar dalam jangka panjang. "Ini juga bukan negosiasi yang menguntungkan bagi Indonesia," imbuhnya.
Untuk meningkatkan bargaining power, Indonesia juga perlu mengintegrasikan produk Indonesia dengan pabrik-pabrik di AS. Esther mencontohkan produk yang bisa dihasilkan dari perusahaan seperti Freeport atau produk derivatif tembaga, serta produk perusahaan AS yang memiliki pabrik di Indonesia.
Solusi lainnya, kata Esther, Indonesia mencari mitra dagang baru agar tidak terlalu bergantung pada pasar AS. "Lakukan diversifikasi pasar," kata dia.
Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Arif Havas Oegroseno mengatakan tarif nol persen hanya berlaku untuk barang-barang yang benar-benar dibuat di AS. Barang-barang yang tak dibuat di AS tapi mereknya asal pabrikan AS tetap kena pajak resiprokal.
"Itu kan intinya. Jadi, kalau produk yang brand Amerika, tapi asalnya dari, katakanlah, Uni Eropa. Gitu ya, kalau kita sign nol persen, ya nol persenlah dari Uni Eropa. Kan dibuatnya di Eropa," kata Arif kepada di Resto Cafe Beltway Office Park, Jakarta Selatan, Sabtu (19/7) lalu.
Menurut Havas, saat ini sudah banyak produk AS yang beredar di Indonesia dan tak kena bea impor, semisal kedelai dan gandum. Ia berpendapat Indonesia tak akan rugi karena tak banyak produk asal AS yang dipakai sehari-hari oleh masyarakat Indonesia.
"Jadi, dilihat dari jenis produknya. Jadi, kalau kita produknya berbeda, ya. Kemudian, yang kedua, apa mau 32%? Enggak 19%? Kan gitu. Yang ketiga, kita masih paling rendah di antara negara negara di ASEAN. Jadi, harus dilihat dari jenis produknya. Jadi, enggak bisa hitam putih seperti itu," ujar dia.