Pemberlakuan tarif nol persen (0%) untuk produk-produk impor dari Amerika Serikat (AS) ke Indonesia potensial bikin pasar domestik kebanjiran barang-barang dari AS. Produk-produk pangan dan peternakan terancam kalah bersaing dengan produk-produk murah dari AS.
Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih berpendapat kesepakatan tarif impor nol persen dari AS ke Indonesia tak ubahnya bentuk “paksaan” untuk membeli produk pertanian AS. Ia memprediksi kedelai, gandum, daging sapi, produk susu, dan kapas bakal mendominasi pasar domestik Indonesia.
"Ini (tarif nol persen) jelas (Presiden) Prabowo (Subianto) mengorbankan kedaulatan pangan kita. Dia melanggar Pasal 33 UUD 1945," kata Henry saat dihubungi Alinea.id di Jakarta, Senin (21/7).
Kesepakatan tarif baru antara AS dan Indonesia dicapai setelah Prabowo menelepon Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, beberapa waktu lalu. Dalam kesepakatan baru, tarif bea impor barang-barang dari Indonesia yang masuk ke AS disunat dari 32% menjadi 19%. Sebagai gantinya, AS minta produk-produk mereka yang masuk ke Indonesia tak kena tarif.
"Amerika Serikat merupakan pemasok pertanian terbesar keempat di Indonesia, menyumbang 10% dari total pasal impor pertanian Indonesia, setelah Brasil, China, dan Australia. Komoditas ekspor pertanian utama dari Amerika Serikat ke Indonesia adalah kedelai, gandum, daging sapi, produk susu, dan kapas. Khusus kedelai, 90% konsumsi nasional di Indonesia dipenuhi oleh impor dari Amerika Serikat," kata Henry.
Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mencatat nilai ekspor produk pertanian AS ke Indonesia atau impor produk pertanian Indonesia dari Amerika Serikat mencapai US$2,9 miliar pada 2024, atau turun 4% dibandingkan tahun 2023. "Dengan kesepakatan baru, impor produk pertanian akan melonjak 55%," imbuh Henry.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.7/PMK.011/2009 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Impor Tepung Gandum, tarif impor gandum adalah 5% dan pada Peraturan Menteri Keuangan N0.135/PMK.011/2012 tentang Tarif Impor Kacang Kedelai, ditetapkan tarif impor kedelai sebesar 5%.
Menurut Henry, kesepakatan dagang yang tidak simetris antara Indonesia dan Amerika Serikat ini berpotensi melanggar UNDROP (United Nations Declaration on the Rights of Peasant and Other People Working in Rural Areas/Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan Orang yang Bekerja di Pedesaan).
"Hal ini juga melanggar hak asasi petani jika mengacu pada sejumlah regulasi nasional seperti Undang-Undang Pangan Nomor 16 Tahun 2012 dan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Nomor 19 Tahun 2013," kata Henry.
Dosen administrasi bisnis Universitas Nusa Cendana, Ricky Ekaputra Foeh mengatakan dampak tarif impor nol persen terutama akan terasa di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang urat nadi perekonomiannya mengandalkan sektor pangan. Menurut Ricky, UMKM di NTT masih belum punya daya saing melawan produk impor.
"Petani jagung, peternak sapi, atau pelaku usaha kecil akan menghadapi ancaman serius. Jika daging impor atau produk pertanian asing masuk ke pasar NTT dengan harga lebih rendah, produk lokal bisa kalah saing. Padahal, sektor pertanian dan peternakan adalah tulang punggung ekonomi rumah tangga di NTT," kata Ricky kepada Alinea.id.
Ricky menilai pemerintah harus mengeluarkan kebijakan untuk melindungi komoditas lokal di NTT dan memberikan subsidi logistik untuk produk-produk yang dihasilkan di NTT. Dengan begitu, dampak banjir produk AS bisa dimitigasi dan UMKM bisa tetap berkembang.
"Jelas kebijakan ini memiliki dampak yang bersifat paradoks. Di satu sisi, penurunan tarif bisa menurunkan harga kebutuhan pokok yang selama ini mahal karena ongkos distribusi. Tetapi, jangan sampai harga barang murah yang kita nikmati hari ini harus dibayar mahal oleh hilangnya pendapatan petani dan pelaku usaha lokal besok," kata Ricky.